Breaking News

Nasib BUMN yang Miris, Buah Tegaknya Paradigma Kapitalis

Spread the love

oleh: Novita Fauziyah, S. Pd

 

 

#MuslimahTimes — Berita mengenai kerugian dan utang BUMN mencuat. Setelah kabar utang negara yang kian menggunung, BUMN pun juga ternyata terjerat lilitan utang. PT PLN misalnya, dikutip dari money.kompas.com (26/5/2021), dalam laporan keuangan PT PLN, tercatat utang sebesar Rp 649,2 triliun pad akhir 2020. Jumlah tersebut terdiri dari utang jangka panjang sebesar Rp 499,58 triliun dan utang jangka pendek Rp 149,65 triliun.

Nasib yang sama pun dialami oleh PT Garuda Indonesia. Selain utang yang menggunung hingga 70T, perusahaan juga mengalami kerugian. Bahkan kondisi keuangan yang sulit membuat perusahaan belum membayar gaji karyawan hingga mencapai ratusan milyar.

Perusahaan BUMN Karya juga mengalami kerugian tahun kemarin. Dilansir dari economy.okezone.com (05/04/2021), laporan keuangan yang dirilis perusahaan konstruksi BUMN di antaranya, PT Waskita Karya (Persero) mengalami kerugian hingga Rp 7,3 triliun. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, kerugian yang dialami badan usaha sektor konstruksi disebabkan karena penugasan pemerintah yang dibarengi dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional yang tidak sesuai. Penugasan pembangunan proyek infrastruktur sebelum hingga saat terjadi pandemi Covid-19 sejak awal 2020 lalu.

Sungguh sangat miris. Di tengah kondisi keuangan negara yang sedang kolaps, BUMN pun juga ternyata demikian. Kondisinya sedang berdarah-darah diambang kebangkrutan. Kinerjanya dilihat dari untung rugi sebagaimana korporasi.

Buah Tegaknya Paradigma Kapitalis

 

Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik. Di samping itu BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, dan hasil privatisasi.

Pada praktiknya, perusahaan plat merah tersebut justru berperan layaknya korporasi yang melakukan jual beli kepada rakyat atau mengedepankan bisnis. Fungsi ini lebih menonjol ketimbang layanan publik. Fakta ini bisa kita rasakan misalnya dalam pemenuhan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM). Ada penetapan harga BBM yang dihitung dengan rumus gabungan antara harga dasar, margin, dan pajak. Tak hanya BBM, tapi juga listrik, air, dan lainnya. Rakyat harus merogoh kocek yang tak sedikit untuk memnuhi kebutuhan ini.

Kondisi BUMN yang miris tak lepas dari tata kelola dengan paradigma bisnis ala kapitalis yang yang mengedepankan aspek manfaat. Hal ini memang jelas diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Disebutkan dalam pasal 2, maksud dan tujuan didirikannya BUMN di antaranya adalah mengejar keuntungan.

Alih-alih mendapatkan keuntungan yang diharapkan, beberapa BUMN kini menderita kerugian. Mungkin akan terbesit pertanyaan, mengapa bisa sampai rugi? Padahal selama ini rakyat membeli atau membayarnya dengan lunas. Rakyat membayar biaya listrik, membeli bahan bakar, sampai membayar jalan tol untuk bisa menikmati layanan. Sebagai bisnis, tentu tak lepas dari hitungan biaya produksi dan penjualan. Biaya produksi memang menjadi faktor penyebab, namun kondisinya ditambah pula dengan beban utang ribawi. Tak bisa dipungkiri, untuk menjalankan penugasan membutuhkan modal yang tak sedikit. Permasalahan modal ini patut menjadi perhatian. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan tambahan modal seperti melantai di bursa atau menggandeng investor asing. Kemungkinan resiko terburuk harus dihadapi. Kondisi keuangan ini akan makin parah tatkala pemerintah hanya menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi seiring beban penugasan yang tinggi pada BUMN.

Sektor konstruksi misalnya, dipaksakan untuk membuat proyek yang mungkin tidak terlalu dibutuhkan oleh rakyat. Bekerja sama dengan pihak swasta asing dan terjerat utang menjadi hal yang tak bisa dipungkiri. Sebagai contoh bentuk kerja sama dengan asing, dikutip dari republika.co.id (7/6/2021), PT Waskita Karya (Persero) Tbk dan China Communications Construction Company Co. Ltdd (International) atau CCC telah menandatangani master agreement dalam rangka pembentukan aliansi strategis pembangunan insfrastruktur transportasi dan industri lainnya. Dalam perspekstif Kapitalisme, pemilik modal memainkan peranan penting.

