Breaking News

Mengapa Pengantin Perempuan Kabur dari Suaminya?

Spread the love

Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute, Pemred Muslimahtimes.com)

Muslimahtimes.com–Lagi, pengantin kabur dari pasangannya. Vera (27), pengantin perempuan di Banyuasin, Sumatera Selatan, menghilang 10 hari setelah pernikahannya. Ia menikah dengan Sutanto (48) di Desa Srimulyo, Kecamatan Madang Suku II, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumsel, Kamis (6/7/2023).

Menurut penuturan ibunda Vera, Cek Imah, keluarga merestui pernikahan beda usia 19 tahun itu, karena Sutanto yang berstatus sebagai juragan bebek. Berharap, sang putri bisa sejahtera dan terbantu ekonomi keluarga. Namun, kenyataannya lain. “Anak saya itu tertekan karena suaminya ini pelit, makanya dia berlari itu,” tambahnya (Tribun).

Di sisi lain, sehari setelah kabur, Sutanto mendapat pesan dari Vera yang menegaskan dia tidak akan kembali. Tepatnya pada Minggu (16/7/2023), Vera mengirim pesan singkat kepada suaminya. Pesan itu dikirim oleh Vera menggunakan nomor baru. Sutanto pun hilang kesabaran. Ia bahkan berniat meminta uang yang dikeluarkannya untuk biaya pernikahan dikembalikan, jika Vera tidak mau kembali (Tribun). Hingga tulisan ini dibuat, belum ada solusinya.

Kasus sejenis, di mana seorang istri kabur dari suaminya, juga dilakukan Anggi (21). Baru menikah sehari dengan suaminya, Fahmi, ia malah kabur menemui mantannya. Fahmi pun tegas menceraikan Anggi, perempuan asal Rancabungur, Kabupaten Bogor itu (Radar Bogor).

Apa yang dilakukan kedua perempuan itu tentu tidak bisa dibenarkan. Pernikahan yang merupakan akad agung, seolah-olah sesuatu yang bisa dipermainkan. Apapun motifnya, seorang istri yang kabur tanpa izin dan rida suaminya, telah melakukan pelanggaran terhadap hukum syarak. Kemungkinan besar, hal ini terjadi karena hal-hal sebagai berikut:

1.Motif Pernikahan yang Salah

Seorang wanita bersedia menerima lamaran dan dinikahi oleh seorang laki-laki, hendaklah karena pertimbangan agama sang calon, dengan tujuan benar-benar ingin membangun rumah tangga bersamanya. Tentunya dilandasi rasa suka dan rido atas pasangannya. Bukan motif lain. Jika pernikahannya karena terpaksa, dipaksa, sudah pasti hati tidak akan tenang. Hati tidak akan tenteram. Tidak akan ada keridaan sedikit pun sejak malam pertama.

Demikian pula jika motifnya bersifat duniawi, seperti demi mendapatkan status sosial, daripada melajang, atau karena membayangkan kesejahteraan ekonomi semata, pasti akan kecewa. Sebab, menikah itu bukan mencari penjamin atas hidup kita, tapi mencari pendamping untuk secara suka rela bersama-sama membangun keluarga yang diimpikan. Jadi, jangan bayangkan pernikahan itu langsung enak dan bahagia. Apalagi baru seumur jagung.

2.Proses Perkenalan yang Tidak Syar’i

Saat ini merebak budaya pacaran atau penjajakan yang tidak sesuai syariat. Akibat pacaran baik waktunya lama maupun sebentar, pernikahan tidak sesuai harapan`. Sebab caranya tidak dibenarkan dalam Islam. Saat pacaran, seseorang cenderung akan selalu jaga imej di depan calonnya, agar ia diterima. Akibatnya, tidak ada saling kejujuran dan malah sebaliknya, saling menunjukkan hal-hal baiknya saja. Kalau keluar sifat aslinya, takut tidak diterima. Akibatnya, setelah menikah, ketika hal-hal buruknya terungkap, kecewalah keduanya. Apalagi jika ia punya banyak mantan, terjadilan perbandingan di otaknya yang membuat seseorang tak pernah puas, ingin menemukan yang lebih baik lagi dan lagi.

Berbeda dengan ta’aruf yang Islami, justru selama perkenalan, keduanya harus saling terbuka dengan kekurangan masing-masing. Jika siap menerimanya, maka bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan. Sehingga, ketika akhirnya menikah dan tinggal serumah, tidak ada kekecewaan. Meski pernikahan tak selalu sesuai harapan, tapi masing-masing paham dan bisa menerima dengan lapang dada.

3.Minimnya Pemahaman tentang Konsekuensi Pernikahan

Apapun yang terjadi, ketika sudah terikat akad nikah, maka harus siap dengan konsekuensinya. Jika tidak mau menanggung risiko dari sebuah pernikahan, hendaklah berpikir matang sebelum menerima lamaran. Misal menerima pasangan apa adanya, siap taat dan terikat tanpa batas waktu dengannya, selalu izin suami jika mau pergi, atau mengajukan khuluk jika tidak ingin meneruskan pernikahan.

Kasus ini menunjukkan betapa minimnya pemahaman para wanita terhadap konsep pernikahan yang seharusnya mereka pahami sejak awal. Ataukah hal ini karena pengaruh dari kultur budaya, yang mana perempuan semakin berani meski salah?

4.Lunturnya Budaya Musyawarah

Jika pernikahan sudah terlanjur dilakukan, seharusnya mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan masalah. Istri hendaklah berani menyampaikan unek-uneknya kepada suami. Bila belum cukup, libatkan kedua belah orang tua untuk mencari jalan keluar. Lalu jika memang tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan, bisa mengajukan talak secara baik-baik. Demikian Islam mengatur persoalan pernikahan.

5.Labilnya Kondisi Psikis Wanita

Fenomena kesehatan mental saat ini menjadi sorotan, khususnya di kalangan para wanita atau istri. Kerap, kondisi psikis mereka labil. Tidak siap menghadapi kenyataan yang tak seindah bayangan. Mungkin mereka menyangka pernikahan itu hanya nikmat dan bahagia seperti drama percintaan.

Nyatanya, pernikahan adalah fase baru dalam perjuangan kehidupan, yang harus dilalui bersama pasangan. Sayangnya, drama baru dimulai, sudah buru-buru mengakhirinya. Seolah jiwanya tak siap menerima kenyataan. Ini menjadi pelajaran berharga untuk para lajang, agar benar-benar berpikir matang sebelum memutuskan pernikahan.