Breaking News

Food Estate Atasi Krisis Pangan atau Hanya Pencitraan?

Spread the love

Oleh. Asha Tridayana

Muslimahtimes.com– Krisis pangan menjadi salah satu ancaman bagi suatu negara dalam mempertahankan eksistensi dan keberlangsungan hidup rakyatnya. Oleh karena itu, Presiden Jokowi beserta jajarannya menggagas sebuah program food estate di beberapa wilayah termasuk di Kalimantan Tengah. Namun, setelah berjalan dua tahun, food estate ini tidak membuahkan hasil malah menimbulkan berbagai persoalan baru yang merugikan terutama bagi masyarakat setempat.

Dilansir dari BBC News Indonesia (15/03/23), terdapat perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tidak kunjung panen. Kepala Desa Tewai Baru, Sigo dan masyarakat sekitar mengaku tidak pernah melihat pekerja memanen singkong. Bahkan tujuh alat berat termasuk ekskavator teronggok dalam kondisi rusak. Sebelumnya, lahan tersebut merupakan hutan yang menjadi tempat penghidupan masyarakat setempat. Kini, hutan telah gundul sementara food estate pun jauh dari harapan.

Penyebabnya, menurut warga setempat bahwa pihak pemerintah minim dalam memberikan sosialisasi dan pelatihan terkait program nasional lumbung pangan. Terlebih lahan di Kalimatan Tengah memiliki karakteristik berpasir. Masyarakat tidak terbiasa mengolah tanah dan menanam jenis padi sawah ataupun singkong. Kemudian tidak adanya infrastruktur pertanian seperti irigasi karena lahan di Kalimantan Tengah berada di rawa pasang surut, sehingga petani hanya bisa menanam bibit padi di waktu tertentu.

Direktur LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan bahwa program food estate di lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan serampangan. Karena lahan gambut yang berfungsi sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi. Akhirnya, kekeringan melanda daerah tersebut dan belakangan ini mengakibatkan kebakaran lahan. Di samping itu, pemerintah mengabaikan pola pertanian yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat.

Hal senada juga disampaikan oleh Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, yang menyarankan agar program Food Estate ini segera dihentikan karena produktivitas padi di lahan gambut tidak akan setinggi di tanah mineral. Tidak hanya itu, proyek tersebut juga berbenturan dengan komitmen pemerintah dalam mengurangi gas emisi. Pembukaan lahan pun telah menyebabkan banjir yang semakin besar karena hutan yang berada di dataran tinggi, berfungsi sebagai penyerap air.

Menanggapai hal tersebut, Kementerian Pertanian dalam wawancara dengan BBC News Indonesia (17/03/23) mengatakan pengelolaan food estate di Kalimatan Tengah memang membutuhkan perhatian lebih dari berbagai pihak. Seperti di Kabupaten Gunung Mas yang kesulitan mengembangkan program tersebut. Kementerian Pertanian hanya bertanggung jawab di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Food estate di dua kabupaten itu telah berkembang menjadi 62.455 hektare. Kementerian Pertanian juga menegaskan pengembangan food estate merupakan program jangka panjang sehingga hasilnya tidak dapat terlihat dalam waktu singkat.

Padahal program nasional lumbung pangan ini menjadi solusi krisis pangan yang digadang-gadang oleh pemerintah. Anggaran yang tidak sedikit tentunya telah dikeluarkan dari pembukaan lahan dengan mendatangkan bermacam alat berat hingga pasokan bibit, pupuk dan lain sebagainya. Namun, untuk mencapai hasil yang diharapkan masih sangat jauh bahkan cenderung nihil. Hal ini terjadi karena perencanaan pengembangan lahan pertanian di eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) terkesan dipaksakan dan adanya ketidakberesan.

Terlihat dari karakteristik tanah yang tidak cocok dan infrastruktur irigasinya pun belum memadai. Padahal tujuan food estate ini untuk meningkatkan produktivitas pertanian, harusnya kondisi tanah menjadi pertimbangan utama. Ditambah lagi, pelatihan bagi warga setempat yang masih awam dengan teknik pertanian tersebut tidak dilakukan dengan maksimal, sehingga ketika program ini diajukan telah banyak menuai kritikan dari berbagai pihak. Termasuk pendapat para ahli pun tidak dipertimbangkan dengan matang.

Kebijakan