Breaking News

RUU Perampasan Aset, Mampukah Cegah Korupsi?

Spread the love

Oleh. Rifatun Mahmuda, S.Pd

Muslimahtimes.com– “Jadi kebalik, rakyat merasa terwakilkan oleh pak Mahfud. Lalu, anggota dewan ini mewakili siapa?” ungkap salah satu akun anonim di media sosial. Rakyat merasa terwakilkan oleh Mahfud MD, selaku Ketua Komite TPPU/Menkopolhukam RI, menyoal adanya transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan. Bak bola panas, pembicaraan pada rapat komisi III DPR pada Rabu 29 Maret 2023 lalu terus bergulir sejak awal rapat mulai digelar. Suasana rapat diwarnai dengan banyaknya interupsi para anggota DPR yang menyampaikan penolakan terkait adanya UU Perampasan Aset.

Budaya Korupsi

Kasus korupsi kembali mencuat, baik di kalangan pejabat, anggota dewan, ASN, bahkan dilakukan secara berjamaah. Seperti aksi korupsi yang dilakukan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat dan angota DPR RI Fraksi Nasdem, Ary Egahni Ben Bahat. Pegiat anti korupsi dari PUKAT UGM, Zaenur Rohman, menilai aksi korupsi yang dilakukan keduanya bukanlah modus baru. Zaenur menilai modus yang dilakukan pasangan suami istri itu kerap dilakukan pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya, misalnya seperti penjualan perizinan, menerima suap atau gratifikasi pada pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan pegawai daerah hingga melakukan korupsi anggaran.

Di sisi lain, KPK menetapkan 10 tersangka pada kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (TUKIN) Kementerian ESDM. Penyidik KPK bahkan sudah melakukan penggeledahan rumah para tersangka dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti. Dalam penggeledahan tersebut KPK menemukan setidaknya uang tunai sebesar Rp1,3 miliar.

Dilansir dari Kompas.com, RUU Perampasan Aset kembali menjadi isu panas ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengajukan permohonan khusus kepada Komisi III DPR saat membahas transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp349 triliun. Hal ini Mahfud sampaikan langsung kepada Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wiryanto, namun ditolak. Pihaknya menilai jika itu bukan perintah ketua masing-masing partai politik. Pemerintah memang sudah sejak lama membuat wacana agar RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera dibahas dan disahkan. Hal itu disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo, namun belum jelas pengesahannya hingga saat ini.

RUU Perampasan Aset, Benarkah untuk Kesejahteraan Rakyat?

Dalam sebulan terakhir, begitu banyak terungkap kasus korupsi, flexing hingga data kekayaan fantastis yang dimiliki pegawai pemerintahan hingga transaksi janggal yang ada di tubuh Kemenkeu. Berangkat dari kasus tersebut, muncul urgensi untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. RUU yang sudah dibahas sejak 2006 itu dipercaya bisa merampas aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan.

Yenti Ganarsih selaku Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatakan RUU itu tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta. Namun hingga kini, setelah pembahasan UU Perampasan Aset mencuat di media, belum ada kabar terbaru mengenai kapan akan disahkannya UU Perampasan Aset tersebut. Padahal Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Namun hingga kini belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

Ketidakjelasan terkait kapan pengesahan RUU Perampasan Aset menambah deret daftar ketidakseriusan pemerintah maupun DPR menangani kasus korupsi yang makin hari makin menggila, bahkan berasal dari pemerintahan dan Kementerian. Beberapa pihak bahkan menilai bahwa ketidakjelasan RUU Perampasan Aset karena akan jadi bumerang bagi tubuh pemerintahan dan DPR sendiri. Itulah mengapa, belum disahkannya RUU Perampasan Aset ini menjadi tameng bagi beberapa pihak untuk berlindung dari mekanisme yang ada pada RUU tersebut, berupa dipermudahnya proses pelacakan hingga perampasan aset yang diduga berasal dari kejahatan untuk kembali ke kas negara.

Sebagaimana disampaikan oleh Herdiansyah Hamzah pada Medcom.id, bahwa ketidakjelasan nasib RUU ini mengonfirmasi bahwa presiden dan DPR memang tidak punya komitmen dan keseriusan dalam pemberantasan korupsi sebagaimana yang diharapkan publik, ungkap Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) tersebut. Ia menilai RUU Perampasan Aset yang mangkrak tersebut sengaja ditahan. Padahal pada beberapa waktu tertentu, banyak komitmen dari pihak yang bersangkutan untuk menuntaskan RUU tersebut.