Tak hanya masalah biaya produksi atau beban utang ribawi, faktor tata kelola menejemen juga patut disoroti. Penempatan orang yang dinilai kurang capable di bidangnya seringkali dilakukan. Bahkan aroma politik balas budi atau bagi-bagi kue kekuasaan pun tercium. Unsur hukum yang ditegakkan dalam menangani kasus korupsi di tubuh BUMN juga belum optimal. Potensi penyalahgunaan wewenang terbuka. Bisa dikatakan terjadi krisis multidimensi dalam pengelolaan BUMN yang tegak di atas paradigma Kapitalisme.

Di bawah Kapitalisme, berbagai layanan yang menyangkut hajat publik diliberalisasi atau dikapitalisasi. Pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada swasta atau asing dan aseng. Kapitalisme tidak mengenal kepemilikan umum, akibatnya badan usaha yang ada sekarang mengelola semuanya, termasuk yang menyangkut hajat publik dengan orientasi keuntungan. Sementara negara hanya berperan sebagai regulator. Rakyat terus dibebani, para pemilik modal terus dilayani.

Revolusi Paradigma

 

Permasalahan yang melanda BUMN menunjukkan bahwa sistem ekonomi Kapitalisme memang sudah cacat. Perlu adanya paradigma shahih dalam mengelola sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Paradigma shahih itu adalah Islam. Islam bukan hanya sebagai agama, namun juga mabda yang merupakan akidah rasional, melahirkan aturan atau sistem kehidupan.

Islam memiliki sistem atau aturan yang komprehensif, termasuk dalam hal sistem ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) setiap orang dengan pemenuhan secara menyeluruh, berikut kemungkinan setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan terseiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya.

Dalam hal ini negara berperan sebagai pengurus (raa’in) dan juga penjaga (junnah), sehingga kesejahteraan akan terwujud. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Bukhori dan Muslim).

Oleh karenanya, negara akan melakukan pemetaan terhadap pengelolaan harta. Dalam Islam, ada tiga konsep kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Konsep kepemilikan ini jelas berbeda dengan Kapitalisme yang tidak mengenal kepemilikan umum. Inilah yang menjadi akar perbedaan tata kelola harta kekayaan.

Dalam Islam, kepemilikan umum seperti migas dan SDA wajib dikelola negara dan dikembalikan sebesar-besar untuk kesejahteraan rakyat. Haram hukumnya untuk dimiliki individu atau diprivatisasi apalagi oleh asing. Haram pula menetapkan harga di dalamnya. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdullah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api, dan harganya adalah haram”.

Berkaitan dengan konsep kepemilikan tersebut, maka badan usaha untuk mengelola pun disesuaikan. Dalam pengelolaan SDA misalnya, mindset badan usaha yang mengelola kepemilikan umum tidak boleh berorientasi pada keuntungan. Rakyat bisa memperoleh dengan cuma-cuma, kalaupun ada harga akan sangat murah, tidak mengenal istilah subsidi. Demikian juga dengan pemenuhan kebutuhan publik seperti transportasi, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi semuanya menjadi tanggung jawab negara, tidak diserahkan kepada korporasi, serta tidak berorientasi pada profit.

Dalam Islam juga diharamkan berhutang dengan basis riba. Paradigma ini harus dimiliki oleh penguasa. Ada hukum syara’ yang membatasi setiap aktivitas pengelolaan harta kekayaan. Demikian pula dalam hal tata kelola menejemen di dalamnya. Amanah akan diberikan kepada orang yang memang mampu di bidangnya. Tentu bukan pemimpin yang bermental kapitalis, tapi sosok pengayom dan pelayan. Celah korupsi dan penyalahgunaan wewenang ditutup, disertai dengan penegakan hukum Islam. Adapun badan-badan usaha berperan membantu tugas negara secara teknis maupun membantu mendistribusikan kepada rakyat. Badan usaha tersebut tidak mengurangi peran negara dan mengambil keuntungan dari proyek strategis tersebut. Maka jelas bahwa ada jaminan pengelolaan harta kekayaan yang baik dalam sistem Islam untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

 

Wallahu‘alam bishawab.