Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com– Betapa mudahnya seseorang mengakhiri hidupnya, secara candaan dalam masyarakat Jawa dikatakan “Wis ora doyan sego” (Sudah tidak mau makan nasi). Benarkah hanya karena sudah bosan makan nasi mereka bunuh diri? Terbaru, kasus kematian satu keluarga yang diduga bunuh diri di Dusun Boro Bugis RT 03 RW 10, Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Salah satu anak yang selamat AKE (12) masih dalam pendampingan karena kondisi psikisnya terganggu. (republika.co.id, 13/12/2023)
Menurut Kasatreskrim Polres Malang, AKP Gandha Syah Hidayat, ada tiga orang ditemukan meninggal, mereka merupakan pasangan suami istri WE (44 tahun) dan S (40 tahun), serta seorang anak perempuan ARE (12). Motif bunuh diri masih dalam penyelidikan lebih lanjut di duga karena persoalan ekonomi.
Masih dari Malang, seorang pemuda di Desa Pamotan, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang ditemukan meninggal diduga bunuh diri (republika.co.id, 12/10/2023). Kasi Humas Polres Malang, Iptu Ahmad Taufik mengatakan, kejadian pertama kali diketahui oleh salah satu warga Sugeng Widodo (50 tahun), pada Kamis (12/10/2023) di lahan sekitar rumahnya sekitar pukul 05.30 WIB. Saat itu, Sugeng menemukan seorang pemuda sudah meninggal dunia dengan posisi tergantung di pohon.
Diduga motif bunuh diri karena masalah asmara, diketahui saat polisi memeriksa ponsel milik korban dan terdapat riwayat panggilan dan pesan singkat dari seorang perempuan. Di Semarang, Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, mengaku sangat prihatin dengan kejadian dua kasus dugaan bunuh diri yang dilakukan mahasiswa di Semarang.
Mahasiswa yang berasal kampus berbeda ini melakukan bunuh diri dalam waktu dua hari belakangan (republika.co.id, 13/10/2023). Pertama dilakukan NJW (20) warga Ngaliyan, Semarang, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri yang ditemukan tewas di Mall Paragon Semarang, Selasa (10/10/2023). Kasus kedua, seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Semarang berinisial EN (24) warga Kapuas, Kalimantan Tengah, yang ditemukan meninggal dunia di dalam kamar indekosnya, Rabu (11/10/2023).
Tingginya Angka Bunuh Diri: Ada Apa dengan Masyarakat Kita?
Maraknya kasus bunuh diri di tengah masyarakat, dari keluarga hingga kalangan mahasiswa/i yang notabene kaum intelektual harus ditelusuri akar masalahnya. Tentu ada banyak faktor internal dan eksternal, yang cukup kompleks, di antaranya kurikulum perguruan tinggi, gaya hidup modern, media sosial dan ketahanan mental, interaksi antar individu masyarakat, ekonomi hingga asmara.
Sekularisme yang menjadi dasar pembuatan aturan ketika manusia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya inilah pangkal persoalannya. Agama tak lagi dijadikan kendali dan standar perbuatan. Sebuah perilaku selalu berkaitan dengan pemahaman, dan sebuah pemahaman adalah hasil dari pendidikan. Pendidikan tak melulu dari bangku sekolah, tapi dari masyarakat itu sendiri.
Sudahlah kurikulum pendidikan kita merdeka dari ajaran agama ( baca: Islam), masyarakatnya pun individualis. Semua perbuatan, asalkan suka dan “tidak mengganggu” sesama, boleh dan dianggap wajar untuk dilakukan. Padahal, secara fitrah, manusia adalah makhluk terbatas, ada saatnya butuh sesuatu yang bisa membantunya tetap waras. Masyarakat yang kini ada, adalah masyarakat yang memandang status seseorang atau letak kebahagiaan ada pada materi. Hal itu tak bisa disalahkan, memang hidup ini susah, jika bukan diri sendiri yang berjuang siapa lagi?
Bukankah Ada Islam?
Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah rutin seseorang, namun juga way of life yang mampu menjadi solusi. Bunuh diri dianggap sebagai solusi tentu tak ada dalam Islam. Sebab manusia adalah istimewa, ketika ia beriman dengan sebenar-benarnya iman, maka ia lebih berharga dari dunia dan seisinya. Maka, Islam memberi perlindungan atas nyawa manusia, menjaga fitrah dan menjamin kebutuhan hidup rakyatnya.
Allah Swt berfirman, ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepada kamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka kami kelak akan memasukannya kedalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(TQS An-Nissa : 29 – 30)
Bisa jadi neraka ini yang tampak tidak nyata sehingga mereka sulit percaya. Terutama ketika berbagai persoalan datang silih berganti dan tak ada support sistem yang sahih yang menjadi pendukung.
Kasih sayang yang dimaksud Allah tidak tampak ketika sistem sekuler yang menjadi landasan aturan. Sebab sekulerisme melahirkan kapitalisme dan didukung dengan demokrasi sebagai sistem politiknya, dimana setiap lima tahun sekali hanya mendudukkan pemimpin tak punya hati apalagi ketakwaan. Demokrasi sejatinya bukan sekadar solusi memilih pemimpin, tapi lebih kepada melanggengkan setiap pemimpin untuk menerapkan hukum manusia dan meninggalkan syariat Islam mulia.
Padahal Islam memiliki berbagai mekanisme untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif untuk menjaga kesehatan mental rakyat. Dengan menjamin kesejahteraan terwujud secara nyata melalui jaminan negara terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pendidikan berbasis akidah Islam, demikian pula dengan sistem sosial dan lainnya. Masihkah belum saatnya kita beralih kepada aturan Allah Swt. Dan membiarkan setiap keluarga hancur dan setiap individu mati sia-sia? Wallahualam bissawab.