Breaking News

Digitalisasi Pupuk Subsidi, Akankah Jadi Solusi?

Spread the love

Oleh. Novita

(Muslimah Brebes)

MuslimahTimes.com–Kelangkaan pupuk dari tahun ke tahun terus berulang. Bahkan saat ini para petani sedang mengalami kesulitan untuk memperoleh pupuk subsidi. Meskipun pemerintah telah menambah alokasi pupuk subsidi pada tahun 2024 dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Namun hal itu tak membuat petani mudah untuk mendapatkan pupuk subsidi.

Hal ini karena pupuk bersubsidi hanya dapat ditebus pada kios-kios resmi yang telah ditentukan untuk melayani kelompok tani setempat dan petani yang menebus telah sesuai dengan kriteria yang diatur oleh Permentan Nomor 10 Tahun 2022,” ujar GM Wilayah 2 Pupuk Indonesia Roh Eddy Andri Wismono di Jakarta, Sabtu (www.antaranews.com)

Selain itu, di Bojonegoro masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi lantaran maraknya sindikat mafia pupuk di daerah tersebut. Kalaupun masyarakat mampu mendapatkannya lantaran masyarakat harus mengeluarkan kocek lebih dalam, karena harga jual pupuk melebihi Harga Ecer Tertinggi (HET).

Ini bukanlah kali pertama terjadi, sebelumnya kenaikan harga pupuk pun sudah menjadi hal yang biasa. Karena dalam sistem kapitalisme maka perusahaan yang bermodal besarlah yang mampu menguasai pengelolaan dan pendistribusian pupuk bersubsidi tersebut.

Selain itu, adanya praktik digitalisasi membuat para petani kesulitan untuk membeli pupuk tersebut, karena para petani yang cenderung sudah berumur tak paham dengan adanya digitalisasi.

Mengutip Republika (15-6-2023), PT Pupuk Indonesia (Persero) akan membuat terobosan baru dalam penyaluran pupuk bersubsidi dengan pemanfaatan digitalisasi. Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia Gusrizal mengatakan inovasi ini akan mengintegrasikan sistem aplikasi Rekan milik Pupuk Indonesia dengan aplikasi Kementerian Pertanian (Kementan), Tebus Pupuk Bersubsidi (T-Pubers).

Menurutnya dengan adanya digitalisasi pembelian pupuk ini penyalurannya akan tepat sasaran, namun faktanya yang terjadi dilapangan tidak demikian. Pupuk masih sulit untuk masyarakat dapatkan. Karena tingkat pendidikan dan literasi para petani di daerah tidak merata, dan tidak semua petani juga melek teknologi. Jadi wajar saja jika adanya digitalisasi dalam pembelian pupuk bersubsidi ini justru membuat ribet para petani.

Dengan adanya digitalisasi pupuk bersubsidi tersebut, alih-alih nasib petani membaik, namun yang terjadi justru sebaliknya. Nasib petani kian memburuk dan tercekik. Bagaimana tidak? Adanya digitalisasi ini justru mempersulit para petani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi tersebut, bahkan lambat laun tidak menutup kemungkinan jika jaminan pupuk subsidi pun akan hilang. Karena di lapangan harga pupuk pun bukannya menurun, malah justru kian melambung tinggi.

Itu hanya sebagian kecil dari potret kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dalam sistem demokrasi saat ini. Menyusahkan dan menyengsarakan rakyat. Karena sistem ini terus memberi ruang bagi kapitalisasi dalam segala sisi.

Jauh berbeda dalam sistem Islam. Dimana Islam tidak hanya mengatur dalam hal ibadah mahdoh saja, melainkan perihal pupuk pun akan dipikirkan solusi terbaiknya.
Islam memandang pupuk merupakan bagian vital dari penyediaan bahan pangan bagi masyarakat. Karena dengan tercukupinya bahan pangan juga dipengaruhi dengan keberadaan pupuk yang terjangkau dan mudah untuk didapatkan masyarakat. Sehingga pengelolaan dan pendistribusian pupuk pun tidak dijadikan lahan bisnis seperti apa yang dilakukan para korporasi saat ini. Dalam Islam, Daulah atau Negara bertanggung jawab memfasilitasi produksi dan distribusi agar sektor pertanian berjalan dengan sebaik-baiknya. Sehingga keberadaan pupuk di tengah masyarakat harus terjamin. Daulah pun akan membatasi impor pupuk. Sebaliknya, Daulah akan terus melakukan berbagai kebijakan untuk memberdayakan pertanian dalam negeri secara masif dan penuh. Para ahli pertanian akan dibiayai untuk melakukan berbagai riset dalam rangka menghasilkan benih tanaman unggul, juga riset berbagai jenis pupuk dan obat-obatan pertanian, serta menjamin distribusinya sampai ke tangan petani sehingga tidak terjadi kesenjangan dan diskriminasi di kalangan mereka.

Para petani pun akan diberikan pembinaan tentang tata cara pengolahan lahan agar lebih efektif dan efisien. Karena beda struktur tanah berbeda pula jenis tanaman dan pengolahannya juga berbeda pula pupuk yang diberikan pada tanaman tersebut. Sehingga tidak ada istilah liberalisasi pupuk. Yang ada justru Daulah akan terus mengupayakan tercukupinya kebutuhan primer tentang pangan dan mengoptimalkan pertanian sebagai penghasil bahan pangan dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Jadi, digitalisasi bukanlah solusi. Karena selama sistemnya tidak diganti, maka ketersediaan pupuk yang mudah dan murah hanya merupakan sebuah mimpi. Wallahu’alam