Oleh Iiv Febriana
(Komunitas Muslimah Rindu Syariah Sidoarjo)
#MuslimahTimes –– Kondisi Papua mulai memanas kembali. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengeluarkan ultimatum kepada Pemerintah Indonesia. Salah satu isi ultimatum tersebut adalah memerintahkan warga sipil non-Papua, agar meninggalkan wilayah Kabupaten Nduga, per tanggal 23 Februari 2019. Jika tidak maka TPNPB-OPM tidak segan untuk menembak warga Non Papua yang masih ada di Nduga karena mereka menganggap warga Non Papua itu sebagai anggotaTNI/POLRI yang menyamar. Ultimatum tersebut disampaikan pentolan TPNPB-OPM, Egianus Kogeya melalui Facebook TPNPB pada hari Sabtu 23 Februari 2019. Hanya satu yang mereka inginkan, yaitu pengakuan kemerdekaan Papua dari RI (Tribunnews.com, 24/02/2019).
OPM didirikan tahun tahun 1963 sebagai penolakan atas modernisasi namun secara pergerakan OPM mulai menunjukkan aktivitasnya pada tahun 1965. Tujuan gerakan agar Provinsi Papua dan Papua Barat bisa melepaskan diri dari RI. Sebagai kelompok yang ditetapkan terlarang oleh RI, diakui atau tidak OPM telah mendirikan negara di dalam negara, dengan pengibaran bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang negara (sumber:wikipedia).
Hal ini terjadi sebagai buntut permasalahan yang tak terselesaikan pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda tahun 1949 agar menyelesaikan masalah Papua dalam tempo setahun namun hingga tahun 1961 tidak terselesaikan. Sebagai solusinya diadakan Perjanjian New York tahun 1962, yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS), kemudian membuahkan hasil berupa kembalinya Papua Barat ke pangkuan RI. Hal ini diperkuat dengan diadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, dengan hasil rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam lingkungan RI (sumber: wikipedia).
Sejak itu OPM banyak melakukan teror secara nyata sehingga membuat kondisi Papua tidak kondusif, alih-alih diberi label Teroris, OPM hanya di cap sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata dengan alasan dasar gerakannya adalah masalah kesejahteraan dan tidak membawa isu agama.
// Bias Status OPM //
Jika berkaca pada UU Anti Terorisme, sejatinya kelompok separatis OPM telah memenuhi tiga unsur tindakan terorisme, yaitu : Pertama, Menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat. Jelas OPM telah melakukan penyanderaan, penyiksaan, teror berupa ancaman yang tidak hanya sekali dua kali. Tentu tindakan itu merupakan tindakan yang menyebabkan ketakutan terhadap masyarakat.
Kedua, Melakukan kekerasan fisik. OPM telah banyak melakukan tindakan menyerang pihak keamanan baik unsur TNI maupun Polri, juga pejabat sipil dan masyarakat umum dengan kekuatan senjata. Dan tindakan ini juga telah menimbulkan korban jiwa yang tidak terhitung jumlahnya sejak berdirinya OPM hingga sekarang.
Ketiga, Mempunyai tujuan politik tertentu. Jelas sekali dalam AD/ART-nya OPM menyatakan dengan tegas ingin memisakan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian jelaslah telah memenuhi unsur tindakan terorisme.
Lalu pertanyaannya mengapa OPM tidak bisa dikategorikan teroris? Menurut Kepala badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai, akar permasalahan OPM memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu alasan kesejahteraan dan tidak membawa isu agama didalamnya. Padahal jika status OPM adalah teroris maka Densus 88 dan SAT GULTOR 81 (Kopassus) bisa diterjunkan ke Papua sehingga permasalahan OPM bisa segera ditangani dengan cepat. Sebab status Kelompok Kriminal Bersenjata hanya akan memposisikan OPM sebagai pelaku kriminal yang hanya berlaku hukum pidana saja. Nyatanya sangat jelas dari awal tujuan berdirinya OPM adalah melepaskan diri dari RI (disintegrasi).
// Solusi Mendasar //
Untuk menyelesaikan masalah disintegrasi Papua kita harus mampu melihat akar permasalahannya. Kita ketahui bersama jarak pusat pemerintahan dengan Papua cukup jauh, jika diukur dengan waktu perjalanan pesawat, jaraknya bahkan tidak lebih dekat penerbangan dari Indonesia ke Jepang. Dan lebih lagi Papua memiliki kekayaan alam yang luar biasa, sehingga pasti ada motif politik dan ekonomi disana. Maka untuk bisa menyelesaikan disintegrasi ini setidaknya dapat dimulai dari bebarap hal, yaitu:
- Butuh kedaulatan yang bulat dari Pemerintah. Kelompok separatis ini telah banyak melakukan aksi terornya sejak tahun 1965 dan telah menciderai kedaulatan negeri ini. Kita tahu Amerika Serikat memiliki kepentingan terhadap Papua sejak dahulu, maka sikap politis (political will) yang tegas dari pemerintah RI agar Papua tidak dimanfaatkan oleh “tangan-tangan “asing
- Pemerintah harus mampu bersikap adil dalam memperlakukan setiap warga negaranya. Selama masalah kesejahteraan di Papua tidak kunjung diselesaikan akan selalu muncul konflik yang berujunng kekerasan dan disintegrasi.
- Menginstall aturan agama dalam konsep bernegara. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Segenap kekayaan alam yang ada di bumi pertiwi adalah milik Sang Pencipta yang harus di kelola dengan benar karena semuanya nanti akan dimintai pertanggung jawabannya di sisi Al Khaliq. Dengan Islam, ketakwaan adalah sumber kekuatannya, tidak ada satu pun kekuatan dari dunia ini yang akan ditakuti.
Wallahu a’lam bishowab.
======================
Sumber Foto : Jawapos