Breaking News

Bisakah Move on dari Pajak ?

Spread the love

Oleh: Ita Husnawati
(Pendidik dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Muslimahtimes.com–Orang bijak taat pajak, sepertinya slogan ini perlu diubah menjadi: “Negara bijak, tak pungut pajak, kecuali jika darurat, Negara dan rakyat wajib taat syariat”. Rasanya jarang mendapati informasi yang isinya pajak diturunkan atau dihapus. Lalu bisakah kita ‘move on’ dari pajak?

Fakta Kenaikan PPN

Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) naik menjadi 12 persen yang akan berlaku paling lambat mulai 1 Januari 2025. Sebelumnya, tarif PPN sebesar 10 persen telah diubah menjadi 11 persen dan berlaku mulai 1 April 2022, berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, baru-baru ini mengungkapkan bahwa masyarakat telah memilih untuk mendukung keberlanjutan program yang dicanangkan pemerintah, termasuk kebijakan kenaikan tarif PPN. (tirto.id, 08/03/2024)

Ketentuan kenaikan pajak ini adalah fakta yang menambah deretan beban hidup masyarakat, setelah terjadinya kenaikan-kenaikan tarif lain seperti tol, listrik, dan harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Kenaikan PPN akan memengaruhi harga suatu produk, karena para pengusaha tidak ingin rugi, maka biasanya PPN akan dibebankan kepada konsumen, sehingga barang yang dibeli masyarakat akan meningkat harganya. Coba perhatikan struk belanja di swalayan, maka akan terlihat bahwa pembelanjaan kita termasuk pembayaran biaya PPN.

Aneka Jenis Pajak

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hanyalah salah satu jenis pajak, sedangkan di Indonesia saat ini begitu banyak jenis pajak yang harus dibayar, diantaranya pajak bumi dan bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Semua ini merupakan pajak yang dipungut pemerintah pusat. Adapun pajak daerah, ada yang dipugut pemerintah daerah tingkat provinsi, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Sedangkan tingkat kabupaten memungut Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. (www.hipajak.id, 2024)

Pajak konsumsi (makan minum) ketentuannya mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 pasal 1 ayat 6 huruf aj yang menyebutkan bahwa jasa boga atau katering termasuk dalam jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. Sehingga bendahara diwajibkan untuk memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah jasa boga atau katering. Namun, jika tidak memiliki NPWP, maka besaran yang harus dipotong mencapai 4% dari jumlah jasa boga atau katering. Jika pembelian makanan dilakukan di toko atau restoran, maka akan dikenakan pajak restoran sebesar 10% secara langsung. (www.online-pajak.com, 21/11/2023)

Pajak dalam Sistem Kapitalis

Dalam sistem kapitalis, hampir semua bidang menjadi objek pajak. Selain itu kenaikan tarif pajak sering terjadi, karena sistem ekonomi kapitalis menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara, bahkan sumber utama. Sayangnya pendapatan negara dari sektor pajak ini pun rawan dikorupsi, sehingga hasilnya tidak sesuai target. Alhasil kenaikan pajak dijadikan solusi pragmatis.

Tidak seharusnya pajak dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara, karena sebenarnya negara Indonesia memiliki berbagai sumber kekayaan, diantaranya adalah sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Namun sayangnya sumber-sumber vital itu malah diserahkan kepada swasta, bahkan investor asing. Sehingga sulit sekali negara ini move on dari persoalan pendapatan negara, ujung-ujungnya pajak tetap menjadi andalan.

Pajak dalam Sistem Islam

Mungkin sebagian dari kita ada yang bertanya, adakah pajak dalam Islam?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu diperhatikan berbagai sumber pendapatan negara dalam sistem Islam. Lembaga keuangan negara dalam Islam disebut Baitulmal. Sumber-sumber pendapatanya di antaranya: barang tambang dan harta terpendam, jizyah, kharaj, usyur, zakat, ghanimah dan fai serta harta warisan yang tidak ada pewarisnya.

Barang tambang merupakan sumber daya alam yang wajib dikelola dengan baik oleh negara untuk kepentingan umat, haram diserahkan kepada pihak swasta, apalagi asing atas nama apapun, sehingga hasilnya bisa digunakan untuk memenuhi hajat hidup masyarakat, di antaranya pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Semua pendapatan negara dikelola di Baitulmal, didistribusikan sesuai dengan yang seharusnya untuk kesejahteraan umat. Sedangkan zakat hanya didistribusikan untuk 8 (delapan) golongan sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 60. Dari sisi prosentasenya, zakat tidak pernah mengalami perubahan, karena sudah ditetapkan dalam syariat, petugas zakat pun diharamkan menerima suap.

Dalam sistem Islam, pajak hanya dipungut ketika kondisi kas negara (Baitulmal) sedang kosong dan tidak ada alternatif lain. Dalam kondisi demikian, barulah pajak dipungut dan hanya dari aghnia (orang kaya) saja. Itu pun sifatnya sementara, ketika baitul maal sudah stabil, maka pajak dihentikan. Jadi hanya dengan menerapkan sistem Islam, kita bisa move on dari pajak. Tidak akan ada pungutan pajak selama kas negara masih terpenuhi dari berbagai sumber yang tersedia dan dikelola dengan baik dan amanah. Saatnya kembali kepada sistem Islam yang rahmatan lil alamiin, menghantarkan kebahagiaan dunia, hingga kebahagiaan abadi di akhirat. Wallahu Alam []