Breaking News

Demi Pendapatan Akidah Tergadaikan

Spread the love

Oleh: Rut  Sri Wahyuningsih

Muslimahtimes– Berbicara tentang pariwisata, tentu yang akan teringat adalah tempat-tempat yang indah untuk rekreasi,  piknik menikmati indahnya alam dalam sehari atau dua hari. Tempat-tempat itu selain menawarkan pemandangan yang indah juga khusus  menyajikan pelayanan istimewa baik tempat bermain, berolahraga menyalurkan hobi walau maupun sekedar untuk duduk-duduk menikmati.

Rehat sehari dua biasanya digunakan mereka yang selama ini disibukkan dengan rutinitas bekerja dan lain sebagainya. Agar suasana hati dan pikiran berganti menjadi segar dan bersemangat lagi.

Namun hari ini pariwisata ternyata memiliki nilai lebih, tidak lagi sekedar sarana untuk rehat sejenak, tetapi bisa dijadikan sebagai solusi dan kunci memperbaiki ekonomi. Bahkan menjadi sumber pendapatan  daerah. Hal ini sejalan dengan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah pusat  disetiap daerah, yaitu otonomi daerah. Padahal setiap daerah tidak memiliki potensi yang sama.

Pemerintah daerah tidak akan selalu mendapat guyuran dana operasional pemeliharaan daerahnya dari pusat. Melainkan didorong untuk menggali dan mendapatkan dari daerahnya sendiri. Dan sejak itulah pariwisata memiliki nilai lebih sebagai sumber pendapatan yang tidak terpengaruh oleh cuaca ataupun isu politik.

Alhasil setiap daerah berlomba-lomba menggali budaya dan pariwisata baru ataupun lama di setiap daerahnya guna menghasilkan pendapatan maksimal. Jika tidak maka akan kesulitan membiayai operasional daerahnya. Hingga terkadang tak lagi masuk di akal apa yang mereka jadikan sebagai pariwisata.

Pembukaan lahan baru, yang tadinya berupa hutan kecil paru-paru kota berubah menjadi tempat wisata yang memaksa pepohonan dihilangkan, sungai dieksplorasi hingga ekosistem didalamnya terganggu, dan lain-lain .

Itu adalah keharusan. Sebab jika mengubah suatu tempat menjadi tempat wisata tidak mungkin hanya dengan sarana dan prasarana seadanya. Standarnya adalah apa yang ditetapkan oleh PBB dalam hal ini adalah UNESCO. Maka dibangunlah hotel, bar, lounge, areal bermain, kuliner, tempat massage dan lain sebagainya sebagai bentuk pelayanan kepada para wisatawan. Sesuai standar barat bukankah ini artinya kita didikte oleh orang kafir?

Kemudian jika daerah tersebut minim cagar budaya alam, maka budaya lokal  yang seringkali berkaitan erat dengan klenik, syirik dan kepercayaan nenek moyang akan diupgrade, menjadi apa yang mereka sebut kearifan lokal mendukung pariwisata. Dan cukup berhasil, daerah Banyuwangi misalnya, yang berhasil menghidupkan kembali budaya animisme dan dinamisme masyarakatnya sebagai daya tarik wisatawan.

Seakan tak peduli dengan resiko yang ditimbulkan akibat pencanangan pariwisata sebagai jalan meraih pendapatan. Baik itu dari sisi manfaat manusiawi maupun ekosistem. Sedikitnya 6 orang mengalami kesurupan dan 70 orang lainnya jatuh pingsan saat mengikuti tari umbul kolosal di waduk Jatigede kabupaten Sumedang Jawa barat.

Adanya penari yang mengalami kesurupan ini menjadi pusat perhatian pengunjung di sekitar lokasi. Tari umbul sendiri merupakan seni tari tradisi khas Kabupaten Sumedang yang telah ada sejak ratusan tahun silam (KOMPAS.com, 31/12/2019).

