Oleh :Dessy Fatmawati, S.T
(Pengajar Kimia SMA)
#MuslimahTimes –– “Love has no label, right? Jangan hakimi cinta kami”. Begitulah satu dari sekian suara dibalik kampanye love has no label yang digalakkan komunitas pro-LGBT. Digambarkan dengan warna biru gelap dengan foto dua gadis kecil berangkulan. Menunjukkan bahwa mereka saling menyayangi.
Lagi, sebuah film kartun sains fiksi, “Baby Factory” membawa pesan bayi untuk semua. Bukan hanya bagi pasangan yang sudah menikah, tapi terbuka untuk pasangan lesbian dan gay. Dikemas dengan baik, bukankah kami juga berhak bahagia bersama bayi? Mendesak semua pihak untuk memaklumi adanya keturunan diluar pernikahan sah.
Dan kita saksikan di era milenial ini, kekuatan yang terhimpun mendobrak pagar-pagar sosial masyarakat bahkan memanjat pagar-pagar politis. Disadari atau tidak, legalisasi adalah satu-satunya pintu yang akan menjamin kesuburan perilaku LGBT. Sebab secara alami tidak tercipta keturunan yang menjadi tumpuan ide mereka.
// Tidak Berdiri Sendiri //
Awal gerakan massif LGBT di publik pertama kali tidak bisa dilepaskan dari gerakan feminisme saat itu. Perjuangan pokok feminisme adalah merubah cara masyarakat, agar menyamakan perlakuan tanpa memandang gender. Sebab dalam keyakinan feminisme, konstruk sosial masyarakat akan kedua gender yang menentukan. Perempuan dibentuk masyarakat untuk feminim dan pria dibentuk menjadi maskulin. Demikian pula hadirnya penyimpangan adalah sebuah konstruk, bukan bawaan lahir.
Adanya revolusi industri juga membawa revolusi masyarakat, yakni munculnya borjuis-borjuis (kapitalis) baru. Alih-alih membawa kesejahteraan bagi kaum lemah (perempuan dan anak-anak), revolusi semakin menekan perempuan yang sebelumnya telah terhimpit masyarakat feodalisme. Dan feminisme muncul sebagai respon.
Dalam buku The Myth of the Vaginal Orgasm, Anne Koedt (1970), seorang feminis radikal Amerika menggiring opini, “Jika laki-laki berhak memperoleh kepuasan seksualnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan wanita, maka wanita pun berhak memperoleh kepuasan seksual tanpa laki-laki”. Dan meledaklah gerakan feminis libertarian dan radikal. Setali tiga uang, demikian pula di gender adam muncul Gay Liberation Movement, yang pada tahun 1972 berubah menjadi LGBT Movement.
Yang patut dipertanyakan, mengapa kini berusaha diopinikan bahwa LGBT adalah bawaan lahir, alamiah, normal yang tidak dapat diubah? Seratus delapan puluh derajat dengan keyakinan mereka di awal perjuangan bahwa gender dan orientasi seksual adalah hasil konstruk masyarakat (bisa diubah)?
Presisten tapi inkonsisten. LGBT salah dari awal. Semakin ditelaah semakin nampak kesalahan ide LGBT. Kemunculan dan pembiarannya tak lepas dari konstruk masyarakat yang dibentuk peradaban rusak kapitalis. Materi adalah tujuan. Kebebasan adalah kebutuhan. Keegoisan adalah keniscayaan. Homo homini lupus, manusia menjadi srigala bagi manusia yang lain.
Dunia telah ‘memanen’ hasil gerakan ini, AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981 pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April 1987, terjadi pada pria homoseksual berkebangsaan Belanda. KPAN dan Kementerian Kesehatan memperkirakan peningkatan infeksi baru yang signifikan pada seluruh kelompok LSL (lelaki seks dengan lelaki). UNESCO tahun 2014 mendokumentasikan 95% kasus HIV baru di Asia Tenggara berasal dari LSL dan transgender. Akan tetapi tahun 2016 UNDP justru mengucurkan dana Rp 108 Miliar sebagai bentuk dukungan program ‘Being LGBT in Asia’.
// Dobrakan Solusi untuk Mengakhiri //
Kusutnya solusi untuk LGBT dengan segala kerusakan yang dibawa berawal dari standar nilai yang digunakan, liberalisme (kebebasanberperilaku). Alhasil, solusi yang hadir hanya semacam ‘pemadam kebakaran’ namun enggan memusnahkan sumber api. Arogansi pelaku dan pengusung ide ini sama sekali tidak membantu meredakan kerusakan yang dibawa.
Maka penting, perombakan solusi hingga ke dasar standar. Ditransformasikan ke dalam tata kehidupan dan formalisasi sistem. Tanpa ini, tidak akan benar-benar ada solusi. Sementara korban dan generasi tidak bisa hanya menunggu masuk dalam jurang kebinasaan yang pasti.
Dibanding nilai Barat, Islam memiliki keunggulan dari sisi standar, tata kehidupan dan sistemnya. Secara nilai jelas, Islam tidak kesulitan mengidentifikasi, gender dan orientasi seksual apakah pemberian atau konstruk sosial? Apakah setiap orientasi seksual dibolehkan atau tidak?
Tanpa eksperimen sosial yang berdarah-darah dan memakan waktu lama, Islam menempatkan gender adalah qadla (ketetapan) dan hubungan seksual hanya ada dalam pernikahan pasangan hetero. Di luar itu adalah penyimpangan (kriminal). Maka default yang muncul adalah meminimalisir faktor pemicu (preventif) dan eliminasi setiap kejadian yang muncul (kuratif).
Pembinaan keimanan individu, pengasahan kepedulian masyarakat dan negara yang memfasilitasi pencegahan LGBT merupakan kombinasi ampuh. Hanya Islam yang mampu menghadirkan kombinasi tersebut. Sebab dalam Islam tata kelola negara adalah ibadah, bukan untung rugi materi. Sebab kepedulian masyarakat semata karena Allah, bukan sekedar ajang ceremony. Sebab ketakwaan individu adalah kebutuhan bukan dipandang sebagai pengekangan hak asasi.
Ditengah kombinasi apik yang terbentuk, kasus LGBT akan nyaris nol. Kalaupun ada yang nekat, sanksi tegas memberikan gambaran ngeri bagi siapa saja yang berniat mengikutinya. Rasullullah shallallahu ‘alayhiwasallam bersabda, “Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya.” [HR Tirmidzi : 1456, Abu Dawud : 4462, IbnuMajah : 2561 dan Ahmad : 2727]
====================
Sumber Foto : Human Resources Online