Breaking News

Sexting, Perbudakan Seksual di Era Digital

Spread the love

 

Oleh: Kholda Najiyah
Founder Bengkel Istri

Muslimahtimes– Bagaimana rasanya jika foto atau video tidak senonoh viral dan dinikmati jutaan pasang mata? Mungkin hanya orang yang punya kelainan mental saja yang merasa senang dan bangga. Orang normal pasti malu luar biasa. Tampaknya, hal itulah yang dicemaskan oleh belasan perempuan di Kota Semarang yang mengadukan perasaannya ke Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK).

Mereka tertekan oleh sikap pacarnya yang mengancam akan menyebar foto syur mereka jika tak mau diajak berhubungan intim. “Iya ada 11 perempuan yang konsultasi ke kami, mereka diancam pacar mau sebar foto syur andai tak mau diajak berhubungan intim,” papar Direktur LBH APIK Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko kepada Tribunjateng, Sabtu (12/12/2020). Para pengadu ini mulai anak SMA, mahasiswi hingga pekerja. Mereka ketakutan foto vulgarnya akan disebar. Khawatir diketahui oleh orangtuanya dan teman-teman di lingkungannya.

Begitulah fenomena “balas dendam konten porno.” Foto atau video vulgar dijadikan senjata oleh laki-laki untuk menikmati tubuh perempuan. Bisa dibayangkan, berapa kali terjadi perzinaan jika perempuan-perempuan ini terus menerus tak berdaya menolak paksaan zina pacarnya. Ini adalah kejahatan kelamin yang sangat keji. Benar-benar perbudakan seksual di zaman digital.

Itu baru 11 perempuan yang berani buka suara. Dipastikan masih banyak perempuan lain yang terjebak kondisi yang sama dan memilih diam. Tak berdaya harus berbuat apa. Apalagi di kalangan remaja yang baru punya sedikit pengalaman hidup. Masih lugu dan polos. Mudah terbawa arus. Mudah dirayu dan ditaklukkan laki-laki tukang gombal.

Sebuah situs doktergenz pernah mewawancarai remaja-remaja korban revenge porn atau penyebaran konten porno ini. Menurut pengakuan mereka, kebanyakan karena rasa percaya pada pacarnya. “Gue naif, terlalu percaya pada pacar gue. Jadi gak mikir aneh-aneh waktu dia minta foto badan atas gue. Brengseknya foto itu dia pamerkan ke teman-temannya. Seumur hidup gue nggak akan maafin dia,” ujar Dwi (17).

Di sinilah sekali lagi bahaya pacaran itu sangat nyata. Bukan hanya membuka pintu zina, juga menyuburkan produksi dan distribusi konten porno. Pacaran telah menjerat para perempuan menjadi objek seksual. Menjerumuskan para perempuan melakukan perbuatan yang melanggar privacy dirinya sendiri. Aurat yang seharusnya ditutup rapat, disembunyikan dan dimuliakan, malah diumbar atas dasar perasaan sayang sebelah pihak.

Disebut sebelah pihak, sebab jika laki-laki itu memang sayang, seharusnya justru ikut menjaga aurat pasangannya sampai nikah sah. Nyatanya justru mengambil manfaat dari pacarnya sebagai budak seks. Dipacari atas nama cinta, nyatanya atas nama nafsu.

Jerat Liberalisme

Fakta di atas menunjukkan betapa mudahnya konten seksual atau porno diproduksi dan tersebar luas. Aktivitas yang baru ada di era digital inilah yang disebut sexting. Gabungan dari kata sex dan texting. Jadi, sexting adalah aktivitas menerima dan meneruskan pesan yang bermuatan seksual, baik dalam bentuk tulisan, foto, atau video. Faktanya sering terjadi di sekitar kita. Misalnya viral video mesum, baik pelakunya masyarakat biasa maupun artis.

Tentu saja, konten itu hampir semuanya melibatkan peran perempuan. Baik sebagai aktor pelaku, pembuat dan bahkan penyebarnya sendiri. Sebuah fenomena yang sangat ironis, dimana perempuan yang seharusnya memiliki rasa malu tetapi malah menjadi bagian dari maraknya sexting.

Banyak alasan mengapa perempuan secara sadar melakukan sexting. Di era liberal ini, perempuan merasa bebas berekspresi. Mereka menyadari potensi seksual yang melekat dalam tubuhnya. Sebab, meskipun dilengkapi dengan rasa malu, tetapi jauh di lubuk hatinya ia senang jika ada yang memuji tubuhnya.

Ia merasa bangga dan bahagia bila berhasil “memamerkan” aset berharganya. Apalagi kepada orang yang menurutnya dia sayangi. Berharap cara itu akan menambah rasa sayang pasangannya. Mendapat penghargaan atau pujian yang membuatnya melayang. Baik pasangan haram alias pacar maupun suami istri yang sudah menikah secara sah.

Selain itu, ada juga yang “menjual konten diri” demi uang. Misalnya melalui foto atau video call mesum. Bahkan ada juga yang modusnya untuk edukasi seksual. Inilah mengapa konten-konten seksual merajalela. Baik dilakukan secara amatir, sekadar iseng atau dikelola secara profesional. Kemudahan teknologi digital memudahkan proses produksi hingga distribusi. Akibatnya, dunia digital dipenuhi sampah konten porno di hampir semua kanal media.

