Breaking News

Dosa Besar Demokrasi Yang Tak Bisa Diampuni

Spread the love
Oleh.Ummu Nazry
(Pemerhati Generasi)
#MuslimahTimes –– Jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,  begitu memikat. Sehingga tak satupun individu dan negara hari ini yang tidak mengelu-elukan jargon tersebut, tidak terkecuali negeri ini, dan berusaha tampil memukau menisbatkan diri sebagai pelaku jargon sejati, dengan harap puji menghampiri diri. Demokrasi, pemilik jargon tersebut berupaya keras agar jargonnya selalu laku di pasaran. Sebagai pelaku periayah umat, demokrasi berikan berjuta polesan agar selalu terlihat cantik dan sempurna sehingga cacat diri tak terlihat publik.
Pun jika demokrasi hari ini dinilai telah mati dan gagal dalam memberikan berbagai rasa yang diinginkan manusia, demokrasi akan senantiasa membacakan kembali mantranya yang bertajuk dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, agar publik kembali menerima kehadirannya.  Sialnya,  kembali publik terhipnotis saat mendengar mantra tersebut.
Demokrasi akan selalu menyandingkan dan mengingatkan publik kembali, betapa ringseknya kehidupan saat adanya tirani tuan tanah, dinasti kerajaan dan kekuasaan gereja  mendominasi kehidupan. Betapa otoriternya tuan tanah saat berkuasa, sehingga siapapun manusia yang ada di bawah kekuasaanya akan dijadikan sebagai budak belian, dan betapa korupnya pihak gereja saat berkuasa memerintah rakyat. Kekayaan rakyat dikeruk untuk kemudian disimpan dan dikoleksi oleh gereja yang menisbatkan diri sebagai pelayan Tuhan. Sehingga statusnya sebagai pelayan Tuhan membuatnya sulit untuk disentuh hukum. Hukum hanya berlaku bagi rakyat jelata, tidak bagi pelayan Tuhan. Sebab pelayan Tuhan adalah suci, jadi tak layak disentuh oleh hukum apapun.  Semua fakta kekuasaan saat itu tidak memberikan rasa keadilan yang diinginkan oleh setiap manusia, yang sejatinya ingin diperlakukan sama rasa sama rata di hadapan hukum dan kekuasaan. Sehingga mau tidak mau publik pun kembali merasa lebih baik menerapkan dan memperjuangkan demokrasi, sebagai harga  mati, daripada kembali dijajah tuan tanah (para raja yang sangat otoriter dan menindas) dan kekuasaan gereja yang dinilai korup.  
Publik akan senantiasa digiring perasaannya oleh demokrasi untuk selalu merasa lebih baik pilih demokrasi daripada menjadi budak para raja atau dinasti yang berkuasa atau oleh gereja yang korup.
Alhasil jikapun terlihat borok dan cacat demokrasi dari fakta ketidakbecusan demokrasi dalam menyelesaikan masalah publik, masyarakat masih tetap memaafkan kekeliruan penerapan demokrasi dan masih mau menerima kecacatan demokrasi yang mengantarkan pada kesemrawutan kehidupan publik.  
Jikapun terjadi kegagalan dalam mengawal pemberlakuan demokrasi dalam mengurus urusan publik,  Pelaku demokrasi akan terus berkelit, dengan mantra lainnya, antara lain bahwa publik masih belajar berdemokrasi yang baik, bahwa jika demokrasi diterapkan dengan sebenarnya, tidak akan terjadi penyelewengan-penyelewengan hukum dalam kehidupan publik.  Padahal sejatinya demokrasilah pelaku kejahatan, yang melahirkan banyaknya penyelewengan hukum dan ketidakjelasan dalam urusan pelayanan kebutuhan publik.
Adapun bukti kongkret kejahatan akibat penerapan demokrasi saat ini, antara lain adalah kita melihat betapa penerapan dan pemberlakuan hukum saat ini sungguh sangat tidak berkeadilan. Hukum tajam ke bawah, tumpul keatas. Sebagai contoh maraknya kriminalisasi ulama oleh para pelaku demokrasi. Terbaru adalah kasus kriminalisasi Imam besar Habieb Rizieq Shihab (IB HRS) dengan tuduhan yang terlalu dipaksakan, yaitu dianggap melanggar protokol kesehatan (prokes) yang diberlakukan saat masa pandemi Covid -19. 
Namun pada saat yang sama dan di kasus yang sama tidak ada penangkapan ataupun minimal penahanan akibat anggapan pelanggaran prokes saat beberapa pasangan calon (paslon) melakukan kampanye pilkada.  Aneh tapi nyata, namun itulah yang terjadi di alam demokrasi yang diterapkan di negeri ini, negeri dagelan demokrasi.
Belum lagi peningkatan jumlah  kasus kejahatan korupsi yang dilakukan beberapa pejabat publik dan wakil rakyat. Terakhir adalah kasus dugaan korupsi yang dilakukan seorang menteri yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah besar. Terjadi dalam negara yang dianggap paling demokratis oleh negara lain. Nyatanya para pejabat dan wakil rakyatnya pandai melakukan tindak pidana korupsi. 
Ini adalah segelintir kasus yang mencuat di ruang publik dalam sistem demokrasi.  Namun berkali pula maaf diberikan publik, sebab publik melihat dan menilai bukan sistem demokrasi yang salah, namun individu yang tidak memiliki kontrol diri saat mendapat kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Sungguh berbagai macam pelanggaran kasus  hukum yang melilit publik saat ini sejatinya adalah diciptakan oleh sistem demokrasi.  Karena sistem hidup yang diterapkan saat ini adalah sistem demokrasi sekuler kapitalisme. Sebab kesalahan fatal dan terbesar demokrasi atau dosa besar demokrasi  adalah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat hukum. Jadilah manusia membuat hukum seenaknya. Hukum yang selalu menyisakan masalah saat ingin menyelesaikan masalah. 
