Breaking News

Akankah Covid-19 di Indonesia seperti Flue Spanyol Era Hindia Belanda?

Spread the love

Oleh : Ifa Mufida

(PemerhatiSosial Politik)

#MuslimahTimes — Di pembuka tahun ini, dunia terkhusus Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan untuk terbebas dari pandemi covid-19. Menurut data dari Worldometers bahwa per 6 April 2020, total angka kasus positif Covid-19 di dunia telah mencapai 1.276.732 pasien. Setidaknya 208 negara telah terpapar pandemi. Dari sejumlah pasien tersebut, Sebanyak 69.529 pasien positif corona telah meninggal dunia. Sedang pasien yang berhasil sembuh dari penyakit Covid-19 sudah sebanyak 265.956 orang

Pandemi covid-19 saat ini mengingatkan kita peristiwa serupa satu abad yang lalu. Saat itu, dunia pernah disentak oleh pandemi Flu Spanyol. Wabah ini begitu hebat sehingga diperkirakan menewaskan 50-100 juta penduduk dunia. Wabah ini dimulai ketika sejak musim dingin 1918 dan berlangsung selama dua tahun. Virus yang menyebabkan Flu Spanyol merupakan jenis Influenza A subtipe H1N1.

Saat itu, kepulauan nusantara pun tak luput dari wabah Flu Spanyol. Berdasar catatan pemerintah Hindia Belanda, sekitar 1,5 juta orang meninggal akibat pandemi ini. Indonesia berada di posisi empat kawasan dengan kematian tertinggi. Catatan pemerintah Hindia Belanda juga menyebutkan bahwa virus ini menyebar pertama kali di Sumatera Utara. Akibat masuknya kapal dari Malaysia dan Singapura yang berlabuh di daerah tersebut dan penumpangnya membawa virus H1N1. Flu Spanyol pun merebak di Sumatera Utara, kemudian menyebar ke kota-kota yang lain.

Saatitu, awalnya pemerintah Hindia Belanda tak menyadari bahwa virus ini telah mengancam penduduk nusantara. Ketidaksadaran ini berdampak signifikan pada pencegahan penyebaran virus. Secara tiba-tiba banyak rumah sakit yang kebanjiran pasien. Kejadian penolakan juga banyak terjadi sebab kurangnya kamar yang tersedia untuk menangani banyaknya pasien. Bahkan dikabarkan oleh Kolonial Week blad (1919), bahwa dokter di Makasar bahkan harus bertanggung jawab kepada 800 pasien.

Saat itu suasana di wilayah nusantara digambarkan begitu mencekam. Banyak mayat-mayat yang dibaringkan di jalanan. Semua terjadi karena lambatnya penanganan dari pemerintah Hindia Belanda yang saat itu sejatinya menjadi penjajah di wilayah ini. Setelah banyaknya korban baru kemudian ditetapkan Lockdown di beberapa wilayah.  Hal tersebut menyebabkan jalanan begitu lengang, pintu-pintu rumah juga tertutup, banyak tangisan anak-anak yang lapar dan haus, dan banyak hewan-hewan yang mati kelaparan. Mereka tabiatnya memang tidak diurus oleh pemerintah Hindia Belanda.

Angka kematian yang ada di Indonesia belum dapat dipastikan berapa jumlahnya. Beberapa media seperti Pewarta Soerabaia melaporkan korban meninggal akibat wabah penyakit yang ada di Indonesia mencapai 1,5 juta hingga 23 November 1918. Sedangkan menurut catatan statistik Kolonial Verslag, Flu Spanyol menyebabkan peningkatan persentase kematian di berbagai daerah di nusantara. Hal tersebut menunjukkan nusantara telah terdampak cukup berat akibat flu Spanyo lini.

Dan kini, wilayah nusantara ini yang dikatakan telah menjadi wilayah yang merdeka berdasar kacamata internasional kembali dirundung duka. Indonesia saat ini dihadapkan dengan virus covid-19 yang telah menyebabkan banyak kematian. Bahkan bisa jadi data yang masuk itu bukan data yang sesungguhnya. Sebagaimana kita ketahui di Jakarta saja dalam sebulan ini terjadi lonjakan angka kematian dan dimakamkan dengan prosedur pemakaman covid-19. Dan angka itu tidak masuk ke data statistik yang dilaporkan.

