Breaking News

Kebijakan Bonus Pejabat Fantastis, Hilang Sense of Crisis?

Spread the love

Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan pemerhati kebijakan publik)

MuslimahTimes.com–Banyak ayat yang menyinggung tentang harta, di antaranya firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 26, “… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”

Dalam kondisi krisis, Presiden Jokowi mengubah Perpres tentang pemberian uang penghargaan bagi Wamen yang akan berakhir jabatannya. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 8 Perpres 77/2021. Adapun bonus yang akan diterima eks wakil menteri itu sebesar Rp580.454.000 untuk satu periode masa jabatan. Perpres ini mengganti Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri (Wamen) (Tagar.id, 30/8/21).

Wamen mendapat bonus padahal rakyat tengah meringis di tengah krisis akibat pandemi. Tak tanggung-tanggung, bonus yang akan diterima Rp500 juta alias setengah miliar. Angka yang sangat fantastis. Padahal, pemerintah pun memiliki utang yang tak sedikit, prediksi ahli bisa mencapai 10.000 triliun rupiah. Lalu, mengapa pemerintah menghamburkan harta untuk anggaran lain, bukan mengutamakan rakyat yang sedang terjepit kesusahan akibat pandemi?

Kapitalisme Boros dan Penyebab Hilangnya Sence of Crisis

Kebijakan di tengah kondisi rakyat begitu terhimpit akibat krisis dan pandemi tentu melukai hati rakyat dan menghamburkan harta. Pasalnya, sejak pandemi melanda negeri ini, pemerintah mengatakan tak banyak dana untuk mengatasi kesulitan ini. Pemerintah berutang minta bantuan ke negara lain, begitupun untuk membangkitkan ekonomi yang hampir mati. Hilangkah sence of crisis pada para pejabat di negeri ini?

Kebijakan karantina wilayah pun tak diambil pemerintah karena salah satu alasannya adalah kendala dana. Karena jika karantina wilayah ini diberlakukan, maka pemerintah harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan wilayah terdampak. Berbagai cara dan kebijakan dilakukan untuk menghindari karantina wilayah. Sehingga muncul kebijakan PSBB, PPKM Darurat sampai PPKM level empat.

Sudah menjadi rahasia umum, pemasukan utama sistem ekonomi kapitalisme ialah pajak ditambah dengan utang luar negeri. Pajak yang diambil dari rakyat, harusnya kembali ke rakyat agar rakyat bisa menikmati kesejahteraan, terlebih kondisi krisis dan pandemi. Namun, sayang rakyat hanya bisa gigit jari, bahkan rakyat kembali dibebankan pajak oleh pemerintah. Para pejabat pemerintahan harusnya tahu diri, bahwa mereka duduk di kursi panas itu atas suara rakyat. Lalu, rakyat pula yang membayar mereka agar mereka memiliki gaji tiap bulan.

Herannya, alih-alih setiap kebijakan pro terhadap rakyat kecil yang ada selalu membebankan rakyat. Apa yang sudah rakyat berikan tidak berbanding lurus dengan apa yang rakyat terima dari para pejabat pemerintahan. Kapitalisme yang diterapkan saat ini, hanya mengutamakan para pemodal karena dari merekalah para pejabat bisa mendapatkan dana kampanye. Khalayak umum sudah tahu, dana yang dibutuhkan untuk kampanye dan pemilu bisa triliunan.

Dana ini no free lunch, pasti ada politik balas budi. Kapitalisme dikenal dengan politik Machieveli, “Tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”. Selama ada kepentingan, selama itu jalinan mesra akan terus dilakukan, seperti perangko yang menempel di sebuah kertas. Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang semua ini?

Islam Menjamin Kebutuhan, Tak ada Peluang Boros

Dalam Islam, pejabat pemerintah termasuk khalifah bukan menerima gaji, tetapi tunjangan sebatas yang dibutuhkan dan diambil dari Baitul Mal. Pos pemasukan Baitul Mal sangat banyak, di antaranya dari harta kepemilikan umum, negara, zakat, fa’i, jizyah, kharaj dan lain-lain. Pos pengeluaran pun sudah jelas diatur, misal untuk delapan ashnaf yang disebut di dalam Al Qur’an khusus dari pos zakat, bukan yang lain.

Negara dalam Sistem Islam, tidak mengambil dari rakyat berupa pajak atau yang lain. Jika pun dalam kondisi kas Baitu Mal kosong, kemudian negara harus membayar kewajiban yang seharusnya segera ditunaikan, maka negara mengambil pajak atau apa pun istilahnya pada rakyat. Akan tetapi, pajak hanya dipungut bagi muslim dan kalangan aghniya (orang kaya) saja. Hal ini dijelaskan oleh seorang ulama, Syeikh Taqiyuddin An Nabhani di dalam kitabnya, Sistem Ekonomi Islam.

Negara menjamin kebutuhan pokok (primer), negara pun memberi jalan bagi siapa saja yang ingin memenuhi kebutuhan sekunder ataupun tersier. Islam tak melarang siapa pun untuk kaya, karena kaya atau miskin semua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Islam menjamin kebutuhan kolektif, yaitu kesehatan, pendidikan dan keamanan. Bisa dibayangkan, jika kebutuhan pokok dan kolektif sudah terpenuhi, maka apa lagi yang dibutuhkan?

Suasana yang dibangun di dalam Islam yaitu ketaatan kepada Allah, bagaimana manusia setiap waktu terus mendekatkan diri kepada Allah dan mempersiapkan diri untuk pulang ke kampung akhirat. Maka tipis sekali jika ada keinginan untuk menghamburkan harta, karena sadar bahwa apa yang dilakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak (QS. Al Isra: 32).

Dalam Islam tak mengenal politik balas budi, jika pun ada pemilu semua berjalan sesuai ketentuan syariah. Tidak ada money politik, yang ada kejujuran dan tanggung jawab menerima amanah bagi siapa saja yang terpilih. Pemilu bukan untuk memilih khalifah, karena untuk memilih khalifah di dalam Islam hanya menggunakan metode bai’at bukan yang lain.

Siapa saja yang menginginkan kesejahteraan serta keselamatan di dunia dan akhirat, tak ada pilihan lain kecuali mengambil Islam sebagai satu-satunya solusi. Tugas umat Islam adalah memperjuangkannya agar kembali tegak di muka bumi. Sehingga rahmat benar-benar akan dirasakan bagi seluruh umat di dunia (QS. Al Anbiya: 107).

Allahua’lam bi ash Shawab.