Breaking News

“No Hijab Day” Konsep Salah Kaprah Tentang Kebebasan Dalam Demokrasi

Spread the love

Oleh. Henyk Nur Widaryanti S. Si., M. Si.

#MuslimahTimes — Hidup dalam kondisi saat ini harus memperkuat iman. Bagaimana tidak? Syetan datang menggoda anak adam dalam segala kondisi, dari berbagai arah. Apalagi dukungan kebebasan selalu dipatri, tak ada yang mampu mengerem setiap kebebasan tentang eksistensi diri. Perlu adanya membran yang kuat untuk menyaring, mana yang benar dan mana yang salah.

Baru-baru ini kita, kaum muslimin kembali diguncang dengan kabar tak mengenakkan. Belum selesai masalah “muslimah tidak wajib pakai jilbab” oleh ibu mantan istri presiden RI-4. Muncul ajakan melepas kerudung oleh salah seorang ustadz dari Medan dalam akun facebooknya. Kini lagi-lagi masalah hijab, melalui fan page Hijrah Indonesia di facebook diadakan sayembara “No Hijab Day”.

Menengok lebih dekat

Apa itu “No Hijab Day”? Sayembara yang dipelopori oleh Yasmine Mohamed ini adalah kampanye hari tanpa hijab. Kampanye ini dirayakan setiap 1 Februari. Dengan mengunggah foto diri tanpa hijab dan menuliskan pengalaman bagaimana melepas hijab serta menambahkan hashtag #NoHijabDay dan #FreeFromHijab bisa langsung ikut sayembara ini.

Dari fan pages tersebut disampaikan beberapa hal alasan diadakannya acara ini. Pertama, maraknya hijabisasi dan niqobisasi beberapa tahun terakhir ini. Kedua, menurutnya tidak semua ulama ke-Islaman setuju dengan hijabisasi. Ada perbedaan dalam memandang aurat wanita. Ketiga, kondisi aktivitas yang berbeda-beda. Keempat, membutuhan vitamin D, terutama yang mendesak.

Penyebab munculnya gerakan ini

Sebuah gerakan yang sebelumnya telah masif di daerah Timur Tengah ini, telah berhasil meyakinkan kaum hawa melepaskan hijabnya. Tak tanggung-tanggung pada tahun 2018 ditemukan video perempuan Timur Tengah yang melepas hijab dan membakarnya. Hal itu digambarkan sebagai terbebasnya kaum perempuan dari kungkungan agama.

Kini fenomena itu telah sampai di negeriĀ  +62. Tidak tanggung-tanggung hal senada juga diusung para tokoh berpengaruh. Sontaklah bisa kita temui banyak muslimah yang akhirnya melepaskan hijab, demi nama kebebasan. Banyak sebab yang mempengaruhi gerakan ini. Diantaranya,

Pertama, lemahnya iman. Kurangnya ilmu membuat keyakinan berhijab menjadi kendor. Ketidakyakinan akan perintah Allah menjadikan hijab hanya sebagai kedok keperluan saja. Sehingga mereka tidak menganggap itu sebagai kewajiban.

Kedua, misi musuh yang terselubung. Gerakan yang tidak hanya di Indonesia saja ini memperlihatkan adanya kekuatan luar yang mendukung. Kekuatan ini berasal dari orang-orang yang membenci Islam. Yang menginginkan umat Islam jauh dari Islam. Sehingga mereka memberikan dukungan sekaligus sokongan biaya dalam kampanye ini.

Ketiga, adannya kebebasan bertingkah-laku. Kebebasan membuat semua orang merasa benar dengan keyakinannya masing-masing. Maksudnya meskipun ia muslim tidak ada kewajiban untuk menutup aurat. Jadi mau pake hijab boleh, tidak pakai pun tak masalah. Setiap orang diberi kebebasan dalam memilih. Meskipun kebebasan itu bertentangan dengan agama.

Keempat, pengaruh faham sekularisme. Prinsip kebebasan tingkah-laku yang didengungkan ini adalah prinsip yang lahir dari pemahaman sekularisme. Yaitu sebuah pemahaman yang memisahkan antara dunia dengan agama. Maknanya, dalam hidup ini kita tak perlu memakai aturan agama. Karena manusia lebih tahu kebutuhannya daripada agama. Termasuk masalah berhijab. Mau berhijab atau tidak hanya manusia yang tahu. Masalah berpakaian semestinya diberikan pada masing-masing. Tak perlu dipaksa.

Demokrasi memberikan angin segar

Tidak bisa dipungkiri sistem pemerintahan negeri ini justru memberikan tangan terbuka bagi gerakan ini. Bagaimana tidak? Pendapat tentang ” No Hijab Day” ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat. Setiap orang diperbolehkan menyampaikan pendapatnya, meskipun itu bertentangan dengan Islam.

Menutup aurat termasuk Hak Asasi Manusia (HAM). Hak dalam bertingkah laku, sehingga setiap orang bebas menentukan pakaian, atau apa saja yang ada pada dirinya. Agama dinilai memaksa dan mengekang kaum hawa. Sehingga aturan kewajiban menutup aurat itu dinilai bertentangan dengan HAM. Jadinya, ketika ada gerakan ajakan tidak berhijab dinilai sejalan dengan HAM. Yaitu hak bertingkah laku.

Selain itu tidak ada aturan yang jelas bagi mereka yang melanggar ajaran agama. Karena aturan yang dipakai adalah aturan manusia, maka akan disesuaikan dengan kebutuhannya. Ajaran agama dinilai bukan sebuah kebutuhan, dan itu adalah hak individu. Maka negara tidak berhak membuat aturan. Sehingga membuka aurat, tidak puasa, tidak solat dll bukanlah tindak kejahatan. Oleh karena itu tidak diberi hukuman. Akibatnya, mereka bebas menyeru kaum muslim meninggalkan agamanya.

Kita tak boleh diam. Jika kita diamkan, hal ini akan menjamur dikalangan masyarakat. Apalagi jika keimanan mereka belum kuat, fenomena melepas hijab akan menjadi bencana besar bagi kaum muslimin. Sebagai individu yang beriman, kita tak boleh diam saja. Seruan-seruan mengenai hukum berhijab syar’i harus semakin masif. Bukan hanya menjadikannya tren, tapi juga menanamkan dalam pemahaman umat muslim saat ini.

Disamping itu, menutup aurat adalah kewajiban semua muslim. Jadi tak mungkin kita sendiri bisa merubah dan menyadarkan seluruh kaum muslimin. Oleh karena itu kita perlu institusi yang mendukung aturan agama. Institusi berasas Islam akan membuat setiap warga muslim taat dengan aturan agamanya. Jika ada yang melanggar, negara ini akan memberikan sanksi. Sehingga ketaatan akan terjaga. Institusi berasas Islam ini tentulah bukan demokrasi. Ia adalah institusi yang dicontohkan Rosulullah dan Khulafaur Rasyidin. Yaitu Khilafah. Wallahu’alam bishowab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.