Ironi, kesurupan justru dijadikan daya tarik bagi wisatawan. Mengapa perbuatan syirik yang  jelas-jelas bertentangan dengan syariat Allah dipertahankan bahkan dijadikan komoditi? sebab, di era kapitalis tidak ada urusannya dengan aturan main, apakah  aturan yang berasal dari kejeniusan manusia untuk mengatur urusannya.  Ataukah dari Wahyu Allah SWT, sepanjang itu memberikan manfaat material maka akan dipertahankan.

Bukti lain, yang menunjukkan bahwa ekonomi kita diatur oleh kapitalisme adalah pernyataan staf ahli menteri PPN bidang sinergi ekonomi dan pembiayaan Amalia adininggar Widya yang menganggap sektor pariwisata adalah sangat potensial untuk menjadi kunci dan solusi dalam menghadapi dampak ekonomi akibat perang dagang yang memanas antara Amerika serikat dan China.

Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, sektor pariwisata dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara. Amelia menjelaskan kalau salah satu “jalan pintas” yang bisa digunakan untuk menyelamatkan devisa negara adalah lewat sektor pariwisata.

Bahkan Amelia menambahkan,”industri pariwisata tidak terpengaruh oleh para pedagang meski sedang terjadi perang dagang orang-orang tetap berwisata. Yang penting seberapa besar dana yang dihabiskan oleh wisatawan yang datang ke Indonesia dan ini lah yang berdampak pada peningkatan produk domestik bruto (PDB),” jelasnya lagi (monitorday.com, 29/6/2019).

Jelas kapitalisme yang hari ini menjadi aturan ber ekonomi suatu bangsa, kemudian diratifikasi oleh daerah memunculkan materi semata yang menjadi nyawanya. Dan pandangan  inilah yang melemahkan aqidah sebagai kunci kekuatan umat. Jadilah  mayoritas penduduk negeri ini  memeluk Islam namun tetap menghalalkan segala cara dalam mendapatkan rezeki dan menganggap ada kekuatan yang lain selain Allah subhanahu wa ta’ala. Syirik dan tahayul menjadi kebiasaan.

Pariwisata sendiri sejatinya mengokohkan penjajahan. Sebab pariwisata mengalihkan fokus pembangunan hanya pada aspek non strategis.  Bahkan menyesatkan opini publik dengan menganggap pembangunan pariwisata bisa menghadapi kesulitan ekonomi akibat perang dagang Cina-AS.

Sungguh narasi yang tidak masuk akal di mana seharusnya kita kritis terhadap kebijakan pariwisata ini sebab pariwisata hanya mengeruk sebagian kecil dari kekayaan alam yang bersumber dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sementara kekayaan yang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak yang semestinya dikelola oleh negara, menjadi lahan jajahan mereka.

Para korporasi itulah yang akhirnya menikmati kekayaan alam Indonesia yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia namun karena terlena dengan pariwisata kita rela didikte penjajah agar mereka leluasa mengeruk kekayaan strategis negeri ini.

Maka tak ada jalan lain selain mengembalikan pengelolaan ekonomi negeri ini melalui jalan yang benar sebab hari ini ini Indonesia sedang berada dalam situasi salah urus tidak hanya dalam bidang ekonomi tapi seluruh lini kehidupan masyarakat.

Kesengsaraan akan terus dihadapi lebih buruknya kehancuran Indonesia sebagai negara yang berdaulat semakin tampak nyata di hadapan para penjajah kapitalis.  Saatnya kembali dalam pengaturan sang pemilik alam semesta dan sumber daya alam yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Syariatnya akan mendatangkan kesejahteraan yang tiada bandingnya. Telah terbukti oleh para khalifah terdahulu dimana mereka hanya menerapkan satu peraturan dalam mengurusi urusan umat yaitu syariat Allah yang mulia. Wallahu a’lam bishawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.