Breaking News

MENGGAPAI TAKWA DENGAN PUASA

Spread the love

Oleh : Yulida Hasanah

(Forum Silaturrahmi Ustadzah dan Muballighoh, FORSIMA)

#MsulimahTimes — Bahagia terasa dalam jiwa, saat ramadhan kembali hadir menyapa dan memberikan banyak sekali kabar gembira bagi siapa saja yang mampu menjalankan ibadah puasa hingga tercapai tujuan meraih takwa. Kurang lebih itulahperasaan seorang muslim saat memasuki bulan puasa. Mereka memiliki harapan dan tujuan yang sama, mengapa mereka berpuasa, yaitu tak lain  adalah  dalam rangka membentuk  individu-individu  yang  selalu  bertakwa  kepada  Allah SWT.

Allah SWT telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana puasa itu telah  diwajibkan  kepada  orang-orang  sebelum  kamu  agar  kamu  bertakwa.”  (Qs.  al-Baqarah  [2]: 183).

Seorang mufassir ternama, Imam Ibn al-‘Arabi, menjelaskan makna firman Allah SWT, “la’allakum tattaqûn”  sebagai  berikut, “Dalam  menafsirkan  frasa  ini,  para  ulama  Tafsîr  terbagi  menjadi  tiga pendapat. Pertama, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn mâ hurrima ‘alaikum fi’luhu (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan  kepada  kalian).  Kedua,  ada  yang  berpendapat  bahwa,  la’allakum  tattaqûn  bermakna la’allakum  tudl’ifûn  fa  tattaqûn  (agar  kalian  menjadi  lemah,  sehingga  kalian  menjadi  bertakwa). Sebab, ketika seseorang itu sedikit makannya maka syahwatnya juga akan lemah, ketika syahwatnya melemah  maka  makshiyyatnya  juga  akan  sedikit.  Ketiga,  ada  yang  berpendapat  bahwa  yang dimaksud dengan firman Allah SWT la’allakum tattaqûn, adalah la’allakum tattaqûn ma fa’ala man kâna  qablakum  (agar  kalian  terjaga  dari  perbuatan-perbuatan  yang  dilakukan  oleh  orang-orang sebelum kalian [Yahudi dan Nashrani]).”

Makna  pertama;  terminal  akhir  dari  ibadah  puasa  adalah  agar  kita  mampu  menghindarkan  diri  dari perbuatan-perbuatan  yang  diharamkan  Allah  SWT.  Atas  dasar  itu,  puasa  harus  mampu  membentuk karakter  untuk  selalu  membenci  dan  menjauhi  perbuatan-perbuatan  dan  perkataan-perkataan. Sayangnya,  betapa  banyak  kaum  muslim  yang  sudah  melaksanakan  ibadah  puasa  puluhan  tahun lamanya,  akan  tetapi  ia  tidak  pernah  bisa  terjaga  dari  perbuatan-perbuatan  yang  diharamkan  Allah. Benar,  setiap  tahun  mereka  menjalankan  ibadah  puasa,  namun  setiap  tahun  pula  mereka  gemar berbuat maksiyat, mendzalimi orang lain, memakan riba dan memangsa hak-hak orang lemah.

Puasa yang mereka kerjakan  tidak  memberikan  bekas  dan  pengaruh  apapun,  kecuali  sekedar  haus  dan dahaga. Bahkan, betapa banyak para penguasa yang disibukkan dengan kegiatan-kegiatan seremonial untuk  menyambut  bulan  Ramadhan.  Mereka  juga  terlihat  serius  dan  komitmen  tatkala  menjalankan ibadah puasa. Mereka juga rela bangun di pagi buta untuk mendapatkan berkah makan sahur. Di siang harinya,  mereka  juga  sangat  serius  dalam  menjaga  kesempurnaan  pahala  puasanya  dan  dari  hal-hal yang  bisa  membatalkan  puasanya.

