Breaking News

Kuasa Oligarki Hingga Rempang Eco City

Spread the love

Oleh. Hana Rahmawati. 

(Revowriter Tangerang) 

muslimahtimes.com – Tahun 2023 segera berakhir. Sepanjang tahun ini diwarnai dengan berbagai kasus alih fungsi lahan yang pada kenyataannya berujung pada konflik. Sebanyak 692 aduan kasus konflik tercatat pada data komnas HAM sepanjang Januari hingga September 2023, atau setara empat kasus setiap harinya. (komnasham.go.id, 19/10/2023)

Angka kasus yang di data oleh Komnas HAM sebenarnya hanya kasus-kasus yang terkait proyek strategis nasional saja, belum termasuk konflik lahan pada sektor lainnya. Misal, sektor perkebunan, agribisnis/pertanian, pertambangan, pulau-pulau kecil, pesisir dan lainnya. Yang jika dihitung jumlahnya tentu lebih besar dari angka yang telah disebutkan.

Bahkan berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan terdapat 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN). Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menjelaskan bahwa konflik agraria yang berbuah perampasan tanah itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti. (CNNIndonesia.com, 24/09/2023)

Sebagai pengingat salah satunya adalah Konflik lahan yang terjadi di Kalteng dan berujung pada penangkapan warga yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Tepat di Kotawaringin Barat, desa Kinjil, tiga petani dipenjara lantaran dituduh mencuri sawit di kebun sendiri. Ketiga warga Kotawaringin Barat tersebut merupakan tulang punggung dari keluarga masing-masing. Mereka ditangkap pada 27 April 2023 serta dijerat dengan pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP dengan tuntutan 7 tahun penjara. Adapun perusahaan yang melaporkan adalah PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGA). (Www.kompas.id, 25/6/2023)

Tidak jauh dari desa Kinjil, sepuluh warga Desa Babual Baboti juga di tangkap polisi karena protes terhadap kebijakan plasma perusahaan sawit di desa tersebut. Menurut Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Janang Firman, dua kasus dari dua desa diatas memiliki kemiripan, yaitu mengenyampingkan status kepemilikan lahan diatas kasus pidana lainnya. Desa Kinjil dan Babual Baboti merupakan dua kasus dari banyaknya kasus sengketa lahan yang tak kunjung selesai. Yang kemudian mengingatkan pula pada apa yang pernah terjadi di Desa Penyang, yaitu tiga orang dipenjara karena dituduh mencuri sawit saat melakukan protes, satu di antaranya meninggal dalam penjara (Kompas, 26 April 2020).

Konflik lahan lainnya yang mewarnai perjalanan sepanjang tahun 2023 adalah pembangunan kawasan industri pulau Rempang, kota Batam yang menimbulkan konflik sengketa lahan antara masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat menganggap, tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.

Apa yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, merupakan konflik agraria yang diakibatkan oleh Proyek Strategis Nasional yang melibatkan pembentukan badan atau lembaga yang terlalu berkuasa oleh pemerintah. Rempang dikelola Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam. Badan semacam ini rentan melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan dan korupsi agraria karena mengantongi begitu banyak kewenangan dan aset negara.

Inilah praktik domein verklaring tanah hutan terhadap tanah serta perkampungan warga yang berujung pada penggusuran dan pematokan tanah secara paksa oleh pemerintah,” ujar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika.

Suburnya Praktik dan Ancaman Relokasi di Sistem Demokrasi

Dalam sistem hari ini, para pemilik modal yang jumlahnya minoritas diberikan ruang yang sangat besar untuk menguasai berbagai lini kehidupan, termasuk menguasai sebagian besar sumber daya alam.

Konflik Rempang Batam contohnya, kasus yang fenomenal di tahun ini menambah panjang deretan kasus konflik lahan yang terus berulang di negeri ini. Kurang lebih 5,8 juta hektar lahan di Indonesia terlibat dalam kasus konflik agraria sepanjang 2015-2022. Data yang tersaji belum mencakup luas lahan pada konflik 2023.

