Breaking News

Calon Legislatif Mantan Narapidana Korupsi, kok Bisa?

Spread the love

Oleh. Juhanah Zara

Muslimahtimes.com–Telah menjadi rahasia umum bahwa pelaku korupsi ada di mana-mana. Baik pada jabatan tinggi maupun rendah. Hal ini diakibatkan oleh merajalelanya kerakusan ingin memiliki lebih dari kata cukup. Ya, pelaku korupsi seperti ini sudah menjadi bahan pembicaraan masyarakat karena di setiap tahunnya pasti akan ada temuan baru kasus tindak pidana korupsi yang mencengangkan, namun tak lagi mengangetkan. Pada isu yang sedang hangat saat ini mengenai pemilihan calon anggota legislatif, ternyata ada hal menarik yang menimbulkan beragam pertanyaan. Sebab dalam hal ini, mantan koruptor atau pelaku kejahatan bisa ikut serta dalam pencalonan diri sebagai anggota legislatif. Kok bisa?

Mantan Terpidana Kasus Korupsi Mendaftar Bakal Calon Legislatif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Hal ini tentu menjadikan pihak lain mendapatkan kerugian atas hal tersebut. Korupsi sendiri telah banyak dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam ranah kekuasaan. Kasus terbaru yang masih terus diperbincangkan adalah yang terjadi di Kota Bima, yakni ketika di awal September 2023 ini KPK menetapkan Walikota Bima, Muhammad Lutfi, sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa hingga gratifikasi. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Zulkieflimansyah mengaku terkejut atas kabar tersebut. (detiknews.com)

Dengan banyaknya penyelidikan serta kerja keras dari pihak kepolisan, baik terungkap secara terang-terangan atau dengan penyelidikan yang ketat, nyatanya bisa menangkap pelaku walau hanya sebagian kecil. Namun, setidaknya dapat mengurangi angka koruptor serta penyelewengan kekayaan negara di Indonesia. Akan tetapi, kesyukuran ini adalah kesyukuran yang semu, karena justru kini publik dikagetkan dengan berita kebolehan mantan terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan dirinya sebagai caleg. Dilansir dari VOA, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023.

Adapun alasan mengapa mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Pemilu 2024 merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mantan napi yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan (kompas.com).

Hal ini mengundang antusiasme masyarakat. Warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang akhirnya seolah tanpa guna. Padahal sudah terdata kejahatan tersebut dan masyarakat pun tahu akan hal tersebut. Tidak menutup kemungkinan jikalau nanti terpilih menjadi anggota legislatif akan mengulangi lagi kasus yang sama. Seharusnya negara bisa memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku narapidana dengan tidak membuka jalan bagi mereka dalam dunia pemerintahan. Karena pada faktanya kasus korupsi kebanyakan terjadi dalam pemerintahan, maka sudah seharusnya negara dapat membaca situasi seperti ini.

Sekularisme Kapitalisme; Kebebasan dalam Memilih Pemimpin

Pandangan masyarakat terhadap pelaku narapidana korupsi sudah pasti buruk. Sebab kejahatan tersebut merugikan negara dan juga merugikan rakyat itu sendiri. Maka jangan heran jika rakyat mempertanyakan persoalan narapidana yang dibolehkan untuk menjadi caleg. Bukankah hal ini memudahkan kejahatan seperti itu masuk ke dalam pemerintahan? Dan sangat memungkinkan kasus yang sama akan terjadi kembali.

Tindakan korupsi hari ini memang sudah tidak asing lagi, bahkan setiap tahunnya pasti akan ada saja kasus-kasus mengenai hal tersebut, baik dari jajaran penguasa yang paling tinggi maupun paling rendah seperti penanggung jawab pedesaan atau kepala desa. Rakyat dibuat terbiasa dan lambat laun memaklumi, seolah itu adalah hal wajar dalam dunia pemerintahan. Pun masyarakat yang jengah pada akhirnya tetap tidak tahu hendak berbuat apa, karena seolah korupsi mustahil diberantas dari negeri ini.

Hal ini disebabkan karena kebebasan diberikan seluas-luasnya oleh negara. Dengan kebebasan itulah mantan narapidana korupsi dapat masuk kembali ke dalam parlemen, yakni lewat pencalonan anggota legislatif. Padahal dalam mencari pemimpin yang benar harus penuh pertimbangan terhadap calon pemimpin tersebut. Karena seorang pemimpin harus melayani kehidupan rakyat dengan benar tanpa mementingkan urusan pribadi dan menjadi penyambung lisan rakyat yang jujur. Jikalau mereka bermental atau bahkan adalah seorang koruptor, maka masyarakat lah yang akan menjadi korbannya. Walhasil, hal ini hanya akan membebani masyarakat dan tidak menciptakan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Ya, pada dasarnya seorang koruptor akan mengedepankan urusan pribadi dan selalu mencari cara dalam menggapai materi. Seperti merugikan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang dan benturan-benturan kepentingan.

Kebebasan tersebut menjadi bukti nyata bahwa negara yang berbasis sekularisme merupakan negara yang rusak dan merusak. Sebab di dalamnya diterapkan sistem kufur yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga yang diutamakan adalah materi, tidak peduli dengan nilai luhur yang harus dijaga di masyarakat. Apapun yang mereka ingin jalankan maka itulah yang harus diwujudkan, tanpa memperhitungkan dampak selanjutnya dalam pemerintahan negara atau kehidupan masyarakat.

Dan orang-orang yang berada dalam parlemen tersebut memiliki peluang akan melakukan hal yang sama. Karena aktivitas yang sudah tersistem maka kejahatan tersebut akan berkelindan antar anggota parlemen, yakni saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dalam memilih seorang pemimpin dalam sistem sekuler pun tidak ditunjukkan pada sifat yang amanah dan adil, namun hanya distandarkan pada asas manfaat. Bahkan siapa yang akhirnya terpilih pada dasarnya telah ditentukan berdasarkan kongkalikong penguasa itu sendiri.

Pemimpin dan Pengurus Rakyat Dambaan dalam Sistem Islam

Solusi terbaik hanya ada dalam Islam. Hal tersebut wajib diyakini oleh siapapun yang mengaku beriman. Sebab yang menjadi sumber segala solusi tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, yakni hukum yang berasal dari Allah dan Rasulullah, bukan atas dasar hawa nafsu manusia itu sendiri. Dengan aturan tersebut mampu memberikan kesejahteraan hakiki dalam kehidupan masyarakat. Syariat Islam akan mencegah munculnya individu yang gemar melakukan kemaksiatan, sebab Islam akan mencetak SDM berkualitas dengan penerapan pendidikan yang mampu menjadikan generasi yang berkepribadian Islam. Dengan ini maka tujuan melanjutkan kepemimpinan Islam dan membangun peradaban unggul dan gemilang akan dapat teraih.

Islam mencegah dan mengatasi munculnya kasus korupsi, salah satunya dengan mekanisme sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, juga memperhitungkan kekayaan dan pengawasan masyarakat hingga sanksi yang tegas. Sebab Islam adalah sistem yang tegas dan menimbulkan efek jera. Sehingga mampu membuat pelaku yang berbuat maksiat atau kejahatan akan menyesali dan benar-benar bertaubat pada Penciptanya, yakni Allah SWT. Adapun sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa).

Selain itu, Islam akan memberikan petunjuk agar dapat memilih seorang pemimpin sesuai dengan kriteria yang benar. Dalam kitab fiqih politik seperti kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-mawardi yang terkenal, telah banyak dibahas kriteria-kriteria seorang pemimpin; 1) Muslim, 2) Laki-laki, 3) Baligh, 4) Berakal, 5) Merdeka (bukan budak atau berada dalam kekuasaan pihak lain), 6) Adil (bukan orang fasik atau ahli maksiat), dan 7) mampu (mempunyai kapasitas untuk menjadi pemimpin).

Ya, tentu pemimpin dalam Islam hanya boleh seorang muslim atau tepatnya orang yang beriman dan bertakwa, sehingga ia amanah dalam menjalankan peran sebagai penyambung lidah rakyat. Tujuh kriteria tersebut disebut dengan syarat-syarat in’iqod (pengangkatan), dan hal ini berdasarkan pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka dari itu, sangat jelas kriteria calon pemimpin harus orang yang adil ialah bukan orang yang fasik maupun ahli maksiat ataupun melakukan kezaliman. Pemimpin yang dipilih dengan syarat ketat tadi, tentu memilih figur bertakwa, amanah dan kapabel. Bukan para koruptor yang telah mengambil dan memakan harta orang lain secara bathil.

Adapun wakil rakyat dalam sistem Islam direpresentasikan oleh majelis umat, bukan lembaga legislatif seperti halnya politik demokrasi. Akan tetapi mereka adalah wakil rakyat dalam konteks memberi masukan pada pemerintah, melakukan muhasabah dan syakwa (komplain). Oleh sebab itu, anggota majelis umat terdiri dari pria, wanita, muslim dan nonmuslim. Maksudnya ialah siapapun yang menjadi warga negata Daulah Islam berhak dipilih menjadi anggota majelis umat. Karena syarat utamanya adalah mewakili masyarakat secara representatif dan mewakili kelompok secara representatif juga.

Namun, saat ini mencari seorang pemimpin seperti yang sesuai kriteria yang tadi adalah hal yang mustahil. Karena parlemen yang ada sekarang berada dalam kungkungan sekularisme kapitalisme, yang mana di dalamnya aturan dibuat oleh manusia, sehingga sangat jauh dari Islam itu sendiri. Untuk mencapai hal tersebut butuh yang namanya kesadaran, yakni umat Islam wajib menyadari bahwa Islam adalah agama yang mampu memberikan solusi atas setiap problem. Dan meyakini seratus persen bahwa kapitalisme adalah dalang kerusakan yang terjadi. Dengan begitu Islam akan menang dan diterapkan di muka bumi dengan permintaan umat itu sendiri, dengan kesadaran bahwa umat butuh Islam. Dan Islam hanya akan diterapkan dalam negara yang dipimpin oleh seorang khalifah, yakni Khilafah ala minhaj an-nubuwah.

Wallahu’alam.