Breaking News

Konflik Laut Natuna: Dimana NKRI Harga Mati?

Spread the love

Oleh: Nurhayati, S.ST

Muslimahtimes– Macan Asia, itulah gelar yang diberikan kepada Indonesia. Julukan tersebut diberikan kepada Indonesia karena mampu mendorong perkembangan ekonomi di Asia Tenggara. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dengan masuknya investasi asing di negeri ini tampak Indonesia tidak memiliki taring di hadapan negara pemberi utang. Sebut saja serbuan SDA Cina 3 tahun lalu hingga pengerukan SDA besar-besaran.
Yang terbaru adalah memanasnya kondisi Laut Natuna dengan masuknya kapal coast guard dan kapal-kapal nelayan Cina ke Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Natuna Utara yang tidak mendapat respon yang serius dari pemerintah.

Pemerintah Cina (rmol.id, 02/01/2020) melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang mengatakan coast guard atau kapal penjaga pantai Cina sedang menjalankan tugasnya untuk melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan iklan nelayan Cina (traditional fishing right). Geng akan menyelesaikan perselisihan Natuna Utara secara bilateral.
Menanggapi kegiatan tersebut, Hikmahanto Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia menilai  hal tersebut dikarenakan Cina memang tidak menganggap adanya ZEE Indonesia di Natuna Utara.

//Antara Natuna dan Kedaulatan Indonesia//

Konflik Indonesia-Cina di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesungguhnya bukan hal baru. Peristiwa serupa pernah terjadi pada Maret 2016, saat delapan nelayan Cina ditangkap petugas Kapal Pengawas Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Berdasarkan studi identifikasi potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau, tahun 2011, potensi ikan laut Natuna mencapai 504.212,85 ton per tahun. Potensi kedua, terkait dengan kandungan minyak dan gas (migas) yang ada dalamnya. Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok East Natuna mempunyai kandungan volume gas di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan sebesar 46 tcf. Blok tersebut dikembangkan oleh Pertamina bersama ExxonMobil dan PTT Exploration and Production Plc (PTTEP) di dalam satu konsorsium. Tak hanya itu, Kementerian ESDM juga melirik potensi kandungan minyaknya. Potensi minyak di blok itu mencapai 36 juta barel minyak. Namun baru dimanfaatkan sekitar 25 ribu barel minyak (tirto.id, 09/01/2020).

Berdasarkan data di atas, wajarlah asing dan aseng begitu bersikukuh unjuk gigi di perairan Natuna. Namun hal yang harus dipertanyakan adalah kedaulatan NKRI. Mengapa di tengah isu bela negara yang disandingkan dengan isu memerangi radikalisme menguat justru pemerintah melunak di hadapan asing yang berusaha menguasai wilayah Indonesia ini?

Melihat ke belakang, Cina memang habis-habisan menggelontorkan dana utang kepada Indonesia, tercatat berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) periode terbaru, yakni per September 2019 menurut negara pemberi kredit, utang Indonesia yang berasal dari Cina tercatat sebesar 17,75 miliar U$ atau setara dengan Rp 274 T (money.kompas, 4/01/2020).

Sejatinya utang memang menjadi alat penjajahan Barat bagi negara pengutang, hingga menjadikan negara itu tak berdaulat lagi. Kasus Natuna kembali memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mampu menempuh jalan tegas dengan memberikan sanksi kepada kapal Cina saat ini. Para petinggi negeri ini yang tadinya pasang badan terhadap investasi asing kini melemah dan mengatakan mereka adalah negara sahabat. Tentu hal ini menimbulkan kebingungan bagi rakyat, apakah NKRI masih menjadi harga mati seperti kata para tokoh-tokoh yang selama ini mengaku paling pancasilais. ataukah negara ini bisa “ditawar” oleh aseng?

//Pandangan Islam tentang Investasi//

Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini menjadikan negara tidak memili kebebasan mengatur dan mengelola SDAnya. Dengan alasan tidak memiliki modal yang cukup pemerintah mudah saja memberikannya kepada asing. Sehingga imbasnya kepada rakyat, rakyat menjadi penonton di negeri sendiri sebab serbuan TKA meningkatkan angka pengangguran dalam negeri.

Dalam hal investasi asing, Islam telah mengatur penanaman investasi asing secara rinci, salah satunya adalah tidak membuka peluang investasi bagi negara yang berstatus muhariban fi’lan yakni negara yang secara nyata memerangi Islam dan kaum muslimin. Hal ini jelas tidak diperbolehkan. Sebab, bagaimana mungkin negara yang berdasarkan sistem Islam akan menjalin hubungan dengan negara yang nyata-nyata memerangi Islam?

Hal ini kita bisa lihat dari sikap penguasa terhadap tragedi yang menimpa entitas Muslism Uighur beberapa waktu lalu. Pemerintah hanya sekedar mengutuk tanpa ada aksi tegas. Seharusnya Indonesia yang mempunyai kekayaan yang luar biasa yang diberikan oleh Allah menjadi modal utama untuk mencapai kesejahteraan tanpa melibatkan asing.nPos-pos pemasukan negara akan penuh dari hasil kekayaan alam ini yang dapat digunakan untuk kepentingan seluruh warga negara.Karena ini termasuk kepemilikan umum dimana Negara tidak punya kekuasaan di dalamnya terkecuali hanya mengelola untuk kepentingan umat. Jika semua  ini dikelola dan dikembalikan kepada umat maka hak hak umat terkait dengan pemenuhan kebutuhan mendasar akan terpenuhi dengan layak. Bahkan lebih dari itu kesehatan dan pendidikan bukan lagi menjadi barang mahal seperti saat ini.
Seharusnya ini menjadi landasan pokok untuk mengantarkan kita pada kesadaran untuk menjalankan syariat Islam kaffah. Penerapan Islam secara kaffah akan meuntaskan permasalahan yang dihadapi umat saat ini di semua aspek kehidupan. Allah swt., mengingatkan kita dalam QS. Al A’raf (96): “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…”
Waallahu ‘alam bishowwab[].

Leave a Reply

Your email address will not be published.