Alhasil manusia layaknya Tuhan. Mengambil kewenangan Tuhan dalam membuat hukum. Dan ini adalah dosa besar yang tidak bisa dimaafkan. Sebab berani menyejajarkan diri dan menisbatkan diri sebagai Tuhan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Manusia menjadi Tuhan secara langsung saat mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan. Dan manusia menjadi Tuhan secara tidak langsung saat manusia berani membuat hukum dengan mengesampingkan hukum Tuhan, Allah Swt. Manusia berani membuat hukum, bagaimana bertransaksi ekonomi, bagaimana membuat hidup berkebudayaan, bagaimana membuat tata sosial yang baik dalam masyarakat juga bagaimana berpolitik yang elegan dalam kehidupan bernegara. Semua  dibuat oleh manusia, diracik sedemikian rupa, dibolak balik berkali rupa agar menghasilkan produk hukum yang sempurna.
Alih-alih diperoleh produk hukum yang sempurna, yang terjadi adalah produk hukum yang selalu mengalami revisi demi revisi, yang selalu mengalami perubahan dan perubahan. Sebab, selalu, produk hukum yang dihasilkan tidak pernah sempurna dan selalu menyisakan masalah demi masalah.
Akibatnya kehidupan publik selalu dipenuhi kegoncangan dan kekacauan. Akibat produk hukum yang dikeluarkan dan dibuat oleh manusia atas perintah demokrasi tidak pernah mampu memenuhi seluruh rasa yang diinginkan oleh manusia.  Produk hukum yang dihasilkan jauh dari kata adil dan tak mampu memberikan kesejahteraan hidup bagi publik dan masyarakat luas. 
Sungguh, kewenangan manusia untuk membuat hukum telah melibas aturan halal dan haram yang ditetapkan oleh agama. Sebab demorasi telah menetapkan sekulerisme sebagai asas dalam pembuatan hukum dan produk hukum. Agama sebagai pengatur urusan publik disingkirkan oleh demokrasi, sehingga manusia menjadi liar tak terkendali bagaikan hewan saat membuat hukum dan berbagai macam produknya. Sebab jauh dari rambu-rambu yang ditetapkan oleh Allah Swt, Tuhan semesta alam.  
Akibat praktek pembuatan hukum oleh manusia dalam sistem demokrasi. Yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal. Sebuah keniscayaan yang terjadi dalam sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan voting atau pengambilan suara untuk menentukan pemberlakuan hukum yang dilakukan digedung wakil rakyat. Semua hal,  tidak terkecuali dimusyawarakan  untuk mendapatkan legalitas pemberlakuaan di ranah publik. Termasuk hukum-hukum yang telah nyata ditetapkan oleh agama. Semua akan berubah dan diubah oleh sistem demokrasi. 
Padahal sejatinya manusia adalah pelaksana hukum. Bukan pembuat hukum. Sebab manusia memiliki banyak keterbatasan yang membuatnya tidak layak untuk membuat hukum.  Manusia adalah pelaksana hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, Tuhan semesta alam. Sebab sejatinya Allah Swt lah yang paling tahu siapa itu manusia, dan bagaimana cara memperlakukan manusia dengan baik, hingga dapat memenuhi seluruh rasa yang diinginkan oleh manusia.
Adapun manusia hanyalah memiliki wewenang untuk melakukan musyawarah terkait masalah teknis pelaksanaan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah swt, bukan bermusyawarah untuk mengubah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. 
Alhasil, sebab demokrasi memiliki dosa besar yang tidak bisa diampuni, maka selamanya setiap produk hukum yang dihasilkannya akan senantiasa menyebabkan cacat bawaan dalam dirinya, sebab produk hukum yang dihasilkan dalam sistem demokrasi tidak pernah sempurna dan tidak akan pernah sempurna, sebab dibuat oleh manusia yang memang tidak sempurna, dibuat oleh manusia tempat salah dan dosa.
Maka manusia tidak patut menaruh harap dan asa  atas kebaikan hidupnya pada demokrasi.
Karenanya, jika demokrasi sudah tidak mampu memberikan kebaikan dan keberkahan bagi kehidupan manusia, lalu kepada siapakah manusia mesti berharap ?
Sungguh, sepatutnya dan selayaknya manusia menaruh harap dan asa hanya pada sesuatu yang Maha Sempurna saja. Sesuatu yang dapat memberikan solusi atas setiap masalah manusia dengan solusi yang paripurna. Solusi yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Solusi yang dapat memenuhi seluruh rasa yang diinginkan oleh setiap manusia. Solusi yang tidak meninggalkan masalah ikutan.
Dan solusi yang dapat memenuhi segala asa adalah solusi yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Allah Swt, Tuhan semesta alam, yaitu syariat Islam kaffah, yang hanya mampu tegak dalam sistem yang juga telah Allah Swt tetapkan yaitu sistem Khilafah. Bukan sistem demokrasi buatan manusia yang penuh dengan cacat dan cela, sebab keterbatasan yang dimilikinya, juga sebab status manusia sebagai makhluk, yang tidak akan pernah mampu membuat peraturan hidup yang sempurna.
Maka, sungguh manusia hanya bisa mengharapkan kebaikan kehidupannya hanya dari pemberlakuan sistem Islam warisan Rasulullah Saw yang dibimbing oleh wahyu Allah Swt. Bukan dari sistem demokrasi buatan hawa nafsu manusia. 
Wallahualam.

Leave a Reply

Your email address will not be published.