Breaking News

Tes Wawasan Kebangsaan, Antara Korupsi dan Radikal

Spread the love

Oleh : Norma Sari

 

#MuslimahTimes — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, 75 orang dinyatakan tidak memenuhi syarat setelah mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Menurutnya, tes tersebut diikuti oleh 1.351 pegawai KPK untuk proses alih status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara (ASN). ”Yang tidak memenuhi syarat 75 orang atau TMS, pegawai yang tidak hadir sebanyak 2 orang,” ucap Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/5/2021). Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga termasuk dalam 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.

 

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan pada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun juga menjadi kontroversi. Hal ini disebabkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dianggap bertujuan “menjegal” para pegawai senior KPK dan dinilai tidak ada kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Salah seorang pegawai KPK mengatakan sejumlah soal dalam TWK didominasi pertanyaan tentang radikalisme. Dia mengatakan contoh-contoh pertanyaan tersebut seperti seputar FP1, HT1, hingga L68T. Topik doa qunut dan menikah beda agama juga masuk dalam pertanyaan.

 

Menanggapi hal itu, akademisi hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril tidak melihat adanya relevansi antara soal TWK dengan kompetensi jabatan yang diemban oleh staf KPK. Karenanya, ia meminta agar pimpinan KPK mengklarifikasi soal-soal itu. Menurutnya, hal semacam itu menimbulkan banyak dugaan bahwa tes tersebut digunakan untuk menyeleksi ulang pegawai KPK. Padahal, perintah undang-undang adalah pengalihan, bukan seleksi ulang. Oce menuturkan, pegawai KPK sudah melalui proses seleksi yang cukup ketat, sehingga hanya perlu pengalihan status. Artinya, mereka sudah dianggap layak menjadi ASN. Ia menyebut perubahan hukum suatu lembaga tidak boleh merugikan orang yang sudah berada di dalamnya.

 

Upaya pelemahan KPK telah lama dilakukan. Selain melalui isu radikalisme, pelemahan KPK juga ditempuh dengan pencabutan wewenang KPK. Padahal, korupsi merupakan persoalan akut di negeri ini. Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37. Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara. Kerugian negara yang diakibatkan korupsi amatlah besar. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi pada tahun 2020 mencapai Rp56,7 triliun.

 

Ketika yang menjadi persoalan besar dan mengancam negara adalah korupsi, lantas mengapa yang disorot dan dipermasalahkan adalah radikalisme? Lebih lagi, pihak-pihak yang dituduh radikal tersebut dikenal sebagai figur yang bersih dari indikasi korupsi. Justru pihak yang suka menuding radikal itulah yang kemudian menjadi tersangkanya. Selama ini, narasi radikalisme diembuskan untuk menutupi kegagalan sistem dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, seperti korupsi, kegagalan ekonomi, kerusakan moral, disintegrasi bangsa, dan lain-lain. Radikalisme terus dijadikan kambing hitam atas semua kerusakan kehidupan akibat penerapan sistem kapitalisme. Isu radikalisme juga digunakan sebagai alat untuk menggebuk pihak-pihak yang kritis terhadap penguasa.

 

Istilah radikalisme yang marak beberapa tahun belakangan ini, sering disematkan pada orang-orang dengan kriteria tertentu, kerap kali bersifat lentur bagai karet, bias, pun sangat subjektif. Definisi radikalisme sendiri tidak ditetapkan secara tegas, sehingga akhirnya bola liar radikalisme mengenai siapa saja yang dianggap berseberangan dengan penguasa, terutama kalangan Islam. Berbagai upaya dilakukan rezim untuk menjaring orang yang dianggap radikal. Kebijakan-kebijakan kontra radikalisme yang dijalankan penguasa merupakan bagian dari agenda global perang melawan radikalisme yang dikomandani oleh Amerika Serikat sebagai kelanjutan dari perang melawan terorisme. Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pidato di hadapan para pemimpin dari 55 negara muslim dalam pertemuan di Riyadh, Arab Saudi, menyerukan kepada negara-negara Islam untuk memimpin upaya memerangi radikalisme.

 

Barat menuduh Islam sebagai “ideologi setan” yang menciptakan tindakan teror. Padahal, justru infiltrasi negara-negara Barat imperialis ke dalam negeri-negeri muslimlah yang menciptakan konflik dan perang berkepanjangan. Pada akhirnya, perang melawan radikalisme adalah perang melawan Islam. Maka, yang dituding radikal adalah pihak-pihak yang berpihak pada Islam ideologis dan yang mendakwahkan Islam kafah. Narasi radikal-radikul ini akan terus digoreng oleh politisi sekuler liberal dan para buzzer-nya di media sosial.

 

Islam ideologis akan selalu menjadi tertuduh karena hakikatnya ini adalah perang ideologi. Padahal, ideologi Islam adalah solusi atas berbagai persoalan negara yang gagal diselesaikan rezim dan sistem saat ini. Oleh sebab itu, kita harus memiliki keberpihakan, memilih untuk membela ideologi Islam atau membela kapitalisme? Mendukung penerapan Islam kafah ataukah mendukung sekularisme yang rusak dan merusak?. Keberpihakan tersebut akan kita pertanggungjawabkan di pengadilan Allah Swt. Kelak. Yakinlah, dukungan kita pada Islam akan menempatkan kita berada di barisan para nabi, rasul, dan ulama. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.” (QS An-Nisa: 135). Wallahu a’lam bishshawwab.[]