Breaking News

Syahid di Bulan Mulia

Spread the love

Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan Pemerhati kebijakan publik)

Muslimahtimes– Allah Swt. berfirman: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (TQS. Al Baqarah: 256)

Kabar hilang dan tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 masih menyisakan duka, bukan hanya bagi keluarga korban tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, mereka adalah para pahlawan bangsa yang menjaga pertahanan negara di daerah maritim dan kelautan. Mereka orang yang berani mengorbankan waktu, tenaga bahkan nyawa sebagai resiko pada saat menunaikan tugas terlebih di bulan Ramadan.

Tenggelam adalah salah satu resiko yang harus mereka hadapi karena berhadapan langsung dengan laut. Pasti ada hikmah dari peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala-402. Sebagai mukmin, meyakini bahwa apa yang terjadi bagian dari kehendak Allah dan pasti yang terbaik walau buruk dalam pandangan manusia.

Ya, apa yang sudah terjadi adalah qadha atau takdir yang harus diterima dan dihadapi. Satu hal, mereka yang bertugas dan menjadi korban syahid di bulan yang mulia. Sebuah harapan yang pasti diinginkan bagi seluruh muslim di manapun berada, bisa syahid apalagi di bulan mulia bulan penuh berkah yaitu Ramadan. Sebagaimana hadis Baginda Nabi Saw.:

Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915).

Perkara ini selesai dalam kaca mata akidah atau keimanan, karena jika dibahas dalam kaca mata lain yang ada hanya mengeluh, larut dalam kesedihan bahkan menyalahkan Allah. Setiap manusia memiliki takdirnya masing-masing, termasuk takdir kematiannya semua sudah ada dalam ketetapan Allah. Tugas manusia hanya beriman kepada Allah dan qadha-Nya, baik ataupun buruk.

Namun, bagi negara (penguasa) peristiwa ini harus menjadi perhatian dan evaluasi. Karena berkaitan dengan kualitas alutsista pertahanan negara di daerah maritim atau kelautan (Angkatan Laut). Juga berkaitan dengan keselamatan dan kemaslahatan umum. Evaluasi ini terkait dengan perawatan dan kualitas alat, human error’ atau hal lain yang harus segera dipelajari serta dicarikan solusi.

Segera dicari penyebab secara ilmiah atau keilmuan di bidang angkatan laut dan kemaritiman tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402. Agar menjadi pelajaran suatu saat nanti jika dihadapkan dengan masalah yang sama. Ini berbicara dari preventif sebagai manusia yang lemah dan terbatas. Jika berbagai hal sudah dipelajari, diantisipasi dan dipersiapkan dengan matang termasuk sangat memperhatikan perawatan dan kualitas alat dan kapal selam yang ada.

Maka, kejadian buruk yang menimpa adalah memang bagian dari peristiwa alam dan di luar kendali manusia. Tugas manusia hanya bisa menerima karena hal tersebut bagian dari kehendak Allah. Ada prediksi bahwa ketika kapal selam KRI Nanggala-402 mulai bertugas, pada saat yang sama arus air di bawah laut sedang tinggi hingga kapal selam tersebut terseret arus hingga ke kedalaman 800 meter.

Apapun prediksinya sah-sah saja, selama bisa dipertanggungjawabkan. Bukan hanya spekulasi yang tak beralasan apalagi mengada-ada. Karena hal ini bukan ranah untuk mengada-ada, tapi bicara sesuai kapabilitas keilmuan dan keahlian. Seorang muslim pasti mengerti, bahwa berkata harus yang baik jika tidak bisa lebih baik diam. Begitu sabda Baginda Nabi Saw.

Sebagai manusia semua berharap, kejadian ini tidak terulang lagi. Lain halnya jika takdir berkata lain, hanya keimanan yang mampu menyelesaikannya. Tentu setelah kaidah kausalitas diperhatikan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak terutama penguasa.

Rasulullah Saw. bersabda: “Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga menjadi penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari no. 5318)

Allahu A’lam bi ash Shawab.