Breaking News

Tak Pernah (Merasa) Cukup

Spread the love

Tak Pernah (Merasa) Cukup

Oleh: Emma Lucya Fitrianty

(Penulis buku “Nak, Bunda Ingin Resign!”)

Ada sebuah cerita yang membuat saya tertegun. Ada rasa syukur di sana, walau bagaimana pun. Ceritanya, suami saya akan membayar tiket kereta mudik lebaran idul fitri. Saat suami saya sedang menunggu sistem pembayaran yang sedang error di kasir sebuah tempat perbelanjaan, sempat melihat dua kejadian yang insya Allah memberikan pelajaran untuk kami.

Kejadian pertama, ada seorang ibu yang menarik uang dari ATM sebesar dua ratus ribu namun tertolak oleh mesin ATM karena saldo tidak mencukupi. Kemudian ditariknya uang sebesar seratus ribu, bisa. Ditarik lagi limapuluh ribu, bisa. Sisa saldo sekitar 70ribuan sepertinya ingin juga diambil namun tentunya tidak bisa karena minimal saldo harus diatas limapuluh ribu. Sampai oleh ibu tersebut layar mesin ATM difoto beberapa kali. Subhanallah, mungkin si ibu memang sedang membutuhkan uang tersebut ya. Saya sendiri teringat bagaimana dulu zaman masih kuliah atau ketika kondisi keuangan pas-pasan sempat mencari-cari uang receh yang (siapa tahu) masih terselip diantara tumpukan baju atau lainnya.

Kejadian kedua, di depan kasir. Ada seorang bapak paruh baya yang juga akan melakukan pembayaran tiket kereta. Harganya sekitar dua ratus ribuan. Kemudian ada beberapa dialog diantara kasir dan bapak tersebut.

Si Bapak: “Oh, harganya bukan seratus ribuan ya?”

Kasir: “Nggak Pak. Duaratus (sekian…)”

Si Bapak: (mikir sebentar,diam) “Hmm…kalau besok kira-kira masih ada ga tiketnya?”

Kasir: “Kurang tahu Pak. Kemungkinan bisa berubah.”

Si Bapak: “Itu bisa di-DP dulu ga?” (*Down Payment, bayar sebagian dulu sebagai pengikat dan bukti jadi beli)

Kasir: “Ga bisa Pak”

Si Bapak: …. (pergi meninggalkan kasir dengan muka memelas)

Subhanallah…, Bapak tersebut pasti sangat membutuhkan tiket tersebut, begitu pula ibu-ibu yang bolak-balik lihat saldo ATMnya tadi. Setelah mendengar cerita singkat dari suami tersebut pun, saya tercenung. Ya Allah, betapa ternyata nikmat-Mu kepada keluarga kami sungguh tak terhitung banyaknya. Alhamdulillah kami diberikan kemampuan finansial lebih dibandingkan orang lain. Cukup! Ya, kami merasa cukup atas semua ini. Tak terlalu risau dengan masalah harta. Tak terlalu khawatir saat sekarang masih harus mengontrak rumah orang lain. Tak dicemaskan dengan tagihan angsuran kredit motor dan yang lainnya karena sudah memiliki motor bebek model jadul. Alhamdulillah. J

Yang namanya berkeluarga, pasti memiliki rencana untuk membangun rumah. Kami pun sedikit demi sedikit menabung semampunya. Kalau ada rezeki lebih Alhamdulillah, kalau lagi ngepas dengan kebutuhan ya dibelanjakan seperlunya. Ada banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan dari suami selama kami menikah. Tidak perlu terlalu ngoyomengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga harus bekerja mati-matian, namun tetap berusaha semampunya. Proporsional.

Iya sih, dulu saat saya juga masih bekerja fulltime seperti suami, ada perasaan yang tidak saya miliki seperti sekarang. Rasa tenang dan merasa cukup itu belum sepenuhnya hadir dalam sanubari saya. Qonaah, mungkin begitu disebutnya. Rasanya setiap bulan ada saja yang kurang dan tak cukup. Sekarang saya baru lebih mengerti, bisa jadi yang membuat itu semua tidak cukup adalah diri saya sendiri. Masih ingin ini itu, lapar mata sebagai wanita.

Memang ternyata penting sekali peran kita sebagai istri dalam mendampingi suami. Ketenangan keluarga bisa jadi berpusat pada kita para ibu dan istri. Saat kita tenang, merasa cukup dan belajar bahagia insya Allah suasana keluarga di rumah akan mengikuti suasana hati kita. Saat kita tidak tenang dalam hidup (kemrungsung, istilah Jawanya) karena keinginan-keinginan materi yang tiada habisnya, bisa jadi akan mempengaruhi hidup suami kita dan rumahtangga kita. Suami kita menjadi tidak tenang dalam bekerja karena yang didapatkannya selama ini untuk keluarga masih dirasa belum cukup juga. Lelah, saat materialisme menjadi poros dalam rumahtangga. Maka memang sudah seharusnya,jalani hidup sewajarnya saja. Secukupnya. Tidak perlu terlalu ngoyo. Dan enaknya lagi, jika dunia kita letakkan di genggaman tangan, bukan di hati kita.***

Leave a Reply

Your email address will not be published.