Breaking News

Waspada Gagasan Pendidikan Agama Islam Berwawasan Pluralisme

Spread the love

Oleh. Asma Ridha

(Praktisi Pendidikan)

MuslimahTimes.com–Presiden Joko Widodo secara resmi telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama pada tanggal 25 September 2023. Moderasi beragama dalam ketentuan Pepres tersebut memiliki definisi yang sama sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Kementerian Agama, memiliki tujuan bertujuan untuk menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan manusia. Maka dengan penguatan moderasi ini, isu-isu pluralisme kian dianggap penting untuk terus dikembangkan baik dalam dunia pendidikan terutama pada pembelajaran pendidikan agama Islam maupun di tengah kehidupan masyarakat.

Sebagaimana dikutip dari laman kemenag.go.id (13/04/22) “Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam agama mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan berpotensi konflik. Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Multikultural masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras, tapi juga dalam hal agama. Adapun agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia saat ini adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. “Adanya keberagaman tersebut dirasa sangat penting untuk mewujudkan keberadaan pluralisme dan konsep moderasi beragama. Padahal perbedaan budaya, kultural dan identitas agama tersebut tidaklah harus direspon dengan sebuah konsep pluralisme ataupun moderasi, karena pada istilah tersebut sangat kental pemikiran Barat yang bermuatan sekuler.

Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah sebuah pelajaran yang menekankan pada aspek spiritual anak didik, tentu akan sangat memengaruhi akidah dan falsafah kehidupannya. Pandangan terhadap kiprah pendidikan agama Islam di sekolah yang dinilai masih sangat minim dalam membentuk karakter terutama jiwa moderat dan pluralisme masih menjadi tantangan besar bagi para praktisi pendidikan, sehingga berbagai program diupayakan oleh pemerintah agar hal ini tercapai. Tidak jarang, pembelajaran PAI selama ini dianggap masih bersifat simbolik-ritualistik dan terfokus pada ranah kognitif saja, keberhasilan pendidikan agama selama ini hanya berjalan pada sisi kemampuan menghafal dan penguasaan materi agama (kognitif), bukan bagaimana nilai-nilai agama yang harusnya mempengaruhi dalam kehidupan seorang muslim.

Sangat benar, pembelajaran PAI selama ini masih memahami agama sangat parsial. Islam hanya dianggap sebagai agama ritual yang terbatas pada sisi ibadah mahdhah saja. Padahal cakupan Islam itu melingkupi seluruh aspek kehidupan, baik hubungannya dengan Allah Swt, dengan sesama manusia dan bahkan dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, konsep-konsep pada moderasi beragama seperti keadilan, menghormati, tasamuh, silaturahmi harus dihayati (afektif) kemudian diamalkan (psikomotorik), apakah sudah sangat tepat konteks penerapannya?

Benar bahwa esensi moderasi beragama adalah memanusiakan manusia. Namun pada konsep dasar beragama bagaimana pun hendak dipaksakan konsep “pluralisme agama” tidaklah bisa diterima oleh agama manapun. Karena secara esensinya makna pluralisme bukan hanya sekadar menerima sebuah perbedaan, akan tetapi menganggap bahwa semua agama itu adalah sama. Sangat jelas, konsep ini tidak lahir dari Islam, melainkan hasil dari ideologi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Pendidikan Agama Islam Harus Berwawasan Islam, Bukan Pluralisme

Istilah moderasi beragama pada hakikatnya secara esensi memiliki makna yang sama dengan pluralisme. Moderasi agama adalah faham “moderat” yang memiliki arti secara KBBI selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem/ berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Indonesia dianggap ada sekelompok tertentu yang terlalu ekstrim dalam mengamalkan agamanya yang memiliki paham-paham radikal (radikalisme) sehingga lahirlah Islam moderat untuk melawan keyakinan -keyakinan radikal.

Radikal dan moderat merupakan istilah politis, yang memiliki maksud dan tujuan politik tertentu. Artinya, istilah ini akan disesuaikan dengan apa yang diinginkan oleh pandangan asing yang notabene bukan berideologi Islam namun berhaluan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Maka jangan heran, jika komponen-komponen dari moderasi beragama baik dari sisi keadilan, menghormati, tasamuh, silaturahmi dan yang lainnya hanya diarahkan untuk muslim agar lebih tasamuh terhadap ide-ide dari agama lain, karena semua agama dianggap sama (pluralisme).

Tentu sangat sepakat bahwa kehidupan ini harus berjalan dengan damai di tengah-tengah perbedaan kultur, budaya, sosial dan agama. Akan tetapi, tidaklah menjadikan jalan tengah (Islam moderat) sebagai solusinya, yang pada akhirnya muslim menjadi pihak tertuduh untuk harus menerima dan bersikap mengalah demi kepentingan sekelompok/agama yang lain. Muslim seakan harus menerima cap dan istilah buruk radikalisme, ekstremisme, terorisme. Padahal tuduhan-tuduhan itu tidaklah selayaknya hanya ditujukan pada orang-orang yang berstatus agama Islam, bisa saja pelakunya non muslim akan tetapi faktanya stigmatisasi tersebut hanya untuk muslim saja tidak pada agama yang lain.

Islam datang dengan konsep yang sangat agung dan mulia. Saling menghormati, menghargai sudah ditanamkan oleh Rasulullah Muhammad saw dari sejak beliau diutus. Selama tidak menyangkut dalam ranah aqidah, serta tidak melanggar ketentuan syara’ (hukum Allah) semua muslim bisa hidup berdampingan dengan para kafir dzimmi saat itu. Bahkan mereka sendiri pun merasakan ketenangan hidup diatur oleh aturan Allah Swt

Artinya, seorang muslim harus tetap istiqamah dengan prinsip-prinsip Islam yang hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan As-sunah saja. Sudah seharusnya pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) jangan terjebak pada pemikiran-pemikiran kufur, liberal, dan sekuler. Moderasi akan membuka keran terhadap paham-paham lainnya yang menguntungkan Barat. Bukan hanya membolehkan pluralisme, akan tetapi mengubah hukum-hukum Allah pun dianggap layak, semisal pernikahan beda agama hingga pernikahan sejenis bisa saja dianggap wajar. Muslim dengan Islam moderat dan pluralisme dipaksakan untuk menerima paham-paham yang sangat buruk tersebut.

Pendidikan Agama Islam adalah sebuah pembelajaran yang konteksnya haruslah kaffah (menyeluruh dan totalitas). Jangan ada perubahan dan pergeseran konsep sehingga anak-anak didik generasi ini benar-benar memahami Islam dengan pemikiran dan prinsip-prinsip yang sejalan dengan Islam bukan dengan pemahaman yang lain. Bukankah Allah Swt telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS Al-Baqarah [2]: 208)

Oleh karena itu, bagi para praktisi pendidikan agama Islam, sudah seharusnya mendidik anak generasi dengan prinsip-prinsip Islam yang syar’i. Jangan mudah terjebak dan tergoda dengan hembusan pemikiran liberal. Jangan sampai generasi ini hancur justru oleh para praktisi muslim itu sendiri. Bukankah seorang muslim wajib untuk selalu terikat dengan hukum-hukum Allah. Tidak ada syariat yang paling sempurna selain dari syariatnya Allah Swt.

Wallahu’alam bisshawab