Breaking News

Saat Nyawa Manusia Tak Ada Nilainya

Spread the love

Oleh : Shita Ummu Bisyarah

#MuslimahTimes — Pandemi corona meninggalkan duka bagi masyarakat dunia. Dalam waktu singkat wabah ini telah menyebar ke hampir seluruh negara dan menginfeksi jutaan manusia. Dunia mencatat per Jumat (3/4/2020), hingga Kamis (2/4), setidaknya 1.000.036 kasus telah dilaporkan di seluruh dunia dengan 51.178 kematian. Akselerasi jumlah orang terinfeksi sejak 27 Maret menunjukka bahwa pademi ini menyebar dengan tingkat mengkhawatirkan.

Di Indonesia sendiri penyebaran virus ini kian tak terkendali. Sejak diumumkan resmi oleh presiden RI tanggal 2 maret bahwa 2 warga Depok positif covid 19, hingga kini kurva kenaikan jumlah orang terinfeksi terus meroket tajam. Ini yang terdeteksi belum yang tak terdeteksi karena alat tes sangat terbatas jumlahya. Pada Senin (23/3/2020), London School of Hygiene And Tropical Medicine memprediksi bahwa sebenarnya Indonesia memiliki puluhan ribu kasus corona yang tidak terdeteksi. Bahkan mereka mempresiksi kasus di Indonesia yang terdeteksi hanya 2% saja. Fakta ini sungguh mengerikan.

Dengan meroketnya tingkat penyebaran virus ini di Indonesia pemerintah justru tak bersikap tegas, malah cenderung gagap dan berlepas tangan. Padahal sebenarnya Indonesia punya cukup banyak waktu untuk bersiap sebelum wabah ini menginfeksi Indonesia. Pemerintah tak mengambil langkah tegas, sehinggapenyebaran virus ini kian tak terkendali.

Social distancing hanya bersifat sebagai anjuran, tak ada peringatan atau sanksi tegas bagi pelanggarnya. Pun tak ada juga bantuan dari pemerintah pusat bagi warga miskin yang mengandalkan pendapatan hariannya semisal babang ojol, pedagang kaki lima, tukang parkir, penjual rumah makan, resto dll. Jika mereka terpaksa harus social distancing ataupun tinggal dirumah maka dilema berat bagi mereka, keluarga mereka bisa kelaparan bahkan jika berlangsung selama berminggu – minggu mereka bukan mati karena virus, tapi mati kelaparan.

Bahkan jelas dalam Pasal 52 UU Nomor 6 Tahun 2018 bahwa selama penyelenggaraan Rumah Karantina, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan yang sesuai dengan Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun faktanya pemerintah berlepas tangan dari kebutuhan rakyatnya. Malah menerapkan PSBB yang didampingi dengan aturan darurat sipil, seolah pemerintah menghianati UU ini.

Berbeda halnya dengan para anggota dewan yang berlindung dibalik rumah megahnya. Harta mereka tak habis dimakan tujuh turunan sehingga masalah social distancing ini tak akan berefek pada mereka. Parahnya mereka menuntut semua anggota DPR beserta keluarganya ( yang estimasi jumlahnya 2000an orang) untuk di tes covid-19. sedangkan kita tahu bahwa alat tes sangat terbatas. Disisi lain kelompok beresiko tinggi sangat membutuhkan tes ini. Para ODP misalnya, tenaga medis, orang dengan penyakit kronis dkk.

Sedangkan lockdown hanyalah ilusi. Pemerintah telah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan Lockdown. Alasannya jelas karena ekonomi. Pemerintah daerah yang menerapkan lockdown pada daerahnya malah kena semprot pemerintah pusat. Bukan kewenangan mereka katanya. Padahal jelas, tanpa lockdown mata rantai penularan virus ini tak akan pernah terputus.

Gagapnya pemerintah ini berakibat fatal kepada nyawa rakyat dan para medis di garda terdepan. Melansir dari akun Instagram resmi PB IDI, sudah 19 dokter ahli meninggal dunia selama pandemi Covid-19. Indonesia pun memiliki presentase kematian tertinggi di dunia. Per Rabu (1/4/2020), persentase kematian mencapai 9,4 persen dari total 1.677 kasus. Belum lagi kasus kematian lain yang tak terdeteksi akibat covid-19 ini.

