Breaking News

Kebakaran Kilang Minyak Balongan dan Kemandirian Energi Kita

Spread the love

Oleh: Ragil Rahayu, SE

Muslimahtimes.com – Kebakaran itu begitu besarnya. Api berkobar, asap membumbung. Hingga empat hari kemudian, barulah api bisa dipadamkan. Namun asap hitam masih mengepul. Tangki di kilang minyak PT Pertamina RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terbakar pada Senin (29/3/2021) dini hari. Penyebab kebakaran masih diinvestigasi, yang jelas telah terjadi kebocoran tangki. Namun, sistem pengamanan kilang minyak akhirnya menjadi sorotan. Tercatat 30 orang terluka dan 932 warga mengungsi akibat kejadian ini.

Kilang VI Balongan adalah kilang keenam dari tujuh kilang Direktorat Pengolahan PT Pertamina (Persero). Kegiatan bisnis utama di kilang ini adalah mengolah minyak mentah dari Duri dan Minas menjadi produk-produk BBM (Bahan Bakar Minyak), non BBM dan petrokimia. (kompas.com, 30/3/2021)

//Ketergantungan Impor//

Pertamina Marketing Region Jatimbalinus memastikan keamanan pasokan BBM, elpiji dan produk turunan lainnya di wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara. Namun kebakaran ini berdampak pada kerugian negara. Negara akan kehilangan devisa yang cukup besar karena PT.Pertamina (Persero) harus menutup stok BBM yang ludes terbakar. Upaya untuk menutup stok ini adalah dengan impor sebesar kapasitas empat tangki yang terbakar, yaitu 125 ribu barel per hari. Impor ini akan menyebabkan devisa keluar dari Indonesia sehingga berpengaruh pada neraca perdagangan.

Selama ini neraca migas Indonesia sudah defisit. Selama empat tangki kilang Balongan belum beroperasi akibat kebakaran, defisit tersebut akan makin besar.
Inilah konsekuensi yang harus ditanggung Indonesia karena tergantung pada impor migas. Produksi atau lifting minyak dalam negeri jumlahnya di bawah kebutuhan. Bahkan sudah 2 dekade produksi minyak mentah turun terus (detik.com, 2/4/2021).

Sampai saat ini kapasitas produksi kilang terpasang sebesar 1 juta barel per hari, dengan kemampuan produksi maksimal hanya mencapai 850.000 barel per hari. Sementara konsumsi BBM nasional setiap harinya mencapai 1,4 juta barel. Sehingga ketergantungan terhadap impor sangat besar, mencapai 40%.(kompas.com, 5/6/2020)

Padahal Indonesia pernah mengalami kelebihan pasokan dan menjadi negara pengekspor minyak. Pada 1996, produksi minyak Indonesia sempat menyentuh angka 1,6 juta barel per hari. Sementara saat itu konsumsi BBM masih di bawah 1 juta barel per hari.(cnbcindonesia.com, 12/3/2019)

Namun, Indonesia tidak pernah membangun pondasi kilang dan industri petrokimia karena ada pihak-pihak yang berkepentingan agar negeri ini terus-menerus impor minyak. Pihak tersebut adalah kapitalis global didukung oknum lokal pemburu rente yang mendapatkan keuntungan dengan tingginya impor BBM. Mereka tidak ingin Indonesia memiliki kilang minyak.

Ketergantungan Indonesia terhadap impor merupakan konsekuensi dari liberalisasi sektor migas. Meski UUD 1945 menyatakan bahwa kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tapi UU di bawahnya justru bertentangan.
UU No. 22/2001 tentang Migas justru membuka lebar-lebar pintu eksploitasi migas secara besar-besaran. Juga UU No 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang membolehkan sektor migas dan pertambangan dikuasai oleh perusahaan asing hingga mencapai 95%. Hasilnya, data BP Migas pada 2012 menunjukan bahwa 88% ladang migas dikuasai oleh perusahaan asing, 8% oleh BUMS Nasional dan BUMN, dan 4% oleh konsorsium yang melibatkan Perusahan Asing.

Tak hanya di sektor hilir, di sektor hulu pun terjadi liberalisasi migas. SPBU asing berlomba masuk Indonesia dan ikut merasakan lezatnya keuntungan bisnis BBM eceran. Harga BBM pun makin melambung demi tujuan menguntungkan para pemain asing ini.
Kemandirian migas tidak akan pernah terwujud selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme yang melahirkan kebijakan liberalisasi migas.

//Strategi Khilafah//

Sistem Islam memiliki konsep yang khas terkait pengaturan migas. Untuk mewujudkan kemandirian migas, ada tiga hal penting yang menjadi kebijakan utama Khilafah, yaitu:

1. Migas adalah komoditas strategis yang merupakan kebutuhan dasar rakyat. Laju industrialisasi bergantung pada tingkat ketersediaan energi. Energi bahkan bisa menjadi sumber kekuatan diplomasi di dunia internasional.

Penguasa wajib melakukan ri’ayah (pengaturan) untuk menyediakan BBM bagi rakyat. Khilafah tidak hanya bertugas memastikan stok BBM, tapi juga keterjangkauannya. BBM tersebut harus bisa diakses rakyat di seluruh penjuru negeri dengan murah atau bahkan gratis.

Terkait distribusi BBM kepada rakyat, Khilafah bisa menempuh dua kebijakan: a. Mendistribusikan migas kepada rakyat dengan harga murah.
b. Mengambil keuntungan dari pengelolaan migas untuk menjamin kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, termasuk terpenuhinya sandang, papan dan pangan.

2. Tambang migas dalam jumlah besar merupakan milik umum, yakni milik seluruh rakyat, dan negara bertugas mengelolanya. Swasta, baik lokal maupun asing, tidak diizinkan mengelola tambang yang memiliki deposit besar. Jadi tidak boleh dilakukan privatisasi tambang. Adapun tambang yang depositnya kecil boleh dikelola individu.

Dalilnya adalah hadis berikut:

قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ: ابْنِ عَبْدِ الْمَدَانِ، عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ، أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ – قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ: الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ – فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ: أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ، قَالَ : فَانْتَزَعَ مِنْهُ
Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud)

Hasil pengelolaan tambang migas harus digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh mengekspor migas maupun BBM ketika kebutuhan dalam negeri masih belum tercukupi.

Pendistribusian BBM kepada rakyat tidak berdasarkan motif bisnis, yakni mencari keuntungan. Sehingga sektor hilir ini tidak boleh diserahkan pada swasta, baik lokal maupun asing.

3. Khilafah membentuk dirinya menjadi negara industri dengan memprioritaskan pembangunan industri alat, yakni industri yang menghasilkan mesin-mesin. Termasuk membangun industri yang menghasilkan mesin-mesin yang dibutuhkan untuk membangun kilang minyak skala besar.

Pada awalnya, Khilafah menggunakan kilang yang sudah ada dengan mengoptimalkan kapasitasnya. Lalu dibangun kilang-kilang minyak baru sesuai dengan kebutuhan dalam negeri, sekaligus kebutuhan untuk menjadi negara industri terkemuka dunia. Khilafah tidak akan mengimpor mesin-mesin yang dibutuhkan untuk membangun kilang minyak, melainkan memproduksinya sendiri.

Demikianlah strategi Khilafah untuk mewujudkan kemandirian energi. Strategi ini hanya bisa dijalankan oleh negara yang mengemban ideologi Islam, bukan negara kapitalis yang melayani kepentingan asing penjajah. Wallahu a’lam. []