Breaking News

Menyehatkan Perempuan tanpa Kekerasan

Spread the love

Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute 

Muslimahtimes– Satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan. Demikian data terbaru yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (9/3/2021). Ada 736 juta perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan atau kekerasan seksual dari non-pasangan.

Ironisnya, perempuan yang berpasangan memiliki tingkat kekerasan tertinggi yaitu 16 persen dalam setahun terakhir. Korban berusia 15 hingga 24 tahun. “Kekerasan terhadap perempuan mewabah di setiap negara dan budaya, menyebabkan kerugian bagi jutaan perempuan dan keluarga mereka, dan diperburuk oleh pandemi Covid-19,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus (kompas).

Mengapa WHO berbicara soal kekerasan perempuan? Karena hal itu berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan perempuan sepanjang sisa hidupnya. Korban kekerasan rentan mengalami gangguan kesehatan seperti cedera, depresi, gangguan kecemasan, kehamilan yang tidak direncanakan, infeksi menular seksual termasuk HIV dan lainnya.

Saran WHO untuk mencegah  kekerasan terhadap perempuan, yaitu: menjamin kesetaraan ekonomi dan sosial yang sistemik, memastikan akses ke pendidikan dan pekerjaan yang aman serta mengubah norma dan lembaga gender yang diskriminatif.l

Motif Ekonomi

WHO menyebut, kekerasan terhadap perempuan lebih rentan terjadi di negara berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah. Bahkan 37 persen perempuan yang tinggal di negara miskin. Artinya, faktor ekonomi adalah penyebab utama terjadinya kekerasan, khususnya bagi perempuan yang sudah berpasangan atau menikah. Kondisi semakin parah saat pandemi, di mana banyak keluarga yang kesulitan secara ekonomi dan perempuanlah yang menjadi korban.

Namun, solusi yang ditawarkan WHO dan ideologi sekular pada umumnya sungguh tidak adil. Ketika perempuan menjadi korban kekerasan karena faktor ekonomi, justru perempuan itu sendirilah yang harus bergerak menjamin pemenuhan ekonomi dirinya. Perempuan korban kekerasan ini didorong bekerja untuk menghasilkan uang agar persoalan ekonomi teratasi.

Alih-alih mengentaskan diri dari kekerasan, nyatanya, ketika perempuan bekerja, terjadi potensi kekerasan baru. Bukan rahasia bahwa perempuan kerap menjadi korban kekerasan di tempat kerjanya. Bahkan menjadi objek pelecehan seksual. Belum lagi sampai di rumah. Kelelahan dan stres atas beban kerja, membuat perempuan melampiaskan kemarahannya kepada anak-anak atau suaminya. Terjadilah lingkaran kekerasan dalam keluarga.

Mengapa? Karena perempuan bekerja, harus menjalani dua jenis pekerjaan yang tak bisa digantikan: pekerjaan di publik dan domestik. Hal ini menyebabkan stres dan dilampiaskan dengan menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Dengan demikian harapan untuk menyehatkan perempuan jika perempuan memiliki penghasilan sendiri, jauh dari harapan. Mungkin ia meningkat kesejahteraannya, namun kesehatan mentalnya jelas-jelas terganggu. Bahkan jika dia sebelumnya adalah korban kekerasan, bisa menjelma menjadi pelaku kekerasan.

Berbeda dengan Islam yang menjamin kesejahteraan ekonomi perempuan melalui mekanisme yang jelas. Ketika ia belum menikah, walinya yaitu ayah yang wajib menanggung ekonominya. Lalu setelah menikah, suami yang menanggungnya. Bagaimana jika wali atau suaminya tidak mampu menanggungnya? Seperti saat kondisi pandemi, dimana suami terkena PHK. Di situlah negara hadir untuk memberi santunan. Dengan demikian persoalan ekonomi perempuan mampu teratasi tanpa harus mengorbankan kesehatan mental kaum perempuan.

Struktur Sosial

Ideologi sekular selalu menuduh bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi karena struktur sosial yang patriarki. Penempatan kedudukan perempuan yang tidak setara dengan laki-laki dianggap sebagai penyebab. Oleh karena itu, perempuan harus ditempatkan sejajar dalam segala peran dengan laki-laki agar punya posisi tawar yang kuat. Dengan demikian ia tidak lagi menjadi korban kekerasan.

Pandangan ini seolah bagus, padahal keliru. Struktur sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan, semestinya tidak dipandang dengan kaca mata diskriminatif, tetapi distributif. Artinya, laki-laki diserahi tugas-tugas tersendiri dalam menggerakkan roda-roda kehidupan, demikian pula kaum perempuan diserahi tugas-tugas yang tak kalah pentingnya demi kelangsungan umat manusia.

Dalam Islam, laki-laki telah dititahkan untuk menjamin nafkah perempuan, memimpin dan melindungi mereka. Tanggung jawab tersebut wajib dilakukan dengan cara yang makruf. Diharamkan melakukan kekerasan dan melecehkan kedudukan perempuan yang berada dalam jaminannya. Bahkan juga wajib menghormati perempuan secara umum.

Di sisi lain, perempuan telah dititahkan untuk menjaga dan mengelola harta yang dihasilkan laki-laki, mengurus rumah dan mendidik anak-anak mereka menjadi calon penerus keluarga. Hal ini juga harus dilakukan dengan cara yang makruf, tanpa menuntut di luar kemampuan sang penjaminnya.

Di dunia Barat yang sekular, struktur sosial justru rusak oleh pandangan keliru tentang peran dan kedudukan kaum perempuan. Pemberontakan kaum perempuan yang menggugat perannya, telah memicu pelepasan tanggung jawab laki-laki secara massal atas diri kaum perempuan. Ketika perempuan ramai-ramai “merebut” peran laki-laki dengan tampil sebagai pencari nafkah, kaum laki-laki tersingkir dan menghilang dari peran sebagai pemimpin, penjamin dan pelindung bagi perempuan.

Apa yang terjadi? Laki-laki kehilangan jati diri. Ia merasa tak lagi dibutuhkan sebagai penanggungjawab perempuan. Akhirnya laki-laki tak lagi memandang perempuan sebagai pihak yang harus dia lindungi. Apalagi dengan uang yang dimiliki, perempuan akhirnya berani melawan kaum laki-laki. Alih-alih menghilangkan kekerasan dan menyehatkan kaum perempuan, justru hal ini mengundang kekerasan demi kekerasan.

Aspek Pendidikan 

Sementara itu, rendahnya pendidikan  memang menjadi salah satu pemicu mengapa perempuan menjadi korban kekerasan. Di negara-negara miskin di mana perempuan tidak memiliki kesempatan mengenyam pendidikan, mereka diperlakukan semena-mena. Mereka tidak punya daya tawar dan kemampuan untuk melawan.

Hal ini karena tanpa pendidikan, kaum perempuan juga tidak akan cakap melaksanakan tugas-tugasnya. Karena itu, pendidikan harus dipandang sebagai kebutuhan dasar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Bukan semata-mata meningkatkan kesejahteraan, tetapi mendongkrak keadilan. Termasuk, membela diri dari ancaman kekerasan.

Pendidikan dan wawasan yang luas, akan menjadikan perempuan lebih berdaya. Namun, pendidikan yang utama adalah tertanamnya tsaqofah Islam pada kaum perempuan. Tanpa pondasi agama, ilmu bisa-bisa disalahgunakan perempuan untuk menuntut peran yang justru bertentangan dengan titah agama.

Sistem Allah

Semangat untuk menghilangkan kekerasan terhadap perempuan, seharusnya sejalan dengan semangat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Sebab tanpa itu, kekerasan tidak akan hilang. Tugas negaralah yang menjamin kesejahteraan dan keadilan itu. Namun, semua itu tidak akan terwujud selama dunia global masih menerapkan ideologi sekular kapitalis yang terbukti gagal mewujudkan kesejahteraan, pemerataan ekonomi dan keadilan.

Di sistem ini, korban kekerasan bukan hanya melanda kaum perempuan, tapi juga anak-anak dan bahkan laki-laki. Oleh karena itu, bukan hanya perempuan yang harus dibebaskan dari kekerasan, tapi seluruh masyarakat. Semua berhak hidup aman, nyaman dan tenteram tanpa dibayang-bayangi kekerasan.

Dunia butuh sistem yang bersumber dari wahyu Sang Pencipta. Sebab, hanya Allah Swt. sajalah yang memiliki sistem paling lengkap, adil dan membawa maslahat bagi umat manusia. Sistem yang pasti mampu menjamin kesejahteraan dan kesehatan manusia, baik kesehatan  fisik maupun mental. Termasuk menjamin perempuan agar terbebas dari kekerasan.(*)