Breaking News

Pemudik di Cegat, Pusat Perbelanjaan Tetap Padat

Spread the love

Oleh : Ani Rohaeni

 

#MuslimahTimes — Tinggal menghitung hari, Ramadhan akan segera berlalu. Hal yang tak asing, menjelang lebaran pusat perbelanjaan semakin ramai dipadati pengunjung. Walaupun tahun ini masih sama seperti tahun lalu, lebaran berada dimasa pandemi. Namun euforia masyarakat menyambut lebaran seolah tak pernah berubah. Sebagian masyarakat mulai memadati pusat perbelanjaan. Mereka memilih berbelanja menjelang akhir ramadhan karena banyaknya diskon besar yang ditawarkan tempat perbelanjaan. Hal ini tentu saja menimbulkan persoalan.

 

Berdasarkan pantauan TIMES Indonesia pada Selasa (4/5/2021), suasana di pusat kota Jalan KH Zaenal Mustofa serta di pusat perbelanjaan Yogya Dept Store dan Asia Plaza cukup ramai dikunjungi masyarakat. Tak hanya di Tasikmalaya, hal ini terjadi hampir disemua wilayah Indonesia. Padatnya pusat perbelanjaan menjadi persoalan, karena banyak pelanggaran prokes yang terjadi. Masih banyak masyarakat yang berkerumun dan juga tidak.menggunakan masker. Namun disisi lain, kegiatan berbelanja ini dianggap menjadi salahsatu cara jitu untuk mendongkrak perekonomian yang tengah lesu karena pandemi.

 

Seperti yang dilansir dari wartaekonomi.co.id (24/4/2021), saat menyampaikan keterangan pers APBN Kita, Sri Mulyani meminta masyarakat tetap menyambut Lebaran dengan penuh sukacita. Jangan lupa, kata dia, kegiatan belanja menjelang Lebaran seperti membeli baju baru harus tetap berjalan. Tujuannya agar kegiatan ekonomi tetap berjalan.

 

Hal ini tentu saja bertentangan dengan apa yang di sampaikan oleh Bapak Presiden seperti yang di kutip dari Jakarta,Kompas.com. Presiden Jokowi meminta masyarakat tetap waspada terhadap penyebaran virus corona, meskipun angka kesembuhannya terus meningkat bahkan kasus harian pun terus menurun. Tapi masyarakat di harapkan tidak berpuas diri, masyarakat dihimbau untuk menghindari semua aktivitas yang memicu kerumunan, demi memutus rantai penyebaran Covid -19.

 

Oleh karena itu aturan larangan mudik pun kembali diberlakukan dan mudik pun resmi di larang mulai 6 -17 Mei 2021. Hal ini sesuai dengan ketetapan pemerintah dalam Adendum Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan (Satgas) Covid-19 Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadan 1442 Hijriah.

 

Memang mudik menjadi tradisi tahunan yang dinanti. Namun setelah pemberlakuan pelarangan mudik lebaran, tak sedikit masyarakat yang tetap nekat ingin mudik demi bisa berkumpul dengan sanak saudara. Hal ini mengakibatkan banyaknya kendaraan yang diminta untuk memutar balik kendaraannya. Ada juga pemudik yang memilih turun di jalan untuk melanjutkan mudiknya dengan berjalan kaki. Saking tekadnya kuat ingin berlebaran di kampung halamannya, akhirnya pemudik dari Bandung nekat jalan kaki ke Ciawi. (https://radartasik.com/sekeluarga-nekat-mudik-jalan-kaki-15-km–ke-ciawi-tasik-mobilnya-diputar-balik-di-gentong)

 

Kebijakan yang ditetapkan pemerintah untuk tidak mudik ini berujung protes. Tentu saja bagi masyarakat hal ini adalah kebijakan yang cukup mengherankan . Mudik dilarang, wisata dan pusat perbelanjaan penuh dibiarkan. Apa korona bisa memilih kumpulan orang? Bukankah mudik di larang ini demi menghambat penyebaran covid-19 agar tidak semakin meluas ? Tapi di sisi lain kegiatan berbelanja justru di anjurkan dengan alasan untuk mendongkrak perekonomian.