Ironisnya, sebagian masyarakat menyambut sexting sebagai kebutuhan bersama. Menyebutnya sebagai pemersatu bangsa. Begitu konten seksual viral, bukannya ramai-ramai melakukan take down, malah ikut memburu dan menikmatinya. Gejala ini menunjukkan hilangnya rasa empati kepada “korban” yang telah dipermalukan, sekaligus tidak tegaknya pengawasan sosial. Tidak ada amar makruf nahi munkar, karena sexting bukan dipandang sebagai kemungkaran melainkan kenikmatan. Na’udzubillahi mindzalik.

“Pelaku” sexting pun baru menyadari kebodohannya setelah terlanjur viral. Walaupun mulanya dia secara sadar membuka aurat untuk direkam, ketika viral ternyata menangis juga sebagai “korban.” Ya, korban, karena merasa hanya melakukannya untuk kebutuhan pribadi, bukan untuk dikonsumsi publik. Dan memang undang-undang yang ada, memperlakukan mereka sebagai korban, karena yang dijerat hukum hanyalah penyebar. Kecuali jika ia pelakon sekaligus penyebarnya.

Padahal, dampak menampakkan aurat, apalagi adegan mesum yang viral itu bukan main sadisnya. Seperti body shamming atau penilaian publik akan tubuhnya, penghinaan, perasaan bersalah, malu, frustasi dan depresi. Paling penting, sexting membuat reputasi ternoda. Dalam aspek sosial, ia bisa kehilangan pekerjaan, karir, sahabat dan bahkan orang-orang yang disayangi atau keluarganya.

Di sini seharusnya semua pihak menyadari bahwa sexting sangat berbahaya. Alih-alih mendapatkan apresiasi dan penghargaan, sebaliknya menghancurkan reputasi dan harga diri. Selamanya orang tak akan lupa. Apalagi, jejak digital itu terus bergentayangan di dunia maya. Menggelinding bak bola salju tanpa bisa dihentikan. Bahkan mungkin akan terus eksis dari generasi ke generasi. Apa jadinya jika anak-cucunya kelak menikmati konten seksual orangtua atau nenek-buyutnya. Mengerikan.

UU Hanya Menghukum

Di berbagai negara, fenomena sexting sudah menjadi perhatian serius. Sebab, dampaknya sudah mulai melanda anak-anak. Penggunaan gawai yang kian muda usia, membuat anak-anak tak terhindar dari paparan konten seksual.

Di Australia, undang-undang tentang sexting sudah mulai diberlakukan. Anak-anak maupun dewasa yang mengirimkan gambar selfie telanjang atau berbau pornografi akan dipenjara 2 tahun atau denda $10 ribu jika dinyatakan bersalah. Sementara itu, lebih dari setengah negara bagian Amerika Serikat telah mengeluarkan UU yang mengkriminalisasi pelaku sexting (sumber: 4meahc)

Di Indonesia, sexting masuk UU Pornografi pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat gambar yang berhubungan dengan telanjang, mempertunjukkan alat kelamin, atau aktivitas seksual (baik yang normal maupun yang menyimpang). Pelaku bisa terancam pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta.

Sayangnya, UU ini belum banyak digunakan. Yang digunakan adalah UU Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016. Pasal 27 Ayat 1 UU mengatur bahwa seseorang yang menyebarkan dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar kesusilaan terancam pidana maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar. Ini hanya menjerat penyebarnya, bukan pembuat atau pelaku.

Islam Hempaskan Sexting

Bagaimana pencegahan sexting? Ideologi sekuler tidak memiliki mekanisme. Mereka tidak akan mampu mencegahnya karena tidak memiliki aturan yang sempurna dan paripurna tentang nizam ijtimak atau tatanan sosial. Sebab, masyarakat liberal adalah masyarakat tanpa tatanan sosial, karena mengagungkan kebebasan. Masyarakat liberal adalah masyarakat yang mengagungkan seks, sehingga sulit memberantas hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan kenikmatan seks.

Berbeda dengan Islam yang sejak awal memiliki perangkat untuk mencegah munculnya sexting. Pertama, Islam mewajibkan menutup aurat di depan lawan jenis. Maka itu, haram hukumnya mengirimkan foto atau video dalam kondisi terbuka auratnya kepada lawan jenis. Kedua, Islam mewajibkan ghadul bashar atau menundukkan pandangan dari aurat atau hal-hal yang membangkitkan syahwat. Ketika menemukan konten porno, bukannya malah menyebarkan tetapi beristighfar dan menghempaskannya.

Ketiga, Islam tidak mengenal budaya seks bebas, sehingga mengharamkan pacaran dan zina sebagai pintu utama maraknya sexting. Pemenuhan kebutuhan seksual hanya boleh melalui jalan pernikahan yang sah, sehingga tidak akan terjadi ancaman penyebaran foto porno pasangan dalam ikatan hubungan tanpa pernikahan. Keempat, Islam menganjurkan suami istri untuk saling menjaga aib, sehingga tidak mengenal budaya sexting meski kepada pasangan sahnya.

Tentunya, sistem Islam juga akan membuat UU pidana untuk menjerat pelaku pembuat maupun penyebar konten seksual dengan cara yang tegas. Inilah pentingnya menghancurkan ideologi sekular dan menegakkan peradaban Islam. Selama sekularisme dengan liberalisme yang mengatur dunia, fenomena sexting akan terus merajalela.(*)

#mediaumat
#stopsexting
#kholdanajiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published.