Breaking News

Demokrasi, Panggung Bergengsi bagi Kaum Pelangi

Spread the love

Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana Muslimah Times)

MuslimahTimes–Jika dulu kita terpesona dan terkagum pada keindahan pendar warna pelangi ciptaan Ilahi, kini mendengar nama itu rasanya tak lagi sama. Sebab, kata “pelangi” kini telah terkonotasi kepada golongan kaum Nabi Luth. Nama itu melekat pada sosok-sosok pencinta sesama jenis serta kaum berjakun namun gemulai. Miris! Beginilah demokrasi, memberi panggung bagi kaum pelangi.

Sebagaimana yang akhir-akhir ini menjadi pemberitaan, Millen Cyrus, berhasil memenangkan kontes transgender pada ajang Miss Queen 2021 yang diselenggarakan di Bali. Ia mengalahkan 17 kontestan lainnya. Berkat kemenangannya tersebut, Millen berhak mengikuti ajang Miss Queen tingkat internasional di Thailand pada tahun 2022 mendatang.

Namun, kemenangan Millen Cyrus tak lantas menuai apresiasi dari masyarakat, yang ada malah cibiran. Banyak masyarakat yang menyayangkan terselenggaranya acara khusus Transpuan ini. Lebih-lebih Indonesia merupakan negeri mayoritas muslim terbesar, tentu saja amat tak layak membiarkan acara semacam itu berlangsung.

Peran Negara Dipertanyakan

Istilah kaum pelangi memang dilekatkan pada mereka yang memiliki orientasi seks menyimpang atau L987 sejak simbol warna pelangi diciptakan oleh seorang seniman sekaligus aktivis gay asal San Fransisco, Gilbert Baker, pada tahun 1978. Dalam perjalanannya, kaum pelangi yang dahulu malu-malu menampakkan dirinya, kini semakin berani bahkan terang-terangan menuntut pengakuan. Komunitas mereka tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Semakin ke sini, eksistensi mereka kian ditampakkan ke publik. Mirisnya, negara seolah turut mensupport keberadaan mereka, salah satu contohnya dengan tidak dilarangnya acara transgender semacam Miss Queen tersebut.

Jika sudah begini, sungguh peran negara dipertanyakan? Mengapa negara membiarkan sesuatu yang merusak moral anak bangsa tetap lestari? Bahkan negara merestui sesuatu yang sudah nyata merupakan bentuk penyimpangan terhadap agama.

Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan yakni Prof Utang Ranuwijaya, yang mengatakan bahwa acara semacam Miss Queen itu semestinya tidak boleh ada di Indonesia, sebab bertentangan dengan agama. Beliau juga kemudian juga menyampaikan bahwa berdasarkan hasil Munas ke-8 tahun 2010, telah dikeluarkan fatwa bahwa mengganti jenis kelamin atau transgender adalah haram. (Republika.co.id, 03-10-2021)

Maka, jelaslah bahwa tetap berlangsungnya acara Miss Queen atau mungkin acara-acara sejenisnya yang tidak terungkap media menunjukkan bahwa negara lemah dalam memproteksi segala bentuk penyimpangan. Hal itu juga kian menegaskan bahwa sistem demokrasi yang diterapkan memberikan ruang bagi berkembangbiaknya kemaksiatan.

Ya, sejatinya demokrasi menjadi payung bagi liberalisme (paham kebebasan). Adapun orientasi seks individu, sekalipun itu menyimpang, akan tetap dilindungi oleh demokrasi atas nama hak asasi manusia. Bahkan berbagai kemudahan regulasi mulai diberikan bagi mereka, seperti e-KTP bagi transgender. Semakin tegaslah bahwa demokrasi adalah sistem yang membawa kerusakan sebab bersumber dari akal manusia yang terbatas.

Transgender dalam Sorotan Islam

Sebagai muslim tentu saja kita wajib menjadikan aturan Islam sebagai satu-satunya rujukan dalam bertindak atau bertingkah laku. Jika masih memperturutkan keinginan hawa nafsu, berarti keimanannya kepada Allah layak dipertanyakan. Islam sudah jelas mengharamkan perilaku seksual menyimpang yang tercakup dalam L687 (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Sebab sejatinya hal tersebut menyalahi kodrat penciptaan manusia.

Allah Swt berfirman:
“Dan, Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan).” (QS Fathir [35]: 11)

Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Yang kemudian dari ijtima (pergaulan) di antara keduanyalah dapat terwujud kelestarian keturunan manusia.

Allah Swt berfirman, “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS an-Nisa [4]: 1)

Maka, kecenderungan seksual terhadap sesama jenis merupakan penyimpangan atas fitrah manusia. Dan tentu saja, tidak akan terwujud kelestarian jenis manusia dari ijtima keduanya. Dengan begitu, jika negara terus membiarkan penyimpangan ini ada, niscaya bukan tak mungkin akan terjadi lost generation di kemudian hari.

Pada masa lalu, Allah telah menurunkan azab kepada kaum Sodom, yakni kaumnya Nabi Luth. Mereka berbuat asusila dengan mendatangi sesama jenisnya. Azab Allah yang ditimpakan atas mereka diabadikan di dalam Al-Qur’an surat Al-A’Raf ayat 84, yang artinya, “Dan Kami turunkan kepada mereka hujan [batu]; maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu,”

Sungguh begitu terlaknatnya perbuatan mereka, sehingga Islam pun memiliki aturan yang tegas terkait penyimpangan seksual tersebut. Khilafah sebagai institusi penerap syariat Islam akan memberlakukan sanksi tegas bagi kaum pelangi. Mereka tak akan diberi panggung selayaknya di dalam sistem demokrasi hari ini. Justru mereka akan dinasihati dan dibina agar kembali kepada kodratnya. Khilafah takkan membiarkan eksistensi mereka tetap lestari, karena mereka akan membawa pengaruh negatif kepada yang lain.

Jika tetap bersikukuh dalam penyimpangannya bahkan sampai melakukan perbuatan zina sesama jenis (gay/homoseksual) , maka Khilafah akan menjatuhkan sanksi liwath kepada mereka, yakni pelaku akan dijatuhkan dari atas bagunan tertinggi di wilayah tempat tinggalnya dengan posisi kepala di bawah.

Adapun bagi transgender, jika ia mengubah jenis kelaminnya karena dia menginginkannya bukan karena faktor alamiah atau medis, misalnya karena sejak lahir berkelamin ganda (dalam Islam dikenal dengan sebutan khuntsa), maka perbuatannya akan menuai sanksi dari negara, yakni ta’zir. Kadar dan jenis sanksinya ditentukan oleh ijtihad khalifah atau qodhi. Sebab mengubah jenis kelamin tanpa alasan syari adalah haram hukumnya. Dan adalah mengada-ngada jika seseorang mengaku terjebak dalam tubuh yang salah, makanya perlu mengubah jenis kelamin lewat jalan operasi. Mana mungkin Allah salah dalam menciptakan makhluknya?

Dengan penerapan sanksi tegas oleh negara, maka takkan ada orang yang berani melakukan penyimpangan terhadap syariat. Negara akan menjadi pihak yang mengawal dengan ketat penerapan syariat Islam secara praktis di tengah masyarakat. Hal tersebut juga sebagai wujud penjagaan negara terhadap akidah umat. Sungguh amat berbeda dengan sistem kehidupan di bawah naungan sistem demokrasi sekuler hari ini, serba bebas tanpa batas. Lantas, masihkah kita nyaman hidup di bawah naungannya sementara syariat Islam kerap diabaikan dan kemaksiatan disajikan tanpa sungkan?