Mereka  juga  sangat  disiplin  dalam  menetapkan  waktu  berbuka  di sore harinya. Mereka selalu memantau sang waktu detik per detik. Mereka sangat takut berbuka tidak pada  waktunya.  Di  malam  harinya  mereka  juga  terlihat  bangun  untuk  menjalankan  qiyâm  al-lail. Namun,  keseriusan  dan  komitmen  mereka  terlihat  hanya  ketika  menjalankan  ibadah  puasa  belaka. Ibadah-ibadah  lainnya,  seperti  menerapkan  hukum-hukum  Allah  SWT,  tidak  memberikan  loyalitas kepada  orang  kafir,  serta  mengganti  hukum-hukum  kufur  tidak  dijalankan  dengan  serius  dan komitmen,  layaknya  ketika  mereka  menjalankan  ibadah  puasa.  Mereka  terus  menelantarkan  hukum- hukum  Allah  SWT,  memberikan  loyalitas  kepada  kaum  kafir,  bahkan  berusaha  memerangi  para pengemban dakwah yang ikhlash berjuang untuk menegakkan kalimat Allah SWT.

Kita  bisa  bertanya,  apakah  mereka  sudah  mendapatkan  hakekat  dan  tujuan  dari  puasa?  Ataukah, mereka hanya mendapatkan lapar dan haus belaka?

Puasa harusnya menjadikan mereka mampu menghindarkan diri dari perbuatan yang diharamkan oleh Allah  SWT.  Sebab,  hal  itu  merupakan  substansi  dasar  dari  la’allakum  tattaqûn.  Jika  kita  mampu menghindarkan  sesuatu  yang  bisa  membatalkan  puasa  kita,  lantas  mengapa  kita  tidak  bisa meninggalkan larangan-larangan Allah yang lainnya?

Jika dalam melakukan puasa ia bisa menjaga dari hal-hal yang membatalkan puasa, disiplin waktunya, memenuhi  sunnah-sunnah  dan  keutamaannya,  lalu  mengapa  untuk  ibadah-ibadah  yang  lain  ia  tidak bisa seserius dan sedisiplin seperti tatkala mengerjakan puasa?

Makna  kedua;  puasa   harusnya  tidak  hanya  menjadikan  diri  kita  lemah  secara  fisik.  Lebih  jauh  dari itu,  puasa  juga  harus  mampu  melemahkan  syahwat  kita,  hingga  akhirnya  kita  memiliki  muyul(kecenderungan) yang baik. Kecenderungan hanya ingin berbuat baik, dan beribadah kepada Rabb-Nya dengan penuh keikhlasan dan ketawadlu’an. Puasa harusnya semakin membersihkan qalbu kita untuk selalu  bersemangat  dalam  ibadah  dan  lemah  dalam  bermaksiyat.

Dengan  puasa,  syahwat  (nafsu negatif)  harusnya  bisa  dilemahkan  sedangkan  keinginan-keinginan  baik  semakin  ditingkatkan.  Jika kita  masih  memuja  hawa  nafsu  dan  melemahkan  tuntunan  agama  yang  baik,  sungguh  puasa  kita belum  mendapatkan  hasil  yang  optimal.  Dengan  kata  lain,  puasa  yang  sudah  puluhan  tahun  kita kerjakan ini belum mampu mengubah akhlaq kita, menjadi akhlaq yang lebih baik. Semakin lama kita berpuasa,  harusnya  syahwat  kita  semakin  lemah,  keimanan  dan  hati  kita  semakin  jernih  dan cemerlang.  Semakin  lama  kita  semakin  menjadi  orang  yang  lemah  dan  lembut,  pemaaf,  sabar, menghormati yang tua dan menyayangi yang lebih muda.

Di  sisi  yang  lain,  semakin  lama  kita  berpuasa  kita  semakin  rindu  dan  cinta  kepada  terwujudnya penerapan  syari’at  Islam  secara  menyeluruh  di  muka  bumi  ini.  Kita  semakin  mencintai  dan  hanya memberikan  loyalitas  kepada  kaum  mukmin.  Kita  semakin  membenci  aturan-aturan  kufur,  antek- antek orang kafir, serta penguasa-penguasa yang enggan dan menelantarkan penerapan syari’at Islam. Kebencian  ini  kita  refleksikan  dengan  cara  berjuang  dan  mengingatkan  para  penguasa  dengan  cara yang  ihsan.  Sungguh  jika  syahwat  kita  sudah  lemah  —sebagaimana  lemahnya  fisik  kita—,  maka setelah  mengerjakan  puasa  kita  akan  menjadi  hamba-hamba  Allah  yang  memiliki  pola  sikap(nafsiyyah)  yang  tangguh  dan  kuat.  Puasa  tidak  ditujukan  untuk  melemahkan  fisik  kita,  akan  tetapi melemahkan syahwat kita yang buruk.

