Breaking News

Impor Jadi Pilihan, Kedaulatan Negara Kian Terancam

Spread the love

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S

(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)

Muslimahtimes.com–Persoalan impor selalu menjadi polemik di negeri ini. Pasalnya, Indonesia kerap memasukkan barang-barang dari luar meski nyatanya jumlah di dalam negeri sudah mencukupi. Sebagaimana yang terjadi pada beras, Indonesia sudah langganan impor beras dari luar negeri, yakni urutan pertama dari Thailand dengan angka ekspor senilai US$ 466 juta, Vietnam US$ 456 juta dan ketiga India. Adapun beras yang diimpor terdiri dari berbagai macam jenis, di antaranya beras medium, khusus, premium sekaligus beras pecah.

Sebagaimana dilansir oleh cnbcindonesia.com (16-10-3023) bahwa Indonesia telah menambah kuota impor beras sebanyak 1,5 juta ton, yakni dari 2 juta ton per tahun menjadi 3 juta ton per tahun. Menurut Plt Menteri Pertanian Arief Prasetyo Adi, penambahan kuota impor beras sudah melalui pembahasan dengan Presiden Jokowi. Ia mengatakan bahwa produksi nasional terganggu karena efek El Nino.

Sejalan dengan itu, Presiden Jokowi dalam acara Pembinaan Petani Jawa Timur di Banyumas pada awal Januari ini mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. (Cnbcindonesia.com/2-1-2024)

Benarkah stok beras nasional tidak mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia sehingga impor beras harus dilakukan?

Stok Nasional Aman

Rencana impor beras sebanyak 3 juta ton yang akan dilakukan pemerintah tahun ini nyatanya menuai penolakan dari masyarakat, salah satunya dari Serikat Petani Indonesia (SPI). Ketua Umum SPI, Henry Saragih, tengah merencanakan aksi unjuk rasa untuk menolak impor beras.  Aksi unjuk rasa dijadwalkan bersama Partai Buruh dalam 10 hari mendatang dan tersebar di berbagai wilayah. Dia mengatakan bahwa adanya impor beras akan memukul harga gabah pada panen raya mendatang. Adapun saat ini rata-rata harga gabah kering panen (GKP) petani masih di kisaran Rp7.000 per kilogram. Adanya agenda impor beras dalam jumlah besar dianggap berisiko menurunkan harga GKP saat panen raya hingga di bawah Rp6.000 per kilogram. (Bisnis.com/9-1-2024)

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, secara tegas menolak impor beras. Menurutnya, berdasarkan data BPS, stok beras Bulog sudah mencukupi untuk kebutuhan rakyat Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (9-12-2023) Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, mengatakan bahwa stok cadangan beras pemerintah saat ini sekitar 1,57 juta ton dan cukup untuk Desember hingga Maret 2024 mendatang.

Impor Agenda Sistem Kapitalis

Impor merupakan kebijakan yang seringkali diambil oleh negara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama pangan. Alasannya beragam, mulai dari tidak tercukupinya stok di dalam negeri, hingga untuk menstabilkan harga. Padahal jika melihat realita di lapangan, banyak produksi dalam negeri yang akhirnya tidak terdistribusikan karena kalah saing dengan serbuan produk impor.

Kebijakan impor merupakan agenda sistem kapitalisme yang merupakan bagian dari liberalisasi pangan. Akibatnya petani mengalami kerugian karena anjloknya harga jual di tingkat petani. Dampak lanjutannya lagi, banyak petani yang akhirnya memilih berhenti bertani karena nasibnya tak kunjung sejahtera.

Sebagaimana ditulis dalam laman kompas.com (19-7-2022) bahwa dalam 2 dekade terakhir, sepanjang 2001-2021, harga beras impor telah melonjak dari kisaran 200 dollar AS per ton menjadi 450 dollar AS per ton. Pada rentang waktu yang sama, Indonesia tercatat beberapa kali melakukan impor beras dalam jumlah signifikan, antara lain tahun 2011 sebesar 2,8 juta ton dan 2018 sebanyak 2,3 juta ton. Akibat dari hal itu, produktivitas pertanian di negeri ini merosot drastis. Untuk beras saja, 33,9 juta ton pada 2018, menjadi 31,4 juta ton pada 2021.

