Breaking News

Perempuan Butuh Syariat Islam, Bukan RUU PKS

Spread the love

Oleh :Gusti Nurhizaziah

(Pemerhati Remaja dan Perempuan)

#MuslimahTimes — Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kini kembali menuai protes. Sejumlah perempuan yang tergabung dalam Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi menolak RUU PKS. Mereka menganggap RUU tersebut tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Selain itu Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) juga menolak RUU ini dengan pertimbangan melanggar norma agama serta sarat dengan muatan femenisme dan liberalisme.

Kekhawatiran dari pihak yang menolak RUU PKS tersebut, bukan hanya isapan jembol belaka, sebab jika kita membaca secara teliti dengan paradigma Islam politik isi dari RUU PKS tersebut akan tampak jika muatan western yang mengagungkan sekularisasi dan liberalisasi turut mendominasi materi RUU ini. Definisi ‘Kekerasan seksual’ misal “secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas” memberi kesan bahwa sebuah perbuatan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut disanksi. Di sinilah peran agama dinafikan. Karena bagi pemuja liberalisme, mereka memilik idoktrin “my body my otority”. Artinya jika tubuh seseorang dieksploitasi demi hasra tseksual, namun atas persetujuan yang bersangkutan, dengan tujuan yang bersangkutan akan mendapatkan keuntungan, hal ini tidak akan terkena delik kekerasan.

Bahkan stigmatisasi syariat Islam pun terlihat sangat kental pada pasal 7 RUU tersebut pada sub ‘KontrolSeksual’. Sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diantaranya “pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu”. Jika ayat ini dialamatkan pada ketentuan syariat Islam yang dianggap memaksa perempuan berpakaian dengan cara menutup aurat secara sempurna, jelas ini menghujat ketentuan al-Qur’an dan al-Hadist yang membahas keharusan muslimah menutup auratnya. Ini jelas mendiskreditkan Islam.

Belum lagi bila melihat asal muasal penderasan regulasi anti kekerasan. Semua merupakan turunan dari ide kesetaraan gender. Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) telah diwajibkan untuk menjalankan langkah-langkah perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan. Oleh sebab itu, sejak tahun 2011 kalangan feminis telah menuntut DPR segera membahas RUU Kekerasan Seksual yang digagas LBH APIK.

Maraknya kasus kekerasan seksual telah menjadi masalah besar bagi negeri khususnya dan dunia pada umumnya. Ini tentu harus diselesaikan agar tidak bermunculan lagi korban-korban yang baru.Untuk menyelesaikan masalah besar ini perlu dicari tahu apa akar masalahnya, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat.

Jika dilihat dari tujuan legalisasinya RUU PKS ini terkesan ada keprihatinan akan peningkatan kasus kekerasan seksual yang menjadikan perempuan sebagai korban. Padahal sumber dari persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi karena diterapkannya sistem sekuler demokrasi kapitalis neolib, bukan dampak dari ketimpangan gender. Sebab hasil survey pada tahun 2018 kekerasan seksual justru lebih banyak terjadi pada laki-laki yang mencapai 28% dibandingkan dengan perempuan yang hanya mencapai 20%.

Muara dari semua solusi kejahatan seksual tidak akan mampu menghentikan predator seksual. Karena, semua penanganan tersebut adalah perlindungan abal-abal. Disangka sebagai perlindungan, namun tidak mampu menjadi perisai bagi kehidupan mereka. Juga tidak mampu menghilangkan semua ancaman. Artinya, selama faktor-faktor penyebab kejahatan tidak mampu dilenyapkan, keamanan, kehormatan dan nyawa perempuan dan anak-anak masih terancam. Jikapun ada upaya merehabilitasi pelaku kejahatan, lingkungan tempat hidup masyarakat yang sekuler dan liberal masih akan menyimpan benih-benih kerusakan yang berpotensi menjadi ancaman laten bagi masyarakat.

Inilah yang terjadik etika pemerintah dan masyarakat tidak mau keluar dari konsepsi demokrasi sekuler yang berlandaskan akal manusia untuk menyelesaikanp roblematika kehidupan. Padahal sepanjang peradaban manusia solusi yang lahir dari hukum ciptaan manusia hanya akan berujung pada persoalan baru, bukan penyelesaian masalah. Buktinya adalah darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak ini telah disampaikan sejak tahun 2015, hingga kini kasus yang terjadi tidak berhenti, namun kian banyak dan mengerikan.

Maka sudah sangat jelas bahwa RUU PKS merupakan serangan pemikiran yang diaruskan barat ke dunia Islam untuk mendiskreditkan Islam.Padahal, perilaku seksual baik suka tidak suka, dipaksa ataupun tidak, jika penyimpangan seksual dan tidak berlandaskan hukum syariat, maka Islam menyebutnya sebagai kejahatan seksual. Dan segala bentuk kejahatan itu adalah zarimah (kriminal) yang pasti mengandung dosa. Sungguh solusi seluruh problem perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan adalah dengan diterapkannya Islam secara kaffah(menyeluruh). Syariat Islam itu sendiri memiliki tiga pilar dalam penerapannya yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial dalam masyarakat dan penerapan hukum Islam secara menyeluruh oleh negara.

Individu yang betakwa akan menjauhkan diri dari melakukan kekerasan seksual, karena merupakan tindakan kriminal yang menjadikan pelakunya berdosa. Adapun kontrol masyarakat dilakukan melalui aktifitas dakwah, yaitu amar ma’ruf nahi munkar yang dengannya memberikan peringatan dan nasihat setiap kali ada pelanggaran hukum syara berkaitan dengan perempuan. Sedangkan penerapan syariat Islam secara menyeluruh oleh negara bermakna Khalifah memiliki wewenang penuh atas penerapan hukum Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat, yang akan menjamin perlindungan terhadap perempuan.

Dengan tiga pilar dasar inilah yang akan menjamin keberhasilan penerapan syariat Islam. Apabila tiga pilar  ini berjalan dan berfungsi secara optimal, maka hukum Allah benar-benar akan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Walhasil, kejahatan ini tidak akan terjadi bila masyarakat memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun perbuatan buruk, akan diketahui Allah subhanahuwata’ala dan pasti mendapatkan balasan di hari akhirat. Keterikatan pada hukum syariat mampu mencegah perbuatan zalim apapun dan terhadap siapapun. Mekanism esistem sanksi dalam Islam yang tegas pun akan menjadi penghalang kemaksiatan, karena keberpihakan hanya berlaku pada hukum Allah, bukan pada penguasa ataupun pengusaha.

 

 

 

=================

Sumber Foto : Panjimas

Leave a Reply

Your email address will not be published.