Tentunya kita tidak pernah berharap, Pandemi covid-19 akan berlangsung berbulan-bulan, bahkan menimbulkan korban yang cukup banyak sebagaimana terjadi ketika Pandemi flu Spanyol. Ravando Lie, seorang sejarawan kandidat doktoral Universitas Meoulborne mengatakan bahwa penyebab jumlah korban di wilayah nusantara akibat flue Spanyol begitu banyak karena kurangnya keterbukaan informasi, penanganan yang lambat, kurang tepatnya langkah yang diambil, dan adanya beberapa pihak yang mengambil keuntungan dengan mewabahnya virus ini (Tirto id.com).

Lalu bagaimana dengan Indonesia saa tini yang sedang menghadapi Pandemi covid-19? Kita tahu bersama, ketika awal mula wabah ini muncul di Wuhan, pemerintah Indonesia nampaknya menganggap sebelah mata virus ini. Bahkan banyak pernyataan yang muncul dari pemegang kebijakan negeri ini mulai dari orang Indonesia kebal karena minum jamu (makan empon-empon), minum susu kuda liar, makan nasi kucing, hingga corona self limiting desease).

Bahkan, pemerintah tetap tidak mau menutup akses masuknya wisatawan asing termasuk dari China dan masuknya TKA dari China. Ketika ada masukan dari rakyat meminta pemerintah untuk Lockdown, hal inipun ditolak mentah-mentah oleh pemerintah. Padahal Indonesia memiliki regulasi karantina ketika menghadapi wabah secara jelas. Namun, pemerintah nampaknya enggan bahkan justru menetapkan langkah yang kurang bisa mencegah menyebarnya virus ini. Begitu juga, ketika kepala daerah ingin menetapkan untuk karantina daerah, justru dituduh membawa misi politis.

Social distancing yang ditetapkan pemerintah nyatanya tidak bisa optimal dilaksanakan di masyarakat dikarenakan kurangnya pemahaman dari masyarakat. Belum lagi minimnya kesiapan medis baik fasilitas kesehatan berikut pemeriksaan laboratorium yang hanya terpusat di satu titik. Hal ini menyebakan lambatnya proses diagnostik. Hasilnya jumlah pasien yang terdatapun tidak sesaui dengan fakta yang nyata. Belum lagi, karena kurangnya APD menyebabkan banyak tenaga medis yang akhirnya harus kehilangan nyawa. Sedang rapid test yang didatangkan oleh pemerintah nyatanya tidak bermakna. Bahkan hasil yang positif hanya diminta untuk self-isolation dan observasi saja.

Maka, kondisi saat ini dimana pasien yang sehat,  pasien karrier berikut juga orang yang positif tetapi memiliki keluhan yang tidak khas sejatinya telah bercampur menjadi satu. Entah apa yang akan terjadi beberapa pekan mendatang setalah masa inkubasi terlewati. Sedang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang kini menjadi solusi yang dipilih oleh pemerintah nampaknya hanya sekedar solusi setengah hati. Bahkan cenderung sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap wabah ini.

Maka, apa bedanya rakyat yang hidup di bawah pemerintah Indonesia dengan mereka yang hidup di bawah penjajahan Belanda? Jika, di bawah pemerintahan ini rakyat Indonesia tidak terlindungi. Bahkan nyawa rakyat dianggap begitu murah di hadapan penguasa? Akankah rakyat Indonesia yang dikatakan merdeka ini harus menelan pil pahit banyaknya kematian akibat pandemi tersebab lambatnya sikap penguasa? Yang ada rakyat harus melawan virus ini sendiri, terlebih di bawah penguasa yang hanya memikirkan eksistensi. Mereka yang sangat khawatir jika kekuasaannya tak lagi berdiri.

Beginilah nasib rakyat yang hidup di bawah kekuasaan kapitalisme-demokrasi. Nyawa rakyat tak lebih penting dibandingkan pertimbangan untung rugi ekonomi. Miris! Sangat berbeda dengan sistem Islam di bawah khilafah Islamiyah. Khilafah di masa kepemimpinannya sejatinya juga diuji dengan beberapa wabah. Namun, seorang pemimpin dalam Islam akan senatiasa diikat dengan rasa takut kepada Allah SWT. Sehingga di setiap ujian yang terjadi dalam wilayah kekuasaannya, mereka akan melaksanakan berbagai upaya semaksimal mungkin untuk mengurusi rakyatnya. Terlebih di kondisi wabah yang mangancam nyawa. Sungguh, umat Islam rindu dengan sistem Islam dan adanya pemimpin negarawan yang akan menjadi perisai hakiki untuk umat.

Wallahu A’lam bi showab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.