Breaking News

Merdeka atau Mati?

Spread the love

Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)

Muslimahtimes.com– Suara musik bertalu-talu di fasum perumahan, bersaing renyah dengan teriakan MC memanggil peserta lomba. Ya, malam ini di lingkungan RT-ku sudah mulai mengadakan lomba 17-an. Menurut panitia, ini sudah agak terlambat, semestinya sudah sejak awal Juli lalu, akibatnya jenis lombanya jadi sedikit baik untuk anak-anak maupun dewasa.

Awal perencanaan lomba di rapat PKK, semua ibu mengeluhkan jika peserta lomba bakal sedikit, sebab anak-anak sudah beranjak dewasa, rata-rata sudah SMA atau kuliah. Kalaulah ada pendatang baru anak-anak mereka usianya masih di bawah tiga tahun. Namun, perlombaan tetap digelar, alasannya untuk memperingati hari kemerdekaan, hanya setahun sekali tak ada salahnya bersenang-senang.

Entahlah, ada yang tergores tapi tak berdarah di dalam hati. Mengingat kata-kata “hari kemerdekaan tak ada salahnya bersenang-senang”. Tahukah mereka sejarah perlombaan berasal dari penjajah Belanda yang sebenarnya ingin menghina masyarakat Indonesia? Para penjajah itu sengaja membuat perlombaan seperti panjat pinang, gebuk bantal di atas sungai dan lainnya adalah untuk menyenangkan hati mereka dan menunjukkan posisi rakyat Indonesia di hadapan para pejabat Belanda. Antara tuan dan budaknya.

Tak ubahnya hewan pacuan, manusia dengan manusia diperlombakan. Tak jarang mereka menyebarkan hadiah uang untuk dipungut. Bentuk penjajahan keji yang sebenarnya hingga hari ini belum berakhir, hanya berganti rupa. Bukan dengan angkat senjata tapi dengan budaya, gaya hidup, perekonomian, pendidikan dan lain sebagainya. Ilusi kemerdekaan yang setiap tahun diperingati, terus menerus rakyat dipaksa percaya bahwa Indonesia sudah merdeka, berdaulat, mandiri dan bagian dari percaturan dunia global.

Bak hajatan, semua sibuk, semua “berbenah” , memoles kampung dengan meriah, persiapan lomba, karnaval dan lain sebagainya dengan jargon setahun sekali tak mengapa. Rakyat yang kemarin mengeluh semua kebutuhan pokok tak terbeli saking tingginya harga, kini dengan sukarela keluarkan biaya. Dengan ini mereka beranggapan sudah ikut berkontribusi mengisi kemerdekaan. Sungguh mengenaskan, rakyat berpesta, penguasa berfoya-foya.

Rakyat terpalingkan, apa yang semestinya menjadi pemikiran umum mereka, lenyap dengan euforia hari kemerdekaan. Kerukunan antar warga seolah solid, tak ada perbedaan pendapat bahkan suara julid seketika menghilang demi persatuan. Lantas, mengapa semua ini hanya giat saat peringatan hari kemerdekaan saja?

Begitu bulan Agustus berlalu, jalanan suram, berbagai hiasan rusak membusuk diterpa angin, tak ada guyup rukun, persis seperti apa yang digambarkan oleh Syeh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Islam. Inilah ikatan manusia paling lemah, yaitu nasionalisme, kebangsaan bahkan kesukuan. Mirip dengan sekelompok burung yang berhenti di sebuah danau untuk minum, ketika bahaya mengancam mereka terbang menghindar. Begitu seterusnya.

Pantas saja, masyarakat menjadi tidak peka terhadap persoalan sesungguhnya. Yaitu kita belum merdeka, bolehlah jalan beraspal, rumah sakit banyak, kesehatan murah karena ada BPJS dan lainnya, tapi apakah itu untuk seluruh rakyat?

Bagaimana dengan kasus kebocoran data pribadi, penyelundupan nikel berjuta-juta ton ke luar negeri, gunung emas menjadi lembah gara-gara Freeport, ekspor pasir impor beras dan lain sebagainya? Semua dikendalikan para kapitalis besar, artinya kita masih didikte asing alias dijajah.

Bagaimana pula dengan rasa aman yang hilang karena banyaknya pembunuhan, mutilasi, perselingkuhan , pergaulan bebas dan lain sebagainya yang masuk dalam katagori kerusakan masyarakat? Tidakkah terpikirkan bahwa semua ini karena ulah manusia itu sendiri yang telah lama mengambil hukum selain hukum Allah Swt.

Jika para pejuang dulu slogannya merdeka atau mati untuk terus mengobarkan semangat melawan penjajah, hari ini mengalami berbagai distrupsi. Bahkan menjadi simalakama, merdeka tapi tak sejahtera atau malah sudah mati dalam keadaan tak beraksi.

Kita belum merdeka, Bung! Kita masih dijajah. Bukan tak boleh bersenang-senang, namun jika dibalut bercampur baur, mengumbar aurat, pelecehan, tasyabuh dan lain-lain yang semuanya bertentangan dengan syariat apalah gunanya? Di mana bersenang-senangnya, sebab bagi seorang Muslim tentu harus selalu ingat bahwa setiap perbuatan ada balasannya. Allah bukanlah zat Yang Maha Lengah, sebaliknya, Allah Maha Teliti. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi. Niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhmnya allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui,” (TQS :Luqman : 16).

Tentulah tak cukup memaknai hari kemerdekaan hanya dengan perlombaan, tirakatan, jalan sehat dan lain sebagainya. Perlu pula ditambah dengan munculnya kesadaran bahwa merdeka hakiki lebih urgen untuk diwujudkan. Negara kita tidak sedang baik-baik saja, pun masyarakat yang nota bene mayoritas beragama Islam. Sebab, bukan Islam yang mewarnai dalam kehidupan, melainkan aturan lain. Wallahu a’lam bish showab.