Breaking News

Miris,100 Tahun tanpa Khilafah, Feminisme Naik Daun!

Spread the love

Oleh : Titis Tsumairah

( Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta )

 

#MuslimahTimes — Tahun 2021 melengkapi 100 tahun dunia tanpa ketiadaan Khilafah.  Mirisnya, Satu abad ketiadaan khilafah telah membawa nestapa bagi kehidupan umat muslim, tidak terkecuali kaum perempuan. Muslimah di berbagai penjuru negeri mengalami kekerasan dan penindasan. Hilangnya kemuliaan wanita pun telah menjadi masalah serius.

 

Konvensi Wanita Global (CEDAW) digadang menjadi salah satu penyebab berbagai isu wanita. Konvensi ini ditetapkan oleh PBB pada 18 Desember 1979 agar diratifikasi oleh berbagai Negara. Tercatat pada bulan Juni 2007, sebanyak 185 negara telah menandatangani konvensi ini. Hal ini menandakan Negara-negara tersebut harus mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum positif nasional negaranya.

 

Permasalahannya adalah CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women) sangat kental dengan ide feminisme. Dr. Nazreen Nawaz, Direktur Divisi Muslimah di Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir menyatakan bahwa feminisme menyebabkan masalah sosial dan demografi untuk berbagai Negara. Hal ini adalah akibat dari ide feminisme yang melihat status istri dan ibu sebagai peran kelas dua, lebih rendah daripada mengejar karir dan pekerjaan.

 

Jepang, sebagai salah satu Negara yang ikut meratifikasi CEDAW, hingga kini dilaporkan telah mengalami krisis demografi. Hal ini disebabkan oleh banyak wanita yang menolak meninggalkan karir untuk mengurus rumah. Dikutip dari South China Morning Post, Masahiro Yamada, profesor dari Universitas Chuo mengatakan “Sekitar 25% remaja saat ini di Jepang mungkin akan tetap melajang dan tidak menikah seumur hidup mereka,” (3/12/2020). Tentu saja, hal ini akan sangat berpengaruh pada tingkat kelahiran di Jepang.

 

Selain CEDAW, PBB juga telah menginisiasi ICPD (International Conference on Population and Development) di Kairo pada tahun 1994 yang diadopsi oleh 179 negara termasuk Indonesia. Target ICPD adalah Hak-hak dan kesehatan reproduksi dan seksual (SRHR). Ini artinya, setiap negara yang berkomitmen pada ICPD wajib memberikan kebebasan pada kaum LGBT. Bukan hanya itu, hak untuk aborsi pun harus menjadi concern. Hal ini tentu akan menyumbang masalah.

 

Berdasarkan hasil penelitian Guttmacher Institute, diperkirakan dua juta aborsi terjadi di Indonesia setiap tahun. Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) menjadi salah satu penyebabnya (Solopos.com, 17/2/2020). Psikolog, Patria Rahmawati menegaskan, kasus aborsi yang terjadi belakangan ini merupakan dampak pergaulan bebas khususnya di kalangan remaja (Balpos,3/2/2019). Lanjutnya, ia mengungkapkan bahwa perilaku seks bebas dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan reproduksi remaja khususnya yang putri.

 

Dari sini, terlihat bahwa ide feminisme sangat berpotensi mengancam kehidupan masyarakat. Jika lingkungan sarat pergaulan bebas, LGBT, Aborsi serta peremehan peran Istri dan Ibu dibiarkan subur, tidak lama lagi sebuah negara akan digiring pada degradasi moral dan krisis demografi.

Buang Ide Feminisme,  Islam Perbaiki Masalah Perempuan

 

Islam sebagai sebuah Ideologi (Mabda’), mempunyai segenap aturan sebagai solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan. Tak sekesar itu, aturan Islam hadir sebagai langkah prefentif bagi permasalahan seluruh individu, masyarakat dan negara. Apalagi, aturan Islam jika diterapkan akan dapat mendatangkan ridho Allah SWT.

 

Dalam Islam, Perempuan dipandang sangat mulia. Pertama, seorang anak perempuan yang dilahirkan akan membawa keberkahan bagi kedua orang tua. Diriwayatkan Abdullah bin Abbas, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa yang memiliki anak perempuan, dia tidak membunuhnya dengan dikubur hidup-hidup, tidak menghinanya, dan tidak lebih mengutamakan anak laki-laki, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga,” (HR. Abu Daud).

 

Kedua, dalam hubungannya dengan laki-laki, islam memandang bahwa kedudukan mereka sama di mata Allah dalam hak keduanya mendapatkan pahala. Allah berfirman dalam QS. an-Nahl [16]: 97 :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً   

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

 

Ketiga, peran wanita sebagai seorang Ibu dipandang sangat mulia, bahkan derajatnya tiga kali derajat seorang ayah. Menyandang status seorang Ibu, hal ini sama sekali tidak dipandang sebagai diskriminasi, apalagi menjadi makhluk nomor dua seperti yang selama ini diopinikan oleh kaum feminisme. Melainkan, ini merupakan bentuk ketaatan kepada Negara yang menerapkan syariat islam (red : Khilafah) sekaligus menjadi bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

 

Terlebih, Peran wanita sebagai Ibu dianggap sebagai peran yang sangat krusial. Sebab, di dalam islam Ibu berkedudukan sebagai madrasatul ula bagi anak, yakni dengan menanamkan aqidah dan pendidikan agama. Hal ini akan menjadi motivasi bagi seorang Ibu untuk menuntut ilmu sehingga ia dapat melahirkan generasi penerus yang cerdas dan berakhlak karimah. Tentu hal ini akan sangat menguntungkan bagi kelangsungan negara, sebab dari Ibu yang cerdas ia dapat berkontribusi terhadap kemuliaan dan kemajuan suatu bangsa yakni menjauhkan bangsa dari masalah degradasi moral dan krisis demografi.

 

Di sisi lain, Fungsi ini bukannya menghalangi wanita untuk berkarir. Islam membolehkan wanita keluar rumah untuk bekerja, asalkan ia tidak melalaikan kewajiban utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Artinya, islam tidak pernah melarang perempuan untuk berprofesi dan menjadi wanita karir. Hanya saja, islam juga menekankan bahwa wanita bekerja bukan untuk menggantikan peran laki-laki dalam mencari nafkah.

 

Jika negara dapat mewujudkan aturan Islam ini secara sempurna, tak dipungkiri kemuliaan dan kehormatan wanita akan dapat dikembalikan. Fungsi bangunan keluarga bagi kelangsungan negara akan dapat dijalanka, di samping peran antara wanita dan laki-laki dapat dijalankan sesuai fitrah masing-masing. Karenanya, Negara haruslah meninggalkan solusi yang diadopsi dari barat dan segera melegalisasi syariat Islam sebagai hukum positif untuk dapat memblokir seluruh permasalahan wanita yang terjadi hari ini.