Breaking News

Kitab Suci Dalam Pusaran Demokrasi

Spread the love

Oleh: Ola Ummu Athiyah

(Ibu Rumah Tangga, Makassar)

 

#MuslimahTimes — Akhir Desember tahun kemarin, ada hal yang cukup menggelitik publik di tanah air. Dan semakin menghangatkan suhu politik yang semakin meningkat jelang pemilihan presiden April 2019. Sejumlah orang yang menamakan diri Ikatan Dai Aceh (IDA) mengirimkan surat kepada kedua pasangan calon dalam Pilpres 2019, meminta agar mereka datang ke Aceh untuk diuji kemampuannya membaca Alquran. Dewan Ikatan DAI Aceh mengusulkan adanya tes baca Alquran bagi kedua paslon. Mereka mengundang Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga untuk hadir baca Alquran di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada 15 Januari 2019.

Sekretaris IDA, Teungku Fatahillah membantah organisasi baru muncul untuk “menggoreng” isu agama dalam pilpres. IDA diklaim sudah terbentuk sejak beberapa tahun lalu, tapi memang belum mencuat ke publik. Fatahillah menyebutkan, IDA sudah ada sejak 2016. Awalnya, organisasi ini dibentuk sebagai wadah berkumpulnya para lulusan pesantren di Aceh yang sering berceramah dari masjid ke masjid saat bulan Ramadan.

Mengenai arah politik, Fatahillah menegaskan organisasinya bersikap netral. Permintaan agar calon presiden datang untuk menunjukkan kemampuan membaca Alquran bukan untuk menggemboskan suara. Permintaan itu dicuatkan karena para dai di Aceh merasa perlu menjawab opini yang berkembang di masyarakat soal tes baca Alquran.

“Karena kami di Aceh ada tes baca Alquran untuk caleg dan gubernur. Ada suara-suara dari kawan-kawan, itu presiden perlu kita tes baca Alquran juga,”sebutnya. Fatahillah tidak menganggap undangan uji kemampuan membaca Al-Quran para capres akan memperparah politik identitas yang kental dalam Pilpres 2019. Dia malah menilai, saat ini suasana politik identitas sudah sangat kuat(kumparanNews).

Menurut Ridlwan Habib, peneliti radikalisme dan gerakan Islam, tes baca Al Quran bagi seorang calon pemimpin yang beragama Islam sangat wajar dan sangat demokratis. Sehingga publik makin tahu kualitas calonnya. Apalagi kedua pasangan capres-cawapres sama-sama beragama Islam (tribunnews.com).

Badan PemenanganNasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menilai tes baca tulis Alquran tak perlu dilakukan oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Menurut BPN, yang lebih penting ialah pengamalan nilai kitab suci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara(okezone.com).

Calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, mengatakan, tes baca Alquran untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden dinilai sebagai permainan politik identitas. Sandiaga justru menawarkan untuk berdiskusi tentang ekonomi dibandingkan polemik soal keislaman di antara capres-cawapres. Sandiaga menjelaskan, dirinya bersama Prabowo ingin fokus saja pada pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk mengangkat ekonomi rakyat lewat peluang usaha yang terbuka (KOMPAS.com).

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Hajriyanto Thohari angkat bicara soal usulan tes mengaji dan tulis Alquran bagi calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya syarat dari Komisi Pemilihan Umum sudah cukup, tak perlu ditambah lagi. “Tentu kalau secara pribadi-pribadi silakan dikembangkan bagi seorang calon pemilih untuk menambah persyaratan-persyaratan tertentu. Tapi itu berlaku bagi diri pribadi pemilihmasing-masing bukan lalu harus ditambahkan secara formal dalam bentuk persyaratan-persyaratan yang sebagaimana tercantum dalam UUD dan UU tadi,”pungkasnya.

Sementara itu politisi PDI Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait meyakini, bila test tersebut jadi digelar maka pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma’aruf siap untuk melaksanakannya (Merdeka.com).

 

Buah Sekulerisme

Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, yang notabene jumlah suara pemilih terbesar dari kalangan muslim. Tentu menjadikan identitas agama sebagai alat politik masih cukup relevan dilakukan untuk memenangkan kompetisi pada pilpres 2019. Munculnya wacana tes baca Alquran bagi pasangan capres-cawapres, bisa menjadi peluang untuk menarik simpati pemilih. Dan jika wacana ini betul terlaksana maka hasilnya kemungkinan mampu mendongkrak elektabilitas satu paslon dan menjatuhkan paslon lainnya. Padahal beberapa waktu sebelumnya, ramai seruan dari politisi dan pejabat negara agar tidak membawa-bawa agama ke ranah politik.