Besarnya Keraguan terhadap RUU Perampasan Aset

Banyak kalangan yang menilai bahwa adanya RUU Perampasan Aset ini tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan rakyat serta tuntasnya kasus korupsi. Faktanya para aparatur negara kita bukan sosok amanah yang mampu menjamin sucinya sebuah kebijakan tanpa ada suap-menyuap serta adanya transaksi materiil. Melihat banyaknya kasus korupsi yang semakin menggurita, timbul pertanyaan apakah pengesahan RUU Perampasan Aset ini mampu mencegah korupsi?

Maraknya korupsi di negara ini sejatinya karena individu tidak memiliki landasan yang benar dalam hidupnya. Manusia hidup dalam nuansa hawa nafsu yang terus dipelihara atas nama kebebesan, karena sekularisme atai pemisahan agama dari kehidupan melahirkan individu-individu yang rakus harta dan kekuasaan. Tidak lagi memikirkan halal dan haram dalam memperolehnya.

Begitupun para pemegang kekuasaan yang berkuasa bukan semata untuk tujuan mengurus rakyat. Banyak di antaranya yang hendak memperkaya diri, yang mana ini terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang terjadi dan tak jarang melibatkan para pejabat. Mereka menjadikan politik dan kepentingan rakyat sebagai bisnis untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Kekuasaan yang dimiliki hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi membangun dinasti politik keluarga atau nepotisme untuk ladang bisnis dan meraup untung sebanyak-banyaknya. Namun yang paling miris adalah bahwa hukuman bagi mereka yang korupsi tidak sebanding dengan perbuatannya mengambil hak rakyat untuk kepentingan pribadi.

Terkait pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wiryanto yang mengatakan bahwa pihaknya tidak akan bergerak hingga ada keputusan dari ketua masing-masing partai politik menjadi bukti nyata ketidakberpihakan lembaga legislatif dalam agenda pemberantasan korupsi. Bahkan korupsi yang semakin menggurita dan tumbuh subur di tubuh pemerintahan dan DPR nampaknya memang tidak akan berkurang. Pasalnya pemberantasannya tidak dilakukan secara menyeluruh. Banyak kemudian pihak yang meragukan adanya RUU Perampasan Aset, apakah efektif memberantas korupsi di negara ini?

Sistem demokrasi yang dianut negeri ini lahir dari rahim sekularisme kapitalisme yaitu paham yang asasnya adalah manfaat. Menunjukkan keberpihakan para pemangku kebijakan bukan pada kepentingan bangsa dan negara melainkan hanya berdasarkan kepentingan elit politik. Hidup dalam lingkaran kapitalisme membuat rakyat semakin tidak berdaya sedangkan para pemangku kebijakan semakin jumawa dalam menentukan nasib rakyat. Keraguan masyarakat terhadap RUU baru ini membuktikan pejabat di tubuh pemerintahan bukan pemimpin yang amanah, berkepribadian Islam dan jauh dari sosok teladan bagi umat. Sebab sistem yang dianut adalah sekuler kapitalisme yaitu paham yang menjauhkan peran agama dari kehidupan. Sehingga muncul gaya hidup liberalis dan hedonis yang membuat para pemegang kekuasaan menjadi serakah dan jauh dari Islam. Serta ilusi yang ditawarkan pemerintah melalui produk hukum yang tidak sesuai dengan syariat membuat pemberantasan korupsi tidak maksimal.

Islam Menyolusi Permasalahan Korupsi secara Tuntas

Berbeda dengan Islam yang memiliki solusi yang kaffah atau menyeluruh. Mulai dari penanaman akidah yang kuat hingga sistem sanksi yang tegas. Maka, penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan adalah pilihan terbaik bagi negeri ini. Baik dari sisi pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif). Seperti rekrutmen SDM aparat yang berasaskan profesionalisme dan integritas, bukan berdasarkan koneksi atau nepotisme.

Dalam pemerintahan Islam, para aparatur negara wajib memiliki kapabilitas dan berkepribadian Islam. Kemudian negara wajib melakukan pembinaan kepada para aparat dan pegawainya. Selanjutnya melakukan pengecekan secara berkala pada harta dan kepemilikan para aparatur negara untuk menghindari adanya tindak kejahatan seperti korupsi, pencucian uang maupun penggelapan dana. Hal itu pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan. Tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara.

Dalam aspek kuratif, penegakkan sanksi hukum Islam adalah langkah terakhir jika masih terjadi pelanggaran seperti korupsi. Sistem sanksi yang tegas memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan berefek jera). Sebagai jawabir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia. Begitulah seharusnya pemerintah menerapkan hukum berasaskan pada syariat Islam. Sebab hanya Islam yang mampu memberantas korupsi secara tuntas dan menyeluruh melalui penerapan sistem politik Islam, yakni Khilafah Islamiyyah.