Breaking News

Tanpa Islam Kaffah Nasib Perempuan Penuh Masalah

Spread the love

Oleh: Ummu Sansan

(Komunitas Pena Cendekia)

MuslimahTimes.com – Seabad sudah para perempuan khususnya kaum muslimah di dunia bak anak ayam kehilangan induknya. Tepatnya ketika pelaksana syariat Islam kaffah saat itu runtuh pada tanggal 28 Rajab 1342H. Adapun saat ini kaum muslimin berada di bulan Rajab pula di tahun 1442H. Banyak persoalan menimpa perempuan silih berganti. Berbagai aturan diratifikasi dan direvisi dengan harapan kondisi perempuan mendapat solusi. Sayangnya alih-alih kondisi membaik, justru aturan yang diadopsi negeri-negeri di dunia memunculkan masalah baru bagi perempuan.

Terpuruknya para perempuan ini seolah kilas balik ke masa jahiliyah. Sebelum Islam datang, manusia berjenis kelamin perempuan ini menjadi makhluk yang seolah tak berarti. Tak berguna dan tak dianggap sebagai manusia seutuhnya. Sebagaimana disampaikan dalam Alquran ”Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah. Lalu dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang diterimanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan.” (QS An-Nahl [16] : 58-59)

Sahabat Umar bin Khattab bahkan pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena menganggap keberadaannya sebagai aib. Demikianlah kondisi di masa jahiliyah sebelum Islam datang. Perempuan berada dalam posisi yang rendah lagi hina.

Kondisi para perempuan ini juga terjadi di negara barat. Perempuan berada sebagai warganegara kelas dua. Posisinya lebih rendah dari laki-laki. Bahkan ada yang menganggap perempuan bukanlah manusia melainkan benda semata. Sungguh perempuan di negara-negara barat dalam kondisi yang terpuruk, hina dan dina. Itulah sebabnya mereka berusaha bangkit dan mensejajarkan posisinya dengan laki-laki dengan asumsi hal tersebut akan memuliakan dirinya.

Munculah berbagai aturan demi menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Negeri ini, Indonesia, termasuk salah satu dari negara-negara yang meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) yaitu sebuah konvensi perempuan yang diinisiasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berisi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Pemerintah Indonesia pada tahun 1984 sudah meratifikasi CEDAW. Ratifikasi ini tertuang melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Harapannya, perempuan tidak didiskriminasi, serta tidak ada lagi persoalan yang muncul seperti kekerasan, pelecehan bahkan trafficking. Sayangnya realita yang terjadi tak seindah harapan yang disematkan.

Dilansir dari m.cnnindonesia.com, 9/12/2020, disebutkan bahwa data dari Komnas Perempuan menunjukkan perempuan mengalami peningkatan beban kerja dua kali lipat dalam pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Sebanyak 57 persen perempuan juga mengalami peningkatan stres dan kecemasan dibandingkan 48 persen laki-laki. Tercatat pula 4.477 kasus kekerasan dengan 4.520 korban perempuan dari 29 Februari-27 November 2020 berdasarkan data Simfoni PPPA. Mayoritas korban kekerasan terhadap perempuan atau 59,8 persen adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, jumlah kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 4.472 korban.

Data di atas menunjukkan bahwa sekalipun telah meratifikasi konvensi CEDAW, perempuan Indonesia tak jua lepas dari persoalan. Beberapa pihak berdalih bahwa implementasi ratifikasi tersebut belum dilakukan secara optimal. Padahal kebijakan tersebut sejatinya tidak menyentuh akar persoalan perempuan karena kekeliruan memandang posisi perempuan itu sendiri. Hal ini karena memandang perempuan harus disetarakan dengan laki-laki agar bisa sejahtera.

Itulah pandangan dari sudut pandang manusia. Jelas pandangan yang bertolak belakang dengan syariat Islam yang berasal dari Allah SWT, Sang Pencipta. Justru dalam Islam syariatnya datang untuk memuliakan dan menjaga perempuan. Mengangkat derajat dan martabat para perempuan ini. Banyak dalil yang menunjukkan bahwa syariat Islam menempatkan perempuan pada posisi yang mulia.

Jika dikembalikan pada keinginan mencapai kesejahteraan maka kesejahteraan bisa diartikan dengan terpenuhinya seluruh potensi yang dimiliki manusia secara optimal baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan pelengkap. Dalam Islam, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme yaitu mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, termasuk perempuan di dalamnya. Dengan demikian perempuan tidak wajib bekerja. Namun jika laki-laki tersebut tidak mampu, maka kerabatnya yang menanggung, bila tidak mampu juga maka negaralah yang menanggung. Dengan demikian tidak otomatis perempuan mengambil alih peran laki-laki tersebut dengan bekerja mencari nafkah, sekalipun mubah saja hukumnya jika perempuan melakukannya.

Karenanya perempuan dijamin hak-hak ekonominya dan kebutuhan finansialnya setiap saat. Maka kewajiban perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga akan berjalan optimal tanpa diribetkan dengan persoalan ekonomi. Jikalau mengharuskan perempuan bekerja maka tidak dalam kondisi perbudakan, penghinaan, dan penindasan; melainkan dalam kondisi lingkungan yang terjamin sehingga peluang dilecehkan harkat dan martabatnya tidak akan terjadi.

Selain itu, Islam dengan seperangkat aturannya menjaga perempuan ketika keluar rumah. Ada syariat berhijab, tidak tabarruj, menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan, pengaturan masalah safar juga harus ada ijin dari wali. Aturan ini mampu menjaga perempuan manakala diterapkan syariat Islam secara kaffah.

Dengan demikian para perempuan akan sejahtera jika berada dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sebaliknya perempuan kian mendapat masalah jika mengekor pada negeri-negeri barat dengan berbagai aturan konvensi dan kewajiban meratifikasinya. Sebenarnya aturan itu justru sebagai senjata untuk menghancurkan perempuan muslimah terutama ketika tak ada lagi pelindungnya saat ini yaitu khilafah karena telah runtuh. Momen seabad ini tentu menjadi momen tepat menyadarkan perempuan untuk keluar dari masalah dengan kembali pada syariat Islam secara kaffah.

Wallahua’lam bisshowab.