Oleh karena itu, jelas bahwa alasan kurangnya stok dalam negeri hanyalah akal-akalan pemerintah saja demi memuluskan kebijakannya. Padahal jelas, kebijakan impor yang diambil pemerintah hanyalah mematikan produksi dalam negeri dan menzalimi petani. Miris!

Kedaulatan Terancam

Dibukanya lebar-lebar keran impor di negeri ini merupakan potret buram sistem ekonomi kapitalistik. Kepentingan segelintir elite penguasa menjadi orientasi dalam mengambil kebijakan, bukan kepentingan rakyat. Lantas di mana peran penguasa sebagai pengayom rakyat?

Beginilah watak penguasa dalam sistem kapitalisme, profit materi menjadi tujuan dalam kekuasaan. Dalam sistem ini, penguasa berperan sebatas regulator, bukan provider alias penyedia layanan. Oleh karena itu, mustahil terwujud swasembada pangan karena negara tidak terlibat dalam pengurusan negara secara langsung, melainkan menyerahkannya kepada pihak swasta.

Sesungguhnya negeri ini tak pernah kekurangan stok bahan pangan, termasuk beras. Hanya saja, pendistribusiannya tidak merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana tidak, alur distribusi dikendalikan oleh swasta. Harga-harga pun melambung tak terkendali, karena barang pangan didistribusikan dengan prinsip bisnis. Akibatnya banyak dari kalangan rakyat jelata tak berdaya beli untuk memperoleh barang kebutuhannya.

Sistem Islam Mewujudkan Swasembada dan Memperkuat Kedaulatan Negara

Kedaulatan negara akan terus tersandera dalam sistem kapitalistik hari ini. Kebijakan impor yang terus dilakukan pemerintah hanya membuat negeri ini bergantung pada asing. Akibatnya, negeri ini akan selalu berada di bawah kendali asing, khususnya negara pengimpor. Ini sungguh hal yang tak layak kita pertahankan. Bagaimana mungkin kita akan menjadi negara maju jika kedaulatannya saja tersandera negara lain?

Maka, sudah saatnya kita menjadikan Islam sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena Islam memiliki aturan komprehensif yang diturunkan Allah bagi seluruh manusia. Jika Islam diterapkan secara kaffah dalam sebuah institusi yakni Khilafah Islamiyyah, niscaya negara akan mampu meraih kesejahteraan yang hakiki.

Impor dalam Islam tidak dilarang, namun berlalu syarat yang mengikat. Pertama, impor hanya boleh dilakukan jika persediaan di dalam negeri kurang atau bahkan tidak ada. Karena jika dalam produksi di dalam negeri sudah mencukupi namun negara tetap membuka keran impor, sama saja ini mematikan produksi rakyat sendiri. Kedua, negara hanya akan menjalin impor dengan negara yang tidak memerangi Islam. Karena haram hukumnya menjalin kerja sama dengan negara kafir harbi fi’lan (yang memerangi Islam secara terang-terangan).

Sungguh, hanya dengan Khilafah sajalah swasembada pangan akan dapat diwujudkan secara nyata. Karena negara akan memosisikan dirinya sebagai raa’in yakni pemelihara urusan rakyat, bukan sebatas regulator. Negara akan men-support petani dalam negeri dengan upaya-upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Negara takkan membiarkan swasta mengendalikan sektor pangan, sebaliknya negaralah yang akan bertanggung jawab dalam aspek produksi dan distribusi hasil pertanian tersebut demi mewujudkan kedaulatan pangan dalam negeri. Tidakkah kita merindukan tegakkan sistem Islam yang sedemikian sempurna ini? Wallahu’alam bis shawab.