Setiap muslim didorong untuk gemar membaca Alquran. Namun harus dilakukan dengan niat yang ikhlas mengharapkan ridha Allah SWT. Bukan sebagai ajang pencitraan untuk menaikkan popularitas. Tapi dari berbagai respon yang muncul dari berbagai kalangan, pada umumnya hanya menyoroti tes membaca tulisan Alquran saja. Belum menyentuh aspek pemahaman apalagi pengamalan Alquran itu sendiri.

Inilah ironi dalam sistem demokrasi. Segala hal yang sekiranya mengandung maslahat atau nilai manfaat, sah-sah saja dieksploitasi demi kepentingan sesaat. Begitupun dengan kitab suci, hanya menjadi alat permainan politik. Untuk memenangi persaingan di satu sisi dan keberadaannya dianggap tidak penting di sisi yang lain. Sama halnya dengan identitas sebagai seorang muslim, hanya tampak dari luarnya saja. Tampil bersahaja dengan balutan baju muslim dilengkapi sarung dan peci. Tapi benak dikungkung oleh pemikiran yang justru berlawanan dengan pakaian “takwa” yang dikenakan. Bahkan kata Islam, tidak sedikit yang penggunaannya hanya untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas dan semisalnya.

Pangkalnya adalah  sekulerism. Sekulerism e(pemisahan agama dengan kehidupan) yang mengakar kuat di seluruh lini, telah mengacaukan tatanan kehidupan, mulai lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Politisi sekuler menjelma menjadi manusia berkepala dua. Di satu sisi mereka mengingkari agama dalam berpolitik, seperti melarang ceramah bernuansa politik baik di masjid, sekolah dan kampus.Dan di sisi yang lain, tanpa malu mereka mengeksploitasi agama demi kepentingan politik  mereka, seperti meminta dukungan ulama, anjang sana ke pesantren, pamer ibadah ataupun yang terakhir uji kefasihan baca Alquran.

Ketika politisi sekuler maupun pejabat negara telah terjebak dalam pusaran pragmatis mepolitik. Maka kepentingan pribadi dan kelompok telah menjadi tujuan utama. Azas manfaat menjadi landasan segala aktifitas politiknya. Sehingga wajar, meskipun rezim berganti belum membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Akhirnya, rakyat jualah yang mendapat ampas setelah diperas suaranya.

 

Alquran SumberHukumTertinggi

Tulisan yang termaktub dalam Alquran tentu bukan sekedar untuk dibaca, apalagi menjadi pajangan semata. Alquran adalah kitab suci yang mengandung petunjuk kehidupan dan hukum-hukum yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia. Jika membaca Alquran adalah sunnah, maka mengamalkan isinya atau berhukum dengan hukum-hukumnya adalah wajib bagi seluruh kaum muslim. Mengamalkannya juga secara totalitas dalam semua aspek kehidupan. Bukan parsial atau pilih mana suka.

Alquran secara global menjelaskan hukum-hukum Allah SWT bagi manusia. Mulai dari akidah, ibadah, akhlak, rumah tangga, ekonomi, hingga pemerintahan dan militer. Hukum-hukum yang dikandung Alquran adalah hukum terbaik bagi manusia. Tidak tertandingi dengan hukum buatan manusia. Banyak ayat yang memerintahkan kaum muslim untuk berhukum dengan Alquran. Allah SWT berfirman:

“Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Ma’idah 5: 49)

Allah SWT menegaskan bahwa sikap seorang muslim ketika diberi keputusan hukum oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah tidak mencari pilihan lain. Ia wajib mematuhi ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Jadi kewajiban berhukum dengan Alquran tidak bisa ditawar lagi. Inilah seharusnya yang menjadi tantangan bagi penguasa dan calon penguasa. Apakah mereka berani menerapkan hukum-hukum Alquran? Bukan sekedar tantangan membaca Alquran.

Alquran diturunkan Allah SWT agar menjadi petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Siapapun yang mengikutinya, niscaya hidupnya akan lurus dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, siapa yang meninggalkannya, maka akan tersesat dan sengsara. Umat harus sadar bahwa sudah saatnya kembali kepada Alquran, sumber hukum tertinggi dan terbaik karena berasal dari pencipta manusia, yaitu Allah SWT. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published.