Breaking News

Seruan Benci Produk Asing Hanya Basa-Basi?

Spread the love

Oleh.Hana Annisa Afriliani, S.S

Muslimahtimes– Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyerukan agar masyarakat Indonesia membenci produk asing dan tak loyal dalam membelinya. Bahkan beliau menghimbau agar produk-produk asing ditempatkan di tempat yang sepi pembeli.

Sebagaimana dilansir oleh Tempo.co (04-03-2021), presiden meminta Kementrian Perdagangan agar bersungguh-sungguh dalam mengembangkan produk-produk lokal. Beliau mengharapkan agar pusat-pusat perbelanjaan memberikan  ruang bagi produk-produk lokal, khususnya UMKM. Bahkan Jokowi mendorong UMKM untuk terus memperbesar ekspor, karena selama ini tingkat ekspor yang dilakukan UMKM hanya 13 persen.

Sayangnya seruan untuk membenci produk asing tersebut hanyalah retorika politik belaka. Karena fakta yang terjadi justru sebaliknya. Sebagaimana diberitakan oleh CNNIndonesia.com (04-03-2021)  bahwa dalam waktu dekat pemerintah akan membuka keran impor beras sebanyak 1-1.5 ton. Mirisnya impor beras tersebut dilakukan saat petani lokal panen raya. Bukankah sama saja itu membunuh para petani lokal?

Lantas, dimanakah seruan itu berpijak sementara kenyataannya menegasikan semuanya? Beginilah potret buram sistem kapitalisme-demokrasi, senantiasa berbasa-basi politik demi melanggengkan kuasa dan mempercantik citra. Di satu sisi pemerintah menyerukan benci produk asing, tapi di sisi lain gencar membuka keran impor. Padahal sangat nyata bahwa impor, terlebih untuk komoditas kebutuhan primer rakyat, dapat mematikan perekonomian masyarakat. Membanjirnya produk-produk impor juga membuat kedaulatan negeri ini terbelenggu oleh negara pengimpor. Negeri ini akan mudah didikte oleh asing dalam urusan kebijakan
dalam negerinya. Sungguh memprihatinkan.

Kebijakan impor yang massif ini merupakan implementasi dari sistem ekonomi neoliberal di negeri ini. Pada prinsipnya, ekonomi neolib melarang adanya intervensi negara dalam perekonomian. Akhirnya, berlakulah perdagangan bebas dan pasar bebas. Negeri ini terjerat perjanjian di bawah naungan World Trade Organization (WTO). Indonesia ‘dipaksa’ membuka pasar bagi negara-negara yang tergabung di dalam organisasi tersebut.

Islam tak melarang suatu negara melakukan impor, karena memang adakalanya negara tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya, maka butuh melakukan impor. Meski demikian, negara dalam sistem Islam tidak begitu saja membuka keran impor tanpa batas, melainkan akan membatasi hanya pada produk-produk yang dibutuhkan saja dan belum tersedia di dalam negeri.

Sungguh berkebalikan dengan sistem kapitalisme demokrasi hari ini, impor dilakukan justru pada produk-produk yang sebetulnya di dalam negeri pun tersedia bahkan stoknya melimpah. Maka, wajar jika akhirnya muncul anggapan bahwa pemerintah lebih berpihak pada para kapitalis ketimbang rakyat sendiri. Betapa tidak, seringkali kita dihadapkan pada fakta membanjirnya produk impor, sementara produk lokal tenggelam di negeri sendiri. Masih ingatkah kita dengan timbunan 20 ribu ton beras di Bulog yang membusuk dan terpaksa harus dibuang karena tidak terdistribuskan kepada rakyat? Hal tersebut tentu saja tidak akan pernah terjadi jika saja pemerintah tak memuluskan para pemain kartel.

Dalam sistem Islam, negara akan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tak akan membuka keran impor jika justru hal tersebut malah mematikan perekonomian dalam negeri. Terlebih lagi, negara dalam sistem Islam haram hukumnya menjalin kerjasama perdagangan dengan negara-negara yang memerangi Islam secara nyata (kafir harbi fi’lan), seperti Cina, Israel, dan AS.

Sebaliknya negara justru akan mendorong berkembangnya produk-produk lokal. Karena dalam Islam kemandirian negara adalah hal yang harus diwujudkan.

Dengan demikian, layak dikatakan bahwa seruan benci produk asing hanyalah basa-basi politik saja. Tak tercermin dalam implementasi. Sudah saatnya umat menyadari bahwa sistem kapitalisme demokrasi senantiasa mengelabui, tak benar-benar sejati mengurusi.  Maka sudah selayaknya kita menyadari untuk kembali pada habitat kehidupan kita yang sejati, yakni dalam naungan Khilafah Islamiyah. Wallahu’alam.