Fakta – fakta ini menunjukkan bahwa nyawa manusia tak ada harganya dihadapan pemerintah. Alih – alih bersiap menghadapi virus corona sejak kemunculan pertamanya di Wuhan Cina, pemerintah malah sibuk omnibuslaw, meramaikan sektor pariwisata, hingga pindah ibu kota yang menghabiskan dana ratusan triliun. Alasannya lagi – lagi masalah ekonomi. Pertanyaannya ekonomi siapa yang mau ditingkatkan? Ekonomi rakyat atau ekonomi segelintir orang yang berkepentingan.

Saat rakyat kalang kabut mencari nafkah untuk bertahan hidup, menerjang resiko tertular virus ini, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan tak masuk akal hingga kebijakan yang membohongi rakyat. Penggratisan tarif listrik misalnya, pada faktanya tidak ada realisasinya. Pembebasan30 ribu napi korupsi hingga teori konspirasi sungguh akal pemerintah diragukan kewarasannya. Pertanyaan selanjutnya yang muncul di benak rakyat adalah, mengapa pemerintah bersikap demikian?.

Pertama : tidak kompetennya pemerintah kita. Disini penulis tidak bermaksud menjelek – jelekkan pemerintah Indonesia. Tapi penulis hanya mengkritik kebijakan yang diambil oleh pemerintah kita. Karena kebijakan yang mereka ambil menyangkut nyawa banyak orang. Selain kebijakan yang tak masuk akal banyak kebijakan pemerintah yang justru teraruskan oleh hoaks kesehatan. Misal pemerintah impor kloroquin dan avigan jutaan butir untuk pasien positif corona. Padahal obat tersebut belum diteliti efektif menyembuhkan corona bahkan negara lain masi “mempresiksi” belum sampai tahap penelitian. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya literasi para petinggi negri ini.

Kedua : adanya kemungkinan kuat akan kepentingan segelintir orang. Sebenarnya bisa saja pemerintah mengucurkan dana rtusan triliun yang tadinya untuk membangun ibu kota baru diganti alokasinya untuk penanganan covid 19 ini. Namun faktanya tidak demikian. Justru pemerintah membuat proyek – proyek baru yang bisa menjadi ladang korupsi subur para koruptor. Seperti proyek pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pasien corona yang tidak masukakal tadi.

Ketiga : karena masalah sistemis. Kekonyolan dan ketidakmasukakalan pemerintah sebenarnya tidak terjadi sekali ini saja. Namun suda berulang kali kita dengar hingga kekonyolan pemerinta menjadi suatu hal yang biasa di telinga rakyat. Ini berarti bukan lagi masalah personal namun masalah sistemik.

Kita tahu bahwa bangsa ini menganut ideologi kapitalisme dimana sistem pemerintahannya demokrasi kapitalisme. Kapitalisme berasas materi. Semua tindakan bahkan kebijakan diukur dari segi materi, apakah untung atau rugi. Hal ini meniscayakan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kadang tak rasional bahkan tak manusiawi. Karena tolok ukurnya bukan lagi masuk akal atau menyangkut nyawa seseorang, namun materi tadi. Disinilah terlihat betapa nyawa manusia sama sekali tak berharga dibanding uang. Kematian manusia tak lagi berarti ketimbang turunnya angka ekonomi. Si kaya mengorbankan si miskin, biarlah si miskin mati membentuk herd imuniti sedangkan si kaya menikmati hidup dibalik layar TV.

Begitulah ideologi kapitalisme ini mempengaruhi kepemimpinan berfikir dalam suatu negeri. Tak ada nilai bagi nyawa manusia. Maka sudah jelas kita lihat bersama betapa bobroknya ideologi buatan manusia ini. Kesombongan manusia yang tidak ingin diatur dengan aturan penciptanya yang berujung pada kepunahan manusia itu sendiri. Maka sudah selayaknya kita kembali pada ideologi buatan sang pencipta manusia dan kehidupan ini, yakni ideologi Islam.

Di dalam islam nyawa manusia sangat berarti dari dunia dan seisinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Hal ini terlihar dalam sejarah islam ketika menghadapi wabah. Pemimpin negara sangat serius dalam menangani wabah ini. Seperti sejarah kholifah Umar bin Khatab ketika negri islam saat itu terserang wabah Tha’un. Umar yang saat itu sebagai pemimpin negara segera menerapkan lockdown dan menjamin kebutuhan primer rakyatnya seperti makan, kesehatan, pendidikan, dll. Selain itu umar juga melakukan langkah – langkah strategis dan tegas untuk segera mengakhiri wabah ini.

Wallahualambishawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.