Makna  ketiga;  puasa  merupakan  wahana  untuk  melahirkan  kaum  mukmin  yang  bisa menghindarkannya  dari  upaya-upaya  meniru-niru  pemikiran,  adat-istiadat  dan  peradaban  kaum  kafir yang  bertentangan  dengan  Islam.  Kaum  mukmin  harusnya  memahami,  bahwa  kaum  kafir  —Yahudi dan Nashrani— adalah sumber keburukan dan kekejian. Perbuatan mereka yang suka mengganti-ganti dan mengubah-mengubah aturan-aturan Allah telah menjerumuskan mereka ke tempat yang sangat hina. Atas  dasar  itu,  seorang  mukmin  akan  berusaha  semaksimal  mungkin  untuk  menjauhi  mereka.

Rasulullah Saw pernah mengingatkan kepada kita semua dengan sabdanya: “Sungguh,  kelak  kalian  akan  mengikuti  tingkah  laku  orang-orang  sebelum  kalian  sejengkal  demi sejengkal, sehasta demi sehasta; hingga jika mereka masuk ke lubang biawak kalian akan mengikutimereka.”  Para  shahabat  bertanya,  “Apakah  mereka  itu  adalah  orang  Yahudi  dan  Nashrani?” Rasulullah Saw menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.” (Al Mustadrak, Musnad Imam Ahmad bin Hambal)

Faktanya, betapa  banyak  para  penguasa  muslim  yang  telah  mengerjakan  puasa  (mungkin) puluhan  tahun  lamanya,  namun  perangai  mereka  tetap  saja  bangga dengan gaya  para penguasa kapitalis barat. Bahkan, mereka menerapkan aturan-aturan yang bukan berasal dari Allah di tengah-tengah rakyatnya. Mereka menjadi penjaga aturan-aturan demokrasi dan penabuh genderang Islamophobia dengan mengkriminalisasi syari’at Islam dan para  pengembannya.  Seluruh  tipu  daya  dan  makar  mereka  kerahkan  untuk  menghambat  para pengemban  dakwah  yang  ingin  menegakkan  kalimat  Allah  SWT.  Puasa  yang  telah  mereka  lakukan puluhan  tahun  tidak  memberikan  bekas  apapun.  Mereka  tetap  membenci  kaum  muslim  dan  syari’at Islam,  bahkan  bermuwalah  dengan  orang-orang  kafir.  Tidak  jarang  diantara  mereka  bahkan  bahu- membahu  dengan  pasukan  kafir  untuk  memerangi  kaum  muslim.  Sungguh,  puasa  mereka  tidak memperoleh apapun kecuali sekedar lapar dan dahaga. Sebagaimana yang kita saksikan di Uyghur, Palestina, Myanmar, bahkan di negeri kita sendiri, Indonesia.

Puasa yang selama ini kita lakukan harus mampu menjadikan diri kita hanya ridha untuk diatur hanya dengan aturan-aturan Allah SWT, bukan dengan aturan-aturan produk barat seperti demokrasi, HAM, dan turunan-turunannya.

Sungguh, jika tiga hal ini telah kita pahami bersama, tentu ibadah puasa kita di bulan Ramadhan, dan ibadah-ibadah di bulan yang lain akan bermakna dan semakin optimal. Bagi seorang muslim, ibadah puasa merupakan wahana pembinaan agar kita semakin serius dan disiplin dalam mengerjakan seluruh perintah Allah SWT. Selain itu, puasa mereka wahana yang bisa mengantarkan kita menjadi mukmin yang berakhlaqul karimah. Lebih dari itu, puasa merupakan cambuk bagi kita agar kita meninggalkan aturan-aturan kufur yang lahir dari peradaban kapitalisme dan kembali kepada syari’at Islam. Wallaahu muwaffiq ila aqwamith thaariq

———————-

Leave a Reply

Your email address will not be published.