Breaking News

Kepemimpinan Di Dalam Islam Mewujudkan Kesejahteraan

Spread the love

Oleh: Intan Alawiyah
(Member Revowriter & Writing Class With Has)

 

#MuslimahTimes –– Islam adalah agama yang kamil dan syamil. Dikarenakan sifatnya yang demikian, maka Islam bukan hanya agama yang mengatur urusan ibadah spiritual belaka. Namun ia mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari bangun tidur hingga bangun negara. Dengan penyifatan yang dimilikinya seperti ini, maka sudah selayaknya lah seluruh perbuatan yang hendak dilakukan manusia harus dikembalikan lagi kepada agamanya. Bagaimana Islam mengatur dan memberikan solusinya. Termasuk dalam memilih seorang pemimpin, Islam memberikan petunjuknya pada manusia agar mereka tidak salah dalam memilih seorang pemimpin.

Allah SWT berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpin-pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu menjadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) diantara orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang yang beriman.” (TQS. Al-Maidah: 57)

Dalam ayat ini Allah menegaskan larangan untuk mengangkat seorang pemimpin yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan dan juga permainan. Maksud kalimat berupa bahan ejekan dan permainan adalah bentuk penelantarannya terhadap hukum-hukum Allah, ia tidak menerapkan syariat Allah, dan menjadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan olok-olokan untuk mendompleng popularitasnya. Inilah sifat-sifat pemimpin yang tidak boleh dipilih oleh umat untuk mengatur urusan mereka.

Sebab, sifat dan karakter seorang pemimpin akan memengaruhi umat. Jika pemimpinnya bertakwa maka ia akan menyebarkan rahmat bagi yang dipimpinnya. Namun sebaliknya, jika ia memiliki sikap ingkar terhadap rabb-Nya, maka ia hanya akan mendatangkan keburukan demi keburukan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Seandainya aku memiliki satu doa yang pasti dikabulkan (mustajabah) niscaya akan aku peruntukan untuk penguasa, karena baiknya seorang penguasa berarti baiknya negeri dan rakyatnya.” (Faidhul Qadhir: 6/398)

Di dalam sistem Islam, kriteria yang harus diutamakan dalam memilih pemimpin, yakni sosok yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Ketika seorang pemimpin yang memiliki keimanan diberi amanah untuk mengatur urusan rakyatnya, maka ia akan menjalankannya dengan penuh tanggung jawab. Ia akan takut berbuat zalim terhadap rakyatnya dan ia tidak akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Sebab, sosok pemimpin seperti ini akan menyadari betul hubungannya dengan Allah. Sehingga ia memiliki rasa selalu diawasi oleh Rabb-Nya.

Seorang pemimpin yang beriman memahami betul akan tugasnya sebagai pelayan rakyat. Ia akan berusaha memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, baik berupa sandang, pangan, maupun papan.
Rasulullah SAW bersabda,
“Sayyid al qawm khadimuhum (pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka).” (HR. Abu Nuaim)

Dengan menyadari adanya hadist ini, seorang penguasa semestinya menjadikan kepemimpinannya sebagai junnah yang menjauhkan rakyatnya dari segala kemelaratan hidup yang menghimpitnya dan melindungi mereka dari segala bentuk gangguan yang mengancamnya. Penguasa tersebut akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan rakyatnya, sehingga kesejahteraan pun tersebar merata.

Di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz–Ia adalah seorang pemimpin yang terkenal adil, bijaksana, dan memiliki sifat zuhud–semua rakyatnya hidup sejahtera. Meski masa pemerintahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/ 818-820 M). Namun ia sudah mampu menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Di masa pemerintahannya sangat sulit ditemukan rakyatnya yang hidup miskin. Sampai-sampai petugas yang diutusnya untuk mencari orang yang akan diberi zakat tidak menemukan seorang pun yang mau menerima zakat pemberiannya.

Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya sirah bin Abdul Aziz hal.59 meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, “Saya pernah diutus Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (al-Qaradhawi: 1995)

Inilah cerminan sosok pemimpin di dalam sistem Islam. Agama Islam mewajibkan setiap Mukmin untuk tunduk dan patuh pada seluruh perintah Allah dalam setiap lini kehidupannya. Tidak terkecuali seorang pemimpin. Dengan keimanan yang terpatri dalam kalbunya akan memberikan kesadaran penuh bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya di dunia. “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Berbeda halnya dengan seorang pemimpin yang terkikis imannya. Ia akan silau pada jabatan yang diembannya. Seorang pemimpin yang tidak menyadari akan hubungannya dengan Rabb-Nya sangat mudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Ia lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan umat. Ia lebih mengutamakan kepentingannya ketimbang mengurusi kebutuhan rakyatnya.

Di dalam sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan saat ini. Kita akan kesulitan mencari sosok pemimpin yang amanah dalam menjalankan tugasnya. Para penguasa yang sudah terpapar paham sekuler akan mudah menzalimi rakyatnya. Mereka sangat mudahnya mengumbar janji-janji. Namun ketika terpilih, penguasa tersebut akan mudah mengingkarinya.

“Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepadanya, maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Pengkhianatan itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariat Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah makna ayat-ayat Allah, mengabaikan hudud (hukum-hukum Allah). Pengkhianatan itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi syarh shahih Muslim)

Jika saat ini kita mendambakan seorang pemimpin yang adil, bijaksana, dan mencintai rakyatnya. Maka kita tidak akan mendapatkannya selama sistem yang diterapkan adalah sistem buatan manusia. Selama sistemnya yang masih bercokol adalah sistem yang salah, maka selama itulah pemimpin yang mengabaikan rakyatnya akan terus bermunculan.

Oleh sebab itu, untuk mewujudkan perubahan yang hakiki dalam rangka menciptakan kemakmuran dan juga kesejahteraan. Tidak cukup hanya mengganti penguasanya saja. Karena jika itu terus dilakukan maka tidak akan mampu mewujudkan perubahan yang diharapakan. Sebab, sistemnya akan terus menyetir penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan.

Hanya dengan penerapan sistem Islam lah yang mampu mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik. Terbukti di masa kejayaan Islam memimpin slelama 13 abad lamanya mampu menciptakan kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi rakyatnya. Dan hal ini tidak hanya dirasakan oleh mereka yang muslim saja. Bahkan orang-orang di luar Islam pun merasakan kepuasan dipimpin dalam sistem Islam.

Para Khalifah yang memimpin akan menjalankan roda pemerintahannya berdasarkan ketakwaan pada Allah. Ia akan berhati-hati dalam mengemban amanah rakyatnya. Ia lebih mengutamakan kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Sehingga tidak ada satupun rakyatnya yang merasa terzalimi akan kebijakan-kebijakan yang diberlakukannya selama kepemimpinannya. Wallahu’alam.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published.