Breaking News

Revisi UU ITE, untuk Kepentingan Siapa?

Spread the love

 

Oleh: Norma Sari

 

MuslimahTimes.com – Wacana merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) bergulir setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan. Jokowi mengaku akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU tersebut jika implementasi UU ITE yang berkeadilan itu tidak dapat terwujud. Jokowi bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut. “Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ITE ini. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.” kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta.

Pada kesempatan yang sama, ia juga mengimbau kepolisian untuk lebih selektif dalam menerima pelaporan pelanggaran Undang-Undang ITE, menyusul makin banyak warga yang saling melaporkan ke kepolisian.
Revisi UU ITE sebetulnya bukan pertama kali ini saja bergulir. Pada 2016, DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Akan tetapi, revisi saat itu tidak serta merta mencabut pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet. Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.

Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menilai ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dibandingkan dengan situasi era Orde Baru. Busyro pun menilai situasi saat ini sudah bergerak ke arah neo-otoritarianisme. Ia mengatakan ada tiga indikator pemerintahan Jokowi sudah mengarah ke neo otoritarianisme.

Pertama, masifnya buzzer atau pendengung di media sosial. Kedua, adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Ketiga, terdapat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilainya seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer.

Kritik adalah fitrah bagi penguasa. Penguasa dikritik atas kinerjanya itu wajar. Dengan kritik, penguasa bisa bermuhasabah dan memperbaiki kinerja.

Dalam Islam, kritik rakyat untuk penguasa adalah keniscayaan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah dikritik karena beliau menetapkan mahar bagi perempuan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah dikritik anaknya sendiri lantaran beristirahat sejenak di kala masih banyak rakyatnya yang terzalimi. Pengaduan rakyat terhadap sikap penguasanya yang belum menegakkan hukum secara adil juga pernah dialami Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash. Ia diadukan kepada Khalifah Umar lantaran hukuman yang diberikan Amr kepada putra Khalifah, yaitu Abdurrahman dan temannya tidak sesuai aturan yang ada.

Di sistem Islam, kritik biasa terjadi. Kritik rakyat tersampaikan melalui Majelis Umat, yaitu bagian dari struktur pemerintahan Islam yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat meminta nasihat bagi khalifah dalam berbagai urusan. Dari Tamim ad-Dari (diriwayatkan), bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka.” (HR Muslim). Dalam hadis yang lain juga dikatakan, “Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

Dengan demikian, sistem Islam sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyatnya. Sistem Islam tidak antikritik. Siapapun bebas memberikan kritik dan aduan. Dari segi teori dan praktik, sistem Islam benar-benar menjalankan pemerintahan yang terbuka dengan kritik. Dengan kritik dan pengaduan rakyatlah, penguasa akan terselamatkan dari sikap zalim dan mungkar. Sebab, penguasa di sistem Islam menyadari besarnya pertanggungjawaban mereka kelak di akhirat. Wallah a’lam bi ashshawab. []