Breaking News

Proyek Sawah Cina untuk Ketahanan Pangan Indonesia?

Spread the love

Oleh. Ari Sofiyanti

Muslimahtimes.com–Indonesia, “pernah” mendapat gelar negeri agraris. Entah gelar itu masih tersemat hingga kini atau tidak, yang jelas kita tengah mengalami permasalahan beras. Kenyataannya Indonesia masih kerap bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.

Pemerintah mengatakan untuk alasan ketahanan pangan, Menkomaves, Luhut Binsar Pandjaitan, bersama Menlu Retno Marsudi bertemu dengan Menlu China Wang Yi dalam High Level Dialogue and Coorperation Mechanism (HDCM) RI-RRT di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2024). Pertemuan ini membahas proyek sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah. Luhut mengatakan Indonesia meminta Cina memberikan teknologi padi mereka agar Indonesia bisa menjadi lumbung pangan ke depannya.

Namun, secara kritis kita perlu menelaah. Apakah benar dengan langkah ini akan dapat mengatasi masalah pangan di Indonesia?
Menurut pendapat pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, teknologi pertanian dari negara lain yang akan diadopsi haruslah sesuai dan bisa diaplikasikan di wilayah Indonesia. Karena ada berbagai faktor perbedaan wilayah satu dan lainnya, misalnya iklim/cuaca, sifat tanah, hama penyakit yang perlu diperhitungkan. Contoh kasusnya adalah benih hibrida yang diimpor dari Cina dan dibagikan kepada petani tahun 2007 lalu. Walaupun benih ini diklaim berhasil di Cina, ternyata hasilnya tidak sesuai ekspektasi di Indonesia karena padi hibrida ini terserang penyakit di beberapa wilayah.

Secara teknis, Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, mengungkapkan ada empat pilar pengembangan lumbung pangan yang perlu diperhatikan.

Pertama adalah harus ada kecocokan tanah dan iklim dengan komoditas yang ditanam. Jika pemerintah asal tanam tanpa menelitinya maka akan terjadi kegagalan panen.

Kedua adalah infrastruktur pertanian, seperti irigasi, jalan untuk mobilitas alat dan mesin pertanian serta pengangkutan hasil produksi menuju tempat pengumpulan.

Ketiga adalah budaya budidaya dan teknologi. Seperti budaya bertani masyarakat setempat, kemudian teknologi untuk pengendalian hama dan pemupukan.

Keempat adalah pilar sosial dan ekonomi, yang menyangkut tenaga kerja dan perhitungan keuntungan badan usaha. Lahan yang luas tentu memerlukan SDM yang banyak pula. Jangan sampai merencanakan food estate secara ambisius dengan luas fantastis tapi kekurangan SDM untuk mengelolanya.

Seharusnya kita belajar dari kegagalan proyek-proyek food estate selama ini yang telah dicanangkan semenjak orde baru hingga sekarang. Jika ditelaah semua proyek itu mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan yang telah diungkap dua ahli di atas. Maka sebenarnya kegagalan yang konsisten itu sesungguhnya adalah buah kapitalisme.

Ketika proyek ambisius berorientasi pada kapitalis yang menguntungkan oligarki, seakan pilar-pilar yang disebutkan ahli tersebut tidak diperhatikan. Pemerintah menggenjot proyek besar-besaran, membuka lahan bahkan membabat hutan atau gambut secara luas tanpa peduli dampak kerusakan ekologisnya.

Dana yang besar pun digelontorkan demi bekerja sama dengan pihak swasta. Tetapi, hasilnya mengecewakan dan tetap tak bisa mengatasi masalah pangan masyarakat.

Miris memang ketika kapitalisme mengubah orientasi pemerintah dari kesejahteraan rakyat kepada kepentingan oligarki. Sementara itu masyarakat tetap menanggung beban kebutuhan yang semakin berat ditambah lagi bumi semakin dirusak.

Sebenarnya Allah telah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raaf 96).

Negara yang beriman dan bertakwa itulah kuncinya. Artinya, negara wajib menaati perintah Allah dan Rasul mengenai semua tata aturan dan hukum kehidupan. Termasuk bagaimana mengurus rakyat. Asas iman dan takwa ini memunculkan sikap tanggung jawab dan kasih sayang kepada rakyat. Jika aturan dan orientasi negara sudah tepat, seperti yang diajarkan Islam, maka janji Allah akan keberkahan insya Allah akan terwujud.

Teknis atau strategi dalam pertanian bisa menyesuaikan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, empat pilar yang telah disebutkan oleh Andreas, Guru Besar IPB di atas. Pertanian yang sudah dilakukan oleh masyarakat itulah yang akan dioptimalkan oleh negara. Bukan malah jor-joran menggandeng swasta tanpa pertimbangan pilar-pilar tersebut. Apalagi kerjasama ini melibatkan negara yang memerangi kaum muslim Uyghur. Sungguh tidak pantas bagi negeri muslim bersahabat dengan kaum yang menyakiti saudara muslimnya sendiri.

Negara dalam Islam benar-benar akan hadir untuk mengatur produksi, distribusi dan konsumsi pangan sesuai syariat Islam. Negara yang disebut khilafah ini akan memastikan semua rakyat sejahtera tanpa terzalimi.

Bumi yang luas ini telah diciptakan oleh Allah dengan keseimbangan ekologis yang alami. Keseimbangan ekologis akan tetap terjaga bila syariat Islam yang menjadi sandaran. Demikian pula jika dikelola denan syariat Islam akan sangat mencukupi kebutuhan seluruh manusia.

Wallahu a’lam.