Breaking News

Biar Allah yang Menilai

Spread the love

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)

Muslimahtimes.com– Kalimat “Allah kan Maha Tahu”, “Biar Allah yang menilai”, “Semoga Allah memberinya hidayah” seringkali diucapkan seseorang jika merasa “tak berdaya” mengubah sesuatu yang ada di hadapannya. Ia tahu perbuatan orang yang dimaksud buruk, tapi karena enggan bersinggungan, enggan dianggap sok suci, sok pintar, sok alim dan hingga dituduh, ” Emang yakin bakal masuk surga?” akhirnya lebih memilih membiarkan, jaga jarak agar pertemanan tak “ternodai”.

Coba pikir lebih dalam, apakah ini bukan berarti kita lebih egois dari orang yang kita tahu perbuatannya buruk? Kita tahu dalilnya, kita tahu ilmunya bahkan kita sudah menerapkan apa yang menjadi keyakinan kita kepada diri sendiri. Kita terlalu memikirkan risiko yang sebenarnya tak ada artinya dibanding risiko lain jika kita tidak mengatakan kebenaran.

Biarlah Allah yang menilai memang tak salah, sebagaimana Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mengerjakan kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal saleh, dengan penuh rasa takut jangan sampai Allah tidak menerima infak dan amal saleh mereka bila mereka kembali kepada-Nya pada hari Kiamat kelak.” (TQS al-Mukminun :60)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah akan menilai sekaligus membalas seluruh amal hamba-Nya ketika di dunia. Dan bahwa kita semua, pun seluruh makhluk yang bernyawa akan kembali kepada Al-Khalik, pencipta dunia , alam semesta dan seisinya. Maka, orang yang bersungguh-sungguhlah berikut sangat takut jika amalnya tidak diterima di sisi Allah yang kemudian sangat berhati-hati dalam bertutur kata dan berperilaku.

Mengingatkan, memberitahu kesalahan, mengajak orang lain dengan bersandar pada hukum syariat adalah bagian dari rasa takut kita jika amal kita tak diterima, dari banyak amal entah yang mana yang Allah tidak rida, bukankah tugas kita hanya memperbanyak amal bukan memperpanjang angan?

Bukan pula sok suci atau yakin bakal masuk surga sendirian jika aktivitas saling menasihati kita kerjakan, justru karena tidak yakin dan juga bentuk kehati-hatian kita berusaha menyempurnakan dengan saling menasehati. Masyarakat kita hari ini memang sudah terlalu overthinking, bahkan beralih menjadi masyarakat yang individualis.

Jangankan bicara habbluminallah (hubungan kita dengan Allah), dengan diri sendiri (habblubinafsi) saja tak tahu. Padahal, ketaatan kita kepada Allah adalah harga termurah dan tersimple yang bisa kita lakukan. Seperti menutup aurat dengan sempurna, tidak berhias di depan pria asing, sepulang umrah atau haji lebih taat, mengkaji Islam dan lainnya sangatlah bisa kita kerjakan secara individu jika kita mau.

Namun nyatanya, berbagai penilaian orang telah menjadi tembok tak kasat mata yang menghalangi kita melakukannya. Jelas butuh orang yang mampu membuka tabir itu, agar ada perubahan. Tentulah yang paling awal adalah orang yang berada di circle pertemanan kita, jika kita berada di lingkungan sosial ya tetangga kita.

Imam Syafi’i berkata, “Jika engkau punya teman yang selalu membantumu dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau lepaskan. Karena mencari teman baik itu susah, tetapi melepaskannya sangat mudah sekali.” Demikian pula Al Hasan Al Bashri berkata, “Perbanyaklah sahabat-sahabat mukminmu, karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.”

Itulah mengapa, tak patut kita berkata biarlah Allah yang menilai, sementara kita hanya mendiamkan keburukan, padahal soal-soal sudah diberikan. Ya, soal-soal kehidupan yang harus diselesaikan agar Allah bisa menilai kita dengan tepat sesuai kehendak-Nya. Pribadi yang sempurna bukan mereka yang berjalan sendiri, namun justru mereka yang berusaha memperbaiki apa yang rusak di hadapannya, sembari terus mengkaji dan mengevaluasi dirinya dengan tsaqofah Islam. Kekuatan inilah yang ditakuti kaum kafir sehingga mereka melakukan segala cara agar kita lemah, saling curiga, saling memusuhi bahkan meragukan kebenaran agama sendiri dan lebih percaya pada ide atau pemikiran asing. Wallahu a’lam bish showab.