Breaking News

Keimanan Anak, bukanlah Warisan Orang Tua

Spread the love

Oleh : Evi shofia
(Praktisi Pendidikan)

MuslimahTimes.com-Mempunyai anak yang shalih dan salihah adalah dambaan semua keluarga muslim. Karena dari anak kita berharap memperoleh transferan pahala yang tak putus. Dari anak pula kita mengharapkan pertolongan kelak di yaumil akhir.

Namun proses menjadikan anak salih dan salihah membutuhkan ilmu, kesabaran, dan kekuatan, karena keimanan pada anak bukanlah warisan dari orang tua . Seorang ayah yang beriman dan bertakwa tidak otomatis anaknya pun demikian. Contoh nyata apa yang diceritakan dalam Al-Qur’an tentang kisah anak Nabi Nuh.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَهِيَ تَجْرِيْ بِهِمْ فِيْ مَوْجٍ كَا لْجِبَا لِ ۗ وَنَا دٰى نُوْحُ ٱِبْنَهٗ وَكَا نَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

“Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”
(QS. Hud 11: Ayat 42)

Kisah di atas sangat masyhur tentang penentangan anak Nabi Nuh terhadap ayahnya yang notabene seorang nabi. Orang sekelas Nabi Nuh saja tidak bisa mewariskan keimanan pada putranya. Apalah kita?

Kisah yang lain dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Ibrahim yang termaktub dalam QS. Maryam ayat 44
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. ”

Jamak diketahui profil Nabi Ibrahim adalah seorang nabi yang profesi ayahnya adalah pembuat patung berhala. Terjadi pertentangan keras antara Nabi Ibrahim dan ayahnya, karena Nabi Ibrahim berani menentang penyembahan berhala dan melawan Raja Namrud yang saat itu berkuasa dan mengklaim dirinya tuhan.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa keimanan bukanlah perkara yang bisa diwariskan, tapi harus melalui proses yang tidak sebentar dan banyak pula faktor yang memengaruhinya

Di antara faktor tersebut adalah teladan ketaatan orang tua terhadap syariat sebagai faktor yang sangat kuat mewarnai pembentukan kepribadian anak. Teladan dari orang tua lebih ampuh daripada sekadar ajakan dan perintah. Orang tua yang taat syariat akan benar-benar menjaga buah hatinya agar tidak tergelincir dalam perbuatan dosa. Mereka pun akan benar-benar memilah dan memilih pendidikan anak-anaknya, memproteksi anak dari lingkungan yang tidak baik bagi perkembangan kepribadiannya.

Namun dalam sistem sekarang, dimana umat sangat jauh dari ajaran Islam, mendidik anak menjadi sangat berat. Ketika anak diproteksi di rumah dari hal-hal yang negatif, tidak menutup kemungkinan anak akan terkontaminasi sesuatu yang buruk dari lingkungan. Karena masyarakatnya sendiri adalah masyarakat yang bebas nilai, asal tidak merugikan dan tidak mengganggu orang lain, boleh-boleh saja. Asal tidak mengganggu ketertiban umum, sah- sah saja. Pemerintah pun tidak tegas memblokir situs-situs yang merusak moral anak dan masyarakat. Sehingga tugas orangtua mencetak generasi unggul menjadi sarat beban.

Maka mau tidak mau orangtua harus ekstra kuat menjaga buah hatinya dari berbagai hal yang akan mencemari perkembangan kepribadiannya, yaitu pola sikap dan pola pikirnya. Pola sikap dan pola pikir yang sahih hanya akan tercipta jika dan hanya jika anak dibina secara intensif dengan akidah Islam. Jika akidah Islam menjadi landasan hidupnya maka anak akan mampu memegang teguh syariat dan istikamah dalam ketaatan.

Sebagaimana dalam sebuah hadis yang masyhur, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda, “ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” ( HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menegaskan pada kita bahwa keimanan yang kokoh pada anak tidak serta merta terbentuk tanpa campur tangan orang tua, namun harus ada andil besar orang tua. Tugas orang tua mendidik anak akan terasa lebih ringan jika didukung oleh sistem kehidupan yang sahih, yaitu sistem kehidupan yang ditetapkan Allah Swt sebagai satu-satunya Zat yang berhak membuat aturan.
Wallahu a’lam bisshawab