 

Alih-alih untuk membuat ketenangan, kebijakan pemerintah justru sering menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tentu saja semua berharap pandemi segera berakhir dan segera terlepas dari masa-masa sulit ini. Maka perlu adanya penyelesaian yang serius dan penanganan yang menyeluruh sampai ke akar, agar hal ini tidak berulang.

 

Hanya saja jika aturan yang di pakai saat ini masih sistem kapitalis, dipastikan permasalahan tidak akan selesai, justru akan menimbulkan masalah baru.  Kalaupun ada solusi yang di hadirkan adalah solusi tambal sulam. Karena pada dasarnya aturan yang di ambil akan selalu berlandaskan pada untung rugi. Jauh keberpihakan pada kepentingan rakyat, itulah suatu hal yang dimaklumi dalam sistem demokrasi. Kepentingan publik bisa dibajak oleh kepentingan gerombolan para kapitalis.

 

Jika mau jujur, keterpurukan ekonomi dunia, termasuk Indonesia bukan dimulai saat pandemi melanda. Jauh sebelum adanya pandemi, sistem ekonomi kapitalisme yang menguasai dunia hari ini telah membuat dunia mengalami krisis berulang.

 

Sistem ekonomi kapitalismelah yang menjarah berbagai kekayaan alam di seluruh negeri dan memiskinkan mereka. Bahkan ketika pandemi tiba, ekonomi pun tersungkur tak berdaya. Negeri seperti Indonesia yang melimpah kekayaan alamnya kini menggantungkan hanya pada sektor pariwisata untuk bangun dari keterpurukan ekonomi yang melanda.

 

Tanah, air, ladang, hutan, tambang, semuanya sudah bukan milik kita. Indonesia sold out! Inilah potret negara yang diatur kapitalisme, mengorbankan rakyat sendiri dan menguntungkan korporasi.

 

Yang lebih miris lagi, pelayanan publik dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini dilakukan sebagai penyeimbang kewenangan atau hak pemerintah untuk menarik pajak dan retribusi dari masyarakat. Pelayanan pemerintah terhadap rakyatnya menuntut imbal balik.

 

Jadi tak heran, akan dijumpai ketika rakyat menunggak pajak, pemerintah pun mengancam akan menghentikan atau mempersulit pelayanan publik bagi mereka.

 

Apa yang menimpa masyarakat khususnya muslim saat ini sangat jauh berbeda dengan apa yang dulu terjadi dimana saat itu Islam diterapkan.

 

Dalam ajaran islam sistem yang dijalankan adalah Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).

 

sejak awal dibaiat, posisi seorang khalifah adalah sebagai pelayan umat yang akan memastikan seluruh kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan pemenuhan yang syar’i.

 

Kepemimpinan khalifah mengelola manajemen berbagai urusan negara dan kepentingan masyarakat, baik oleh departemen, jawatan, serta unit-unit yang didirikan untuk menjalankan urusan negara dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

 

Hal tersebut dilakukan semata karena pertanggungjawaban syariat sebagai pelayan umat. Bukan karena kontrak politik, bukan pula sebagai pihak yang digaji oleh rakyat.

 

Sistem pengangkatan Khalifah yang menihilkan keterlibatan para pemilik modal menjadikannya bersih dari campur tangan para kapitalis dalam pembuatan kebijakan publik.

 

Sejarah mencatat, tanggung jawab kepemimpinan dalam naungan Khilafah, bukan hanya mengantarkan pada kesejahteraan dan keamanan dalam negeri, tetapi juga turut membantu negara lain saat ditimpa musibah kelaparan. Seperti pada masa Kekhilafahan Turki Utsmani, Sultan Abdul Majid memberikan sumbangan kepada negara Kristen Irlandia yang kala itu terjadi bencana Great Famine atau Kelaparan Besar.

 

Khilafah menjadi negara yang disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Kokoh berdiri selama 13 abad lamanya dengan penguasaan 2/3 wilayah dunia.

 

Inilah yang dibutuhkan umat untuk menyudahi segala keterpurukan yang terjadi, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Maka sudah saatnya kita kembali mengambil sistem islam untuk diterapkan sehingga dapat menyelesaikan pandemi ini secara menyeluruh. Karena dalam Islam ada solusi atas segala problematika kehidupan. Dan sistem Islam pun akan mencetak pemimpin yang bertanggung jawab atas urusan umatnya.

 

Wallohu A’lam..