Konflik lahan yang terjadi pun kerap diwarnai kekerasan yang berujung kriminalisasi bahkan memakan korban jiwa. Dalam data KPA, tercatat kasus konflik yang terjadi dalam rentang 2015—2022, ada 1.615 warga yang ditangkap, 29 meninggal dunia, 77 luka-luka karena tertembak senjata aparat, dan 842 orang lainnya maju ke persidangan. Di Rempang sendiri yang merupakan proyek ambisius pemerintahan Jokowi akan menggusur paksa kurang lebih 7.500 warga Rempang dari 16 kampung adat yang kemudian bahasanya diperhalus menjadi istilah “relokasi“.

Pemerintah juga memasifkan narasi yang menyatakan bahwa penduduk Rempang merupakan warga ilegal. Padahal nenek moyang mereka sendiri sudah berada di wilayah tersebut sejak 1843, jauh sebelum Indonesia berdiri. Dan selama ini mereka adalah warga yang taat dalam membayar pajak. Wajar jika warga marah. Namun, sebagaimana yang sudah pernah terjadi, protes warga hanya akan dibalas dengan kebrutalan dan intimidasi oleh aparat.

Dampak dari relokasi lahan secara besar-besaran ini terjadi dalam berbagai sisi. Baik dari segi individu, masyarakatnya sosial budaya bahkan perekonomiannya. Sungguh keadaan demikian hanya akan merugikan rakyat lemah yang semakin lemah. Sementara kekuasaan hari ini sangat berpihak pada para kapitalisme yang minim rasa kepedulian terhadap masyarakat sekitar dan lingkungannya.

Ujung kasus konflik lahan sudah pasti bisa dipastikan akan seragam. Pengusaha lah yang akan tetap menang, sedangkan rakyat hanya bisa bermimpi mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Mereka bahkan harus siap-siap kehilangan tanah warisan dan harus siap pula untuk disalahkan oleh generasi pewaris tanah tersebut pada masa mendatang.

Islam Solusi Bukan Sekadar Ilusi

Berbeda dengan sistem kapitalis neoliberal, Sistem Islam benar-benar akan menutup celah kezaliman. Karena landasan bangunan negaranya tegak di atas akidah yang benar. Keimanan dari para penguasanya bertindak sebagai pengurus dan penjaga individu nya, sedangkan aturannya sudah pasti bersumber dari wahyu Allah yang tidak akan pernah melahirkan kezaliman bagi rakyatnya.

Penguasa negeri Islam jelas meyakini bahwa setiap kebijakan yang dilahirkan akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di hadapan pengadilan yang seadil-adilnya. Dimana para penguasanya akan bertindak sebagai pelaksana, sedangkan rakyat sami’na wa atha’na. Keduanya akan saling menjaga kenyamanan dalam kehidupan bernegara. Sehingga keadilan serta kesejahteraan akan muncul dengan sendirinya.

Kasus konflik lahan semacam konflik Rempang dan lainnya tidak akan terjadi di dalam sistem Islam. Karena dalam diri para penguasanya telah tertanam aqidah Islam secara benar. Sehingga mereka akan merasa takut jika berbuat kezaliman terhadap masyarakat yang ia pimpin. Mereka tidak akan melakukan perbuatan culas hanya demi menyenangkan pemilik cuan, sebab bayang-bayang siksa neraka begitu lekat pada pandangannya.

Keparipurnaan aturan Islam yang ditopang budaya amar makruf nahi mungkar dan sanksi yang tegas akan meminimalkan kasus-kasus penyimpangan aturan. Wajar saja jika sejarah peradaban Islam begitu sarat dengan kisah sukses dan kebaikan yang tiada bandingan.

Oleh karena itulah, sudah saatnya umat Islam kembali pada fitrahnya. Hidup dalam habitat sempurna di bawah naungan akidah dan hukum Allah dan Rasul-Nya. Tentu mewujudkan hal itu butuh kesungguhan dalam berjuang, sebab sistem yang ada punya resistensi tinggi terhadap semua ikhtiar untuk menumbangkannya. []

Wallahu A’lam.