Breaking News

Korelasi PIP Sukses 100% dengan Peningkatan Kualitas Pendidikan

Spread the love

 

Oleh. Eva Fauziyatul Badriyah 

muslimahtimes.com – Program Indonesia Pintar atau disingkat PIP mengesankan sebuah program upaya menjadikan Indonesia pintar atau dengan kata lain menjadikan pendidikan di Indonesia berjalan dengan baik dan berkualitas. Tapi ternyata pengertian PIP ini sangatlah terbatas. PIP diartikan sebagai bantuan uang tunai, perluasan akses, kesempatan belajar dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang berasal dari keluarga miskin dan rentan untuk membiayai pendidikan. Padahal berbicara tentang keberhasilan pendidikan juga terkait dengan kurikulum dan SDM yang terlibat.

Kemendikbudristek, Nadiem Makarim melaporkan bahwa penyaluran dana PIP sampai dengan 23 November 2023 telah tersalur ke 18.109.119 pelajar yang tersebar di seluruh Indonesia. Bantuan tersebut menelan anggatan 9,7 triliun per tahun. Pemerintah mengeklaim PIP ini sudah tersalurkan 100% Nadiem menuturkan dengan semangat merdeka belajar, pihaknya terus menguatkan kolaborasi dan gotong-royong dengan pemerintah dan satuan pendidikan.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa bantuan PIP bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Untuk itu, Jokowi meminta para pelajar agar pandai mengatur dana bantuan yang sudah diberikan.

Seharusnya program bantuan apa pun termasuk PIP ini tersalurkan 100%. Sayangnya yang dimaksudkan 100% adalah dari dana yang dialokasikan. Itu pun turunnya bertahap. Katakanlah bantuan sudah tersalurkan 100% tapi apakah bantuan itu juga telah menyentuh 100% anak bangsa yang membutuhkan bantuan pendidikan? Karena sudah menjadi kebiasaan dalam sistem kapitalisme, bantuan-bantuan yang digelontorkan sekadar ada saja, tapi tidak merata bagi seluruh rakyat apalagi menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat dalam kehidupan sehari-hari.

Dan apakah bantuan pendidikan ini juga berkorelasi secara langsung dengan kualitas pendidikan? Bagaimanapun jika dihitung secara seksama PIP tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pendidikan pelajar secara keseluruhan. PIP hanya bersifat bantuan.

Bicara tentang pendidikan, negeri ini dihadapkan pada kondisi akses pendidikan yang belum merata, kondisi sarana dan prasarana pun belum memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dan hal ini menjadi PR besar bagi bangsa ini.

Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan dana namun juga kurikulum dan SDM pendidiknya. Kurikulum yang diterapkan di negeri ini berdasarkan paradigma sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Pelajar diajari, dibimbing bahkan dipaksa untuk menerapkan nilai-nilai sekuler termasuk liberalisme (kebebasan). Akibatnya karakter yang terbentuk oleh kurikulum ini adalah generasi yang menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan. Output pun jadi tidak berkualitas. Berbagai masalah generasi terjadi seperti pergaulan bebas, narkoba, miras, bahkan tindak kriminal yang di luar akal manusia. Semua hasil dari kurikulum sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Penerapan kurikulum sekulerisme kapitalisme ini meniscayakan komersialisasi. Karena asasnya materi. Akhirnya pendidikan yang berkualitas hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang punya uang. Masyarakat dengan pendapatan rendah tidak bisa mengakses pendidikan berkualitas. Akhirnya sebagai jalan tengah melalui pemerintah yang fungsinya hanya regulator dimunculkan adanya bantuan pendidikan seperti PIP. Yang sebenarnya PIP ini secara jumlah tidak cukup untuk pembiayaan pendidikan seorang pelajar dan juga belum merata pada seluruh anak bangsa yang seharusnya bisa mengakses pendidikan secara memadai.

Maka dari itu, menilai keberhasilan program pendidikan hanya dari suksesnya dana bantuan pendidikan tersalurkan 100% sungguh sangat prematur. Karena sejatinya program pendidikan bukan hanya tentang dana tapi juga kurikulum dan SDM yang terlibat.

Ketersediaan pendidikan bagi seluruh rakyat adalah tanggung jawab pemerintah secara mutlak. Negara tidak hanya hadir sebagai regulator tapi penjamin kebutuhan hak asasi rakyat termasuk pendidikan.

Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan yang dalam sistem Khilafah. Dengan merujuk pada hadis Rasulullah Muhammad saw.

Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Juga dalam hadis, “Imam/Khalifah itu laksana gembala (raa’in), dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Khalifah yang menerima amanah kepemimpinan akan menyelenggarakan pendidikan akan berbeda ketika pendidikan sebagai bagian dari kebutuhan publik sehingga tidak dibebankan kepada individu rakyat. Akan sangat berat jika kebutuhan publik harus dibiayai secara pribadi. Itulah pentingnya bahwa pendidikan semestinya dibiayai oleh negara, yakni sebagai wujud pengurusan urusan umat dari penguasa kepada rakyatnya.

Khilafah sebagai sistem pemerintahan negara Islam akan menyelenggarakan pendidikan sebagai kebutuhan asasi publik. Posisi pendidikan sebagai bagian dari kewajiban thalabul ilmi (menuntut ilmu) pun ditunaikan secara proporsional. Lebih dari itu, pendidikan adalah prototipe peradaban masa depan. Pendanaan pendidikan dalam Khilafah pun ditanggung seutuhnya oleh negara.

Tidak heran jika format pendidikan dalam Khilafah ini jauh dari kata menzalimi rakyat atas nama kualitas rendah yang diiringi biaya tinggi. Sebaliknya, sistem pendidikan era Khilafah siap mencetak khairu ummah (generasi terbaik) dan berkualitas dengan biaya gratis dari negara. Rakyat tidak dibiarkan memikirkan dan terbebani secara individual akan keberlangsungan pelaksanaan pendidikan berikut pembiayaannya.

Di dalam kas Baitulmal, Khilafah memiliki banyak pos pendanaan yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan publik sebagaimana pendidikan. Baitulmal memiliki jalur-jalur harta kepemilikan umum yang siap untuk mendanai pendidikan pada berbagai jenjang serta dengan sarana dan prasarana terlengkap.

Wallahualam bissawab.