Breaking News

Sekolah Penggerak, Kebijakan Parsial Perlebar Jarak

Spread the love

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih

(Institut Literasi dan Peradaban)

MuslimahTimes.com – Dilansir dari Kompas.com, Senin, 1 Februari 2021, Mendikbud luncurkan sekolah penggerak dan kepala sekolah diminta untuk segera mendaftar. Hal ini disampaikan Nadiem Makarim secara langsung di kanal Youtube Kemendikbud dalam Konferensi Daring Merdeka Belajar Episode 7: Program Sekolah Penggerak.

Sebelumnya di tanggal 3 Juli 2020, Kemendikbud sudah meluncurkan program Merdeka Belajar Episode 5: Guru Penggerak. Diakui Nadiem upaya ini dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang mencakup kompetensi literasi dan numerasi serta karakter.

Sasarannya adalah 2.500 sekolah di 34 provinsi dan 111 kabupaten/kota. Program Sekolah Penggerak bukanlah untuk memilih sekolah favorit atau sekolah unggulan, melainkan untuk mendorong transformasi sekolah negeri dan swasta untuk bergerak satu hingga dua tahap lebih maju. Kemendikbud akan memilih sekolah yang memiliki minat dan kemauan tinggi untuk bertransformasi. (Kompas.com, 1/2/2021)

Meningkatkan hasil mutu pendidikan serta meningkatkan kompetensi kepala sekolah dan guru memang menjadi kewajiban negara. Namun jika dalam pelaksanaannya dijadikan pilihan tentu tidak pada tempatnya. Lantas dimana jaminan negara atas penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan? Ini tidak sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 31 hasil perubahan.

Ayat 1 berbunyi Setiap warga berhak mendapat pendidikan. Ayat 2 berbunyi: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sedangkan ayat 3 berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Terakhir ayat 4 berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Serta, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Secara jelas tak ada disebut di dalamnya pertahap dan diserahkan pada sekolah atau kepala sekolahnya apakah ia mau maju atau tidak. Pendidikan merupakan soko guru lahirnya generasi penerus bangsa, tentu haruslah mendapatkan yang terbaik dalam segala hal. Dan negara harus bisa mewujudkannya apapun kesulitannya. Baik untuk sekolah pinggiran maupun dalam kota. Baik sekolah swasta atau negeri. Selama di situ tinggal manusia maka berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas.

Selain itu yang perlu dikritisi, ada empat tahapan transformasi yang akan dilalui sekolah dalam waktu 3 tahun ajaran. Salah satunya adalah pembelajaran berpusat pada murid, bukan pada regulasi. Inilah mungkin mengapa disebut belajar merdeka. Namun benarkah hasilnya akan lebih baik jika tanpa regulasi misalnya ketentuan tentang kurikulum? Padahal, suksesnya proses belajar mengajar adalah tergantung dari kurikulum yang dijadikan bahan ajarnya.

Bisa terbayang jika tanpa regulasi yang berarti bebas nilai, tak ada campur tangan norma ataupun agama apapun jelas ini akan menjadi ide yang berbahaya. Lebih parahnya mengarah kepada sekulerisme atau pemisahan agama dalam kehidupan.

Hal ini sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Islam bahwa kemunduran kaum Muslim dari memimpin dunia ada empat sebab. Pertama, kaum Muslim tidak berpegang teguh pada agamanya lagi seperti sebelumnya. Kedua, karena membiarkan pemahaman asing bercokol dalam benak kaum Muslim. Ketiga, adanya pengambilan pemikiran Barat dan keempat lemahnya penerapan hukum syariat.

Hal itu diperjelas lagi bagaimana awal keburukan penerapan syariat, Daulah Khilafah di akhir abad 18 membolehkan sekolah misionaris berdiri dan merekrut anak-anak kaum Muslim. Di sanalah perubahan drastis terjadi, yakni dihilangkan pemahaman tentang Islam dan diganti dengan pemahaman Barat yang lebih “bebas” melalui kurikulum. Akankah ini terulang?

Kebijakan zonasi saja sebenarnya sudah menuai banyak persoalan, sebab pembatasan siswa didik hanya boleh mendaftar sekolah di zona yang telah ditentukan tidak diikuti dengan pembangunan sarana, prasarana dan SDM secara merata dan berkualitas. Niatnya mungkin baik, untuk meniadakan sekolah favorit dan tidak favorit, namun malah memperpanjang jarak antara si miskin dan si kaya.

Banyak praktik melenceng yang kemudian terjadi, mulai suap orangtua agar anaknya bisa lolos, penarikan biaya oleh sekolah kepada wali murid, penggunaan jatah dan kartu katabelece dan lain sebagainya hanya agar anak-anak mereka tidak masuk sekolah pinggiran yang bobrok, hampir rubuh, tak punya lapangan olahraga, laboratorium, gurunya hanya beberapa dan mungkin pula langganan banjir sehingga bisa disebut bukan lingkungan yang nyaman untuk belajar.

Tak melihatkah Menteri Pendidikan kita akan fakta itu? Bisa jadi melihat, namun aspek pendidikan pun menjadi bagian dari liberalisasi yang sedang getol dicanangkan pemerintah. Isu-isu keagamaan sengaja digelontorkan juga dalam rangka menggiring suksesnya agenda keji itu. Sekolah merdeka tak sepenuhnya mengantar generasi sukses dunia akhirat. Namun lebih kepada lahirnya generasi terdidik, namun sekuler. Wallahu a’ lam bish showab.