Breaking News

Haji Mabrur

Spread the love

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)

Muslimahtimes.com–Meski sudah memasuki bulan Agustus, masih riuh acara anjangsana menghadiri “tilik haji”. Mendatangi sanak saudara ,tetangga maupun teman circle yang baru saja menjadi tamu Allah ke tanah suci. Kata banyak orang biar ketularan. Diiyakan saja, padahal belum daftar, ngeri melihat daftar tunggunya hingga 40 tahun. Tapi siapa tahu, namanya juga rezeki. Banyak kejadian tanpa modal atau daftar malah berangkat lebih dulu berhaji.

Seperti hari ini, saya menghadiri teman arisan yang juga baru pulang haji. Agak lupa wajahnya, sebab selama arisan berjalan dia hanya hadir saat pembukaan arisan saja, selebihnya hanya titip uang kepada ketua arisan yang kebetulan saudara sepupunya. Kabarnya teman arisan ini berangkat bertiga dengan ibu dan adik perempuannya. Padahal daftarnya tidak berbarengan, namun karena ada banyak kebetulan-kebetulan yang akhirnya membuat mereka bisa berangkat bersama. Seperti ada calon jemaah yang meninggal dunia, ada yang karena aturan Kemenag terbaru untuk tidak “beli” mahrom membuat banyak yang membatalkan karena khawatir ada apa-apa di jalan mengingat usia sudah banyak yang lanjut, berikutnya karena ada kenaikan ongkos haji, yang sedianya uang yang ada untuk uang saku, jika ditambahkan untuk ongkos yang naik, maka tidak ada lagi harta, mereka memilih mundur.

Hal ini memang sisi buruk pelayanan haji di negara kita. Belum lagi cerita tahun ini yang kacau, banyak jemaah haji yang tidak mendapatkan makan harian, transport memadai hingga penginapan yang penuh. Semua menjadi PR besar yang kian tahun bukannya membaik malah semakin buruk.

Tapi dalam tulisan ini saya tak hendak menyorot itu, melainkan ingin melihat dari sisi lain, bahwa berhaji tak sekadar memenuhi panggilan Allah, menggugurkan kewajiban berhaji bagi yang mampu dan cerita-cerita epik sepanjang ibadah di tanah suci itu.

Kembali ke saat dimana saya hadir di rumah teman arisan tadi, kami diminta datang ba’da Zuhur karena tamu ketiganya yang ingin berkunjung sudah jauh berkurang sehingga kami bisa lebih leluasa mengobrol. Maklum, ketiganya sama-sama berprofesi sebagai guru dan kepala sekolah TK, wajar jika relasinya dan cirlenya banyak.

Sekitar pukul 13.00 WIB, kami tiba di sebuah rumah yang megah, halamannya luas, di sisi kanan kiri terdapat rumah, sehingga dari luar terlihat seperti formasi huruf U, ternyata yang kanan dan kiri adalah rumah anak pertama dan kedua, sementara yang tengah, yang menghadap jalan adalah rumah ibu dengan anak bungsunya atau adik teman arisan kami.

Di halaman terparkir dua mobil dan puluhan motor pengunjung, rupanya tamu belum benar-benar sepi, meski satu dua datang dan pergi tidak seperti pagi harinya. Kami dipersilahkan untuk duduk di ruang depan rumah tengah. Di lantai sudah berbaris rapih berbagai makanan cemilan khas Arab Saudi, berikut kue basah lokal, air zam-zam, kurma ,kerupuk dan lain-lain hingga kami pun bingung harus duduk dimana. Saat kami telah duduk masih berdatangan buah-buahan dan minuman segar. Masyaallah.

Selalu begini cara-cara penyambutan orang yang baru pulang haji, tuan rumah akan menyediakan makanan aneka rupa, bingkisan hingga oleh-oleh untuk dibawa pulang. Benar saja, belum tuntas tuan rumah bercerita pengalamannya di tanah suci, berikut foto-fotoa selama di sana, nasi soto dan kerupuk udang datang. Pembicaraan kami terpotong. Saya sendiri makan sembari memikirkan berapa besaran dana yang mereka keluarkan untuk ini semua, di luar biaya haji yang telah mereka keluarkan.

Saya teringat bagaimana jemaah haji asal Bugis yang sejak di pesawat pulang ke tanah air sudah berdandan cantik dan segala perhiasan yang mereka miliki dipakai, dari ujung rambut hingga ujung kepala. Sudah mirip toko mas berjalan, kata mereka ini sudah tradisi sekaligus ucapan syukur mereka sudah pulang haji. Saya juga teringat dengan tetangga sepulang umrah, dia bercerita pengalaman ibadah di masjid Nabawi sambil menangis, dia bahkan mengatakan rela dicabut nyawanya di sana saat ibadah. Pasti menjadi akhir kematian yang terbaik.

Padahal, sejatinya haji jauh dari itu semua. Haji bukan sekadar kebanggan semata, tapi sebagaimana perbuatan atau ibadah lainnya, haji juga mengandung konsekwensi. Yaitu memahami berhaji sebagai makna politik. Inilah alasan mengapa dahulu kala, pemerintah Belanda memberi tambahan nama haji bagi setiap warga muslim yang baru pulang dari tanah suci, tujuannya bukan sebagai penghormatan, melainkan untuk menandai para jamaah haji itu agar mudah bagi pemerintah Belanda untuk mendeteksi pergerakan mereka.

Haji dahulu adalah pergerakan dan pemikiran, sepulang dari berhaji adalah politik, bagaimana membumikan Islam, menerapkan syariat dan ukhuwah Islamiyah. Haji sekarang, karena pengaruh kafir yaitu penerapan kapitalisme, dimutilasi sedemikian rupa hanya sebatas ziarah, berkunjung , wisata kuliner, begitu pulang ke tanah air kembali kepada perangai semula.

Kemudian lupa dengan konsekwensi sejati dari berhaji, yaitu menjadi teladan kesalahan pribadi, semakin tunduk kepada syariat. Namun, begitu pesta penyambutan usai, tangis haru mengering, kembali ke masa lalu, masa dimana belum diberi kesempatan istimewa. Tidak menutup aurat sempurna, kembali bergunjing, menolah syariat kaffah dan lain sebagainya. Tak sampai genap 40 hari sejak kepulangannya dari tanah suci, semua tingkah laku bahkan pemikiran jahiliahnya kembali dengan sempurna. Astaghfirullah.

Sungguh! Bisa berhaji adalah kesempatan terindah, namun berhaji bukan puncak ibadah kaum muslim, namun sejatinya sepulang berhaji adalah semakin tunduk , patuh dan terikat dengan seluruh hukum syarak, bahkan menjadi iman bagi orang-orang yang bertakwa. Semestinya menjadi haji mabrur (penuh berkah) bukan haji mabur ( terbang, jawa.pen) yang hanya bisa naik montor mabur ( pesawat). Wallahu a’lam bish showab.