Breaking News

Caleg Zaman Now: Menang Siap, Kalah Gagap

Spread the love

Oleh. Keni Rahayu

Muslimahtimes.com–Pemilu 2024 telah usai. Mungkin, perjuangan bagi rakyat telah selesai. Namun, masih banyak peserta pemilu yang harap-harap cemas menanti pengumuman resmi KPU. Di lapangan, tak sedikit yang terus mengikuti perkembangan quick count. Sebut saja para caleg sekaligus timsesnya.

Halusinasi dan Mental Anak Kecil

Beragam berita tentang caleg, muncul dari banyak daerah di Indonesia. Ada caleg yang menarik kembali paving yang disumbangkan saat menjelang pemilu (Kompas.com, 19/2/24). Ada timses yang mulai susah tidur dan berhalusinasi. Akhirnya ia pergi ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan kesehatan jiwa (Suara.com, 20/2/24). Ada seorang caleg menarik kembali serangan fajar setelah pemilu (tvonenews.com, 17/2/24). Semua hal di atas sebab suara caleg kecil, alias kalah. Ada pula di Donggala, seorang caleg membongkar kuburan sebab warga sekitar tak memilihnya di Pileg 2024 (Tempo.co, 20/2/24).

Tak kalah menghebohkan, sebuah video viral di TikTok mengisahkan caleg yang diduga stres karena kalah pemilu. Ia berhalusinasi memakai setelan jas dan berkeliling kota. Katanya, ia akan dilantik pagi ini di kantor sebab telah memenangkan pemilu. Keluarganya menangis histeris memintanya sadar. Sang istri beristigfar dan menenangkan suami. (trends.tribunnews.com, 26/2/24)

Inilah rupa pemilu kita. Calon penguasa tetapi tak matang dengan dirinya sendiri. Apakah mungkin tak paham tentang makna “amanah” itu sendiri, sampai harus suara rakyat mereka “beli”? Di sisi lain, kekalahan membuat mereka berhalusinasi. “Harusnya menang, nih”, iya seharusnya. Tetapi bagaimana kenyataannya?

Mungkin kita sering bilang ke anak kecil yang sedang berlomba. “Namanya perlombaan, ada menang ada pula kalah. Semuanya keren, Nak. Kamu sudah mengalahkan dirimu sendiri.” Tetapi, ketika dijalani sendiri ternyata sulit. Apakah mental anak-anak masih terperangkap dalam jasad orang dewasa yang tak pernah matang pendidikannya? Siap jika menang, tapi gagap saat kalah.

Saya jadi ingat dalam sebuah kitab Nizomul Islam karya Al allamah Taqiyuddin An-Nabhani. Beliau menjelaskan tentang konsep berpikir. Pemikiran itu unsurnya empat: fakta, alat indra, otak dan informasi. Beliau menarasikan seorang anak kecil tidak akan mengerti bedanya batu dan emas. Bahkan, anak yang sama jika ia  beranjak dewasa (berusia dua puluhan tahun) akan tetap tidak mengerti bedanya batu dan emas jika tidak ada informasi apa pun yang masuk ke otaknya. Meski ukuran otak telah berkembang jauh lebih besar daripada bayi. Tapi otak hanyalah otak, alat bantu berpikir dan gerak kerja tubuh. Tanpa ada informasi, otak manusia sama fungsinya dengan hewan. Yaitu untuk menggerakkan anggota tubuh dan sebagainya. Maka, perbedaan itu hanya jika manusia mendapat input informasi dan menafsirkan fakta sesuai informasi yang benar. Itulah sejatinya proses berpikir, yang membedakan manusia dengan hewan.

Produk Pendidikan yang Gagal

Saya tidak bermaksud menyalahkan personal si caleg, justru saya berempati. Para caleg tersebut adalah produk sistem pendidikan sekular hari ini, dimana agama dipisahkan dari kehidupan. Sebagaimana kita yakini, manusia tanpa agama akan buta. Maka, itulah yang bisa kita lihat dari para calon pemimpin kita ini. Mereka tidak lagi bisa membedakan benar salah, asal tujuan tercapai. Mau serangan fajar, sogokan semen, atau pavingisasi jalan umum, ya tak apa namanya juga usaha. Terlepas bahwa itu semua sejatinya mendidik rakyat berlaku curang.

Beratnya Hidup

Kondisi ini bisa jadi pelajaran juga untuk kita bahwa betapa berat kehidupan hari ini. Menjadi penguasa bak menyendok emas ke dalam mulut kita dan keluarga. Hidup seolah terjamin. Pengakuan masyarakat, jangan ditanya. Penguasa. Hal inilah yang diidam-idamkan jamak manusia. Sehingga, rakyat berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi caleg. Kemenangan seolah jadi jalan menyambut kesejahteraan.

Pemilu Berbiaya Tinggi

Bukan rahasia lagi, bahwa untuk mengantarkan seorang caleg memenangkan Pemilu dibutuhkan biaya yang sangat besar. Versi jujur saja, caleg butuh akomodasi untuk jalan ke sana dan kemari menyampaikan visi dan mengumpulkan aspirasi. Belum lagi baliho dan tim sukses. Tanpa itu semua? Mungkin saja sih, tapi apakah bisa menang? Butuh dikenal untuk dipilih banyak orang.

Versi tidak jujur? Ya sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya, serangan fajar bukan hal baru dalam Pemilu. Iya, kan? Memperbagus jalan, tes kesehatan gratis, susu dan sembako gratis sebenarnya adalah sogokan untuk membeli suara rakyat, kan? Bayangkan, berapa nominal yang dibutuhkan untuk seorang caleg hingga ia berhasil berlenggang sampai Senayan?

Pemilu dalam Islam

Dalam Islam, pemilu dalam sistem kepemimpinan Islam adalah satu hal yang mubah. Pemilu adalah salah satu wasilah untuk rakyat memilih pemimpin atau majelis umat. Konsepnya sangat sederhana dan praktis. Nuansa yang terbangun adalah fastabiqul khayrat (Al-Baqarah: 148). Semua berlomba-lomba menjadi yang terbaik.

Rakyat telah terdidik dengan sistem pendidikan Islam, sehingga matang akidah dan terbangun kesadarannya akan dakwah. Mereka paham bahwa menjadi pemimpin umat adalah amanah, bertanggung jawab langsung di hadapan Allah subhanahuwataala. Mereka adalah yang terbaik di antara yang terbaik, sebab semua rakyat memiliki kepribadian Islam. Visi misinya adalah memperjuangkan rida Allah melalui penerapan syariat Islam dalam seluruh aktivitas individu, rakyat, dan negara. Pemimpin dalam Islam adalah pelayanan rakyat, bukan sebaliknya. Ini semua manifestasi dari surat Al-Baqarah ayat 30.

Sungguh berbanding 180 derajat, bagaimana politik demokrasi hari ini. Sudah rakyat tak paham, penguasa nakal pula. Rakyat cukup diajak joget dan diiming-imingi makan siang gratis, sudah tergoda. Peduli apa lima tahun mendatang, yang penting besok bisa makan. Dan, DOR! Harga beras hari ini melangit diikuti kebutuhan pokok yang lain. Selamat tinggal kesejahteraan umat.