Breaking News

Istri Resah Gara-gara Defisit Rumah

Spread the love

Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute, Pemred Muslimahtimes.com)

Muslimahtimes.com–Angka backlog atau kekurangan rumah di Indonesia, masih sangat tinggi. Jika dihitung berdasarkan selisih antara jumlah kepala keluarga dengan jumlah rumah yang ada, backlog mencapai 12,7 juta. Dari jumlah itu, 10 juta ada di perkotaan dan 2,7 juta di pedesaan. Angka tersebut hanya turun tipis dibandingkan 2010 yang tercatat 13,5 juta unit. Target pemerintah backlog kepemilikan rumah menjadi 8 juta pada 2045. (CNBC Indonesia)

Kebutuhan rumah baru yang mencapai 820.000 hingga 1 juta unit per tahun belum terpenuhi, karena rata-rata pengembang hanya mampu membangun 400.000 unit per tahun. Defisit besar inilah yang memicu meroketnya harga properti. Data Bank Indonesia (BI) menyebut, indeks harga properti residensial menanjak signifikan dalam empat tahun terakhir, khususnya tipe kecil dan menengah.

Kian Tak Terjangkau

Saat ini, betapa sulitnya para kepala keluarga untuk menyediakan hunian yang layak bagi istri dan anak-anaknya. Harga properti tak terjangkau dibanding penghasilan mereka yang pas-pasan. Khususnya di kalangan menengah ke bawah yang pendapatannya hanya cukup untuk bertahan hidup. Daya beli rumah jelas tidak ada.

Termasuk kepala keluarga yang notabene pekerja informal. Jumlah mereka mencapai 83,34 juta atau 60% dari total pekerja di Indonesia (data BPS). Pekerja yang mencari makan tanpa kehadiran negara ini benar-benar harus berjuang sendiri. Seperti tukang ojek online, pedagang kaki lima, pedagang online, pekerja industri kreatif, hingga pedagang pasar.

Jika ingin punya rumah, masyarakat “dipaksa” utang riba. Mencicil KPR alias Kredit Perumahan Rakyat yang akadnya tidak syar’i. Itu pun tidak berlaku untuk pekerja informal, karena mereka tidak punya slip gaji dan surat keterangan bekerja sebagai persyaratan pihak bank. Bagusnya, jadi tidak terjerat riba.

Walhasil, jutaan keluarga belum memiliki hunian sendiri. Sebagian besar masih menumpang di keluarga induk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri atau rumah keluarga, baru mencapai 83,99% pada 2022 (CNBC Indonesia). Sisanya belum punya rumah sendiri. Entah menyewa atau menggelandang.

Hunian Tak Layak, Membatasi Ruang Gerak

Problem perumahan bukan hanya dari sisi kuantitas, tapi juga kualitas. Bukan hanya jumlahnya yang belum mencukupi, kualitasnya pun kurang layak. Hunian rumah di perkotaan saat ini, rata-rata juga tidak ideal. Tidak mampu mengakomodasi ruang gerak penghuninya, terutama istri dan anak-anak.

Sudahlah mahal, ukuran rumah sangat kecil. Hanya dua kamar tidur, muat untuk sepasang suami istri plus 1 anak saja. Setiap ruangnya begitu sempit, hingga membatasi produktivitas dan ruang gerak penghuninya. Hanya layak untuk berteduh saja, tidak untuk beraktivitas. Memang, para istri tetap bersyukur punya rumah, tapi dalam hati pasti menginginkan yang lebih baik lagi.

Hak seorang istri untuk menjalankan tugasnya sebagai Ibu rumah tangga dengan maksimal, menjadi berkurang. Bagaimana pun ia menginginkan rumah yang mengakomodasi kebutuhan privasinya, karena di sanalah istananya. Tempat ia menjalankan peran.

Itu masih mending, rumah kecil tapi sudah punya. Sebagian besar istri, ditempatkan oleh para suami di rumah kontrakan yang juga kurang layak. Rumah petak dengan hanya kamar satu. Betapa sempitnya ruang gerak mereka, hanya teras, kamar dan dapur. Kadang-kadang kamar mandi pun di luar. Setiap kali ada hajat, harus antre dengan penghuni kontrakan lainnya. Ya Allah, definisi rumahku istanaku, sungguh masih jauh.

Lalu apa kabar para istri yang masih tinggal di pondok mertua? Mayoritas, mereka begitu terganggu mentalnya. Sebab, interaksi dengan sesama perempuan “asing” dalam satu atap, sungguh tidak mudah. Sulit melaksanakan tugas domestik masing-masing sesuai kata hati, jika satu atap ada dua orang yang ambil peran. Bagaimana mengatur satu dapur jika ada dua ratu rumah tangga? Terjadilah konflik batin hingga menggerus kebahagiaan istri maupun ibu mertua.

Gelisah Memendam Mimpi

Inilah mengapa para istri banyak yang stres. Bukan hanya beban tugasnya yang menguras tenaga, juga menggerus mental. Bukannya tidak bersyukur, tetapi kecemasan-kecemasan akan masa depan diri dan anak-anaknya tak bisa dielakkan. Kapan ya punya rumah sendiri. Kapan anak-anak punya kamar sendiri. Kapan bebas menjadi ratu rumah tangga di rumah impiannya.

Kondisi ini jelas mengurangi kebahagiaan para istri. Padahal ketika menikah, harapannya bisa mandiri dan lepas dari orang tua menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang ia bangun bersama suami pilihannya, tempat ia mendapatkan hak atas kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan (pakaian, makanan dan tempat tinggal).

Seorang istri yang rela meninggalkan rumah orang tuanya yang nyaman, menuju rumah yang disediakan suami apa adanya. Seorang istri yang berharap meraih hunian yang lebih baik daripada hunian orang tuanya. Seorang istri yang harus bersabar untuk memiliki rumah impian. Bersabar menekan impiannya itu sejak menikah.

Fakta membuktikan, penduduk perkotaan baru mampu mewujudkan rumah impian setelah belasan atau bahkan puluhan tahun kemudian pascamenikah. Itu pun tidak semua benar-benar sesuai impian. Yang penting punya rumah saja, sudah bersyukur.

Bisa dibayangkan, sepanjang belasan atau puluhan tahun itulah, para istri memendam mimpi. Para istri menekan hatinya yang resah, karena defisit rumah. Para istri yang rela bersusah payah, menghemat sana sini, demi mewujudkan rumah impian. Karena, rumah adalah istananya. Rumah adalah dunianya. Rumah adalah kebahagiaannya.

Akibat Pembangunan Kapitalistik

Sulitnya memiliki rumah di perkotaan, akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang tidak mampu merealisasikan pemerataan pembangunan. Terjadilah ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan, hingga populasi penduduk terkonsentrasi di perkotaan. Hal Ini menyebabkan harga properti di sana melambung tinggi.

Terjadilah kesenjangan hunian yang nyata. Di pedesaan, rumah-rumah besar kini sepi dan tak berpenghuni. Anak-anak mereka merantau ke kota dan menetap di sana. Meskipun tinggal di rumah mungil, atau bahkan masih ngontrak, tetapi kota lebih menjanjikan dari sisi kesempatan bekerja bagi para kepala keluarga.

Namun, tak hanya properti, harga-harga kebutuhan pokok juga tinggi. Biaya hidup di perkotaan lebih mahal daripada di pedesaan. Apalagi tahun baru, harga-harga pun ikut baru. Beras naik, cabai naik dll. Akibatnya, tak sedikit kepala keluarga di perkotaan yang tak mampu hidup bersama keluarganya.

Istri dan anak-anak terpaksa “dikirimkan” ke kampung halaman. Tinggal di desa, berjauhan darinya. Menjalani pernikahan yang tidak sempurna, karena kepala keluarga merantau dan istri serta anak-anak tinggal di rumah orang tua atau mertua. Problematika keluarga pun dimulai.

Lebih parah lagi, ketika para kepala keluarga tak mampu membelikan hunian, para istri bergerak sendiri mewujudkannya. Ada yang pergi ke luar negeri menjadi TKW, agar pulang-pulang bisa membangun rumah. Terpaksa meninggalkan suami dan anak-anak dengan segala persoalan pelik yang diakibatkan. Begitulah nestapa rakyat jelata.

Harapan di Sistem Islam

Keluarga muslim saat ini benar-benar terzalimi. Hidup di peradaban sekuler, harus berjuang masing-masing untuk meraih kehidupan yang layak. Sejak menikah dan membentuk keluarga, hampir-hampir tidak ada dukungan negara untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Kalaupun ada, sangat minim. Itu pun tidak komprehensif dan tidak menuntaskan masalah.

Kebijakan agraria dan perumahan, tidak menjangkau rakyat, malah hanya menguntungkan segelintir orang. Di satu sisi oligarki menguasai jutaan hektare lahan, di sisi lain rakyat kecil menangis untuk mendapatkan secuil tanah. Malah ada yang digusur, dipaksa pindah, dan dirampas haknya, demi kepentingan penguasa yang sudah berkongsi dengan pengusaha.

Rakyat tidak bisa berharap pada sistem ini. Sudah saatnya berganti sistem, bukan hanya ganti pemimpin. Islam dengan sistemnya akan mewujudkan pembangunan yang merata dan mengakomodasi kepentingan rakyat. Termasuk pembangunan perumahan yang syar’i, layak huni dan terjangkau bagi rakyat.

Sungguh kita merindukan sistem yang mampu mengakomodasi kepentingan keluarga, khususnya para istri akan kehidupan yang tenang, tenteram dan bahagia di rumahnya, istana tempatnya berkarya. Semoga sistem itu segera tegak.(*)