Breaking News

MUHASABAH WUJUD KASIH SAYANG

Spread the love

Oleh. Arviah H

#MuslimahTimes — Beberapa waktu lalu, dalam sebuah sambutannya presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Menurut orang nomor satu di Indonesia ini, kritik merupakan bagian dari proses untuk meningkatkan layanan publik yang lebih baik.

 

“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan, ini sangat penting untuk mendorong peningkatan standar kualitas pelayanan publik di masa yang akan datang” kata Jokowi saat memberi sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021.

 

Pada kesempatan yang berbeda, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan bahwa pemerintah memerlukan kritik yang terbuka agar pembangunan lebih terarah dan lebih benar. Pernyataan ini disampaikan berkenaan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2021.

 

Bagi pemerintah kebebasan pers, kritik, saran masukan itu seperti jamu. Menguatkan pemerintah. Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras. Karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,” kata Pramono dalam pesannya melalui kanal media sosial Sekretariat Kabinet, Selasa, 9 Februari 2021.

 

Pernyataan pemerintah yang meminta untuk diberikan kritik dan masukan pun mendapatkan respon beragam dari kalangan masyarakat. Selayaknya memang berbagai kritik dan masukan terhadap kinerja pemerintah harus selalu disampaikan dalam rangka mengoreksi dan mengontrol kinerja pemerintah sebagai wakil rakyat.

 

Islam memandang mengoreksi penguasa atau muhasabah lil hukam merupakan sebuah kewajiban yang sangat mulia. Muhasabah ini juga merupakan wujud kasih sayang rakyat terhadap penguasa agar selalu menjalankan pemerintahan sesuai syariat islam sebagai bentuk ketaatan terhadap hukum-hukum Allah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw,

أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)

 

Islam mendorong setiap muslim untuk melakukan muhasabah terhadap penguasa. Ini dilakukan semata-mata untuk mengontrol dan mengoreksi agar pemerintahan tetap berjalan sesuai syariat islam. Ketika penguasa membuat aturan maupun kebijakan yang menzalimi rakyat dan bertentangan dengan syariat, tentu harus dikoreksi baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

 

Muhasabah terhadap penguasa juga dicontohkan oleh Rasulullah saw. Ketika mengoreksi pejabat yang diamanahi untuk mengatur urusan rakyat. Rasulullah saw pernah  mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslimin, tujuannya agar pelaku bertaubat dan pejabat lainnya tidak mengulang kekeliruan yang sama.

 

Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata: “Rasulullah saw, mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi Muhammad saw dan Nabi Muhammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah diamanahi kepadanya. Ibnu Luthbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”

 

Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Nabi saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, Rasulullah saw bersabda,”Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Hadits di atas adalah sebuah dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw, pernah menasihati salah seorang pejabatnya dengan cara menyampaikan kekeliruannya secara terang-terangan di hadapan publik. Muhasabah terhadap penguasa juga dicontohkan oleh para sahabat.

 

Suatu ketika khalifah Umar bin Khaththab ra, berkhuthbah di hadapan kaum Muslimin setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.

 

Pada saat khalifah Umar bin Khaththab ra, mengenakan baju dari kain Yaman yang diperoleh dari harta ghanimah. Beliau kemudian berkhuthbah di hadapan para sahabat dengan baju tersebut, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al-Farisi ra, lalu  berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan tergesa-gesa,” lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..” ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu?” Abdullah bin Umar ra, menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”.

 

Dalam pidato pertamanya khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, sesudah dibaiat menjadi khalifah mengatakan,“Saudara-saudara, kalian telah mempercayakan aku untuk menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, bantulah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.”

 

Suatu ketika Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu?”. Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.

 

Islam mendudukan muhasabah terhadap penguasa sebagai aktivitas utama dan merupakan sebuah kewajiban juga wujud kasih sayang. Hal ini karena penguasa adalah pelayan umat yang telah diamanahi untuk mengurusi urusan umat sesuai syariat. Maka, sudah selayaknya muhasabah terhadap penguasa senantiasa ada agar pemerintahan selalu berjalan dalam koridor yang diperintahkan oleh Allah swt sebagai pemilik alam semesta.

 

Wallahu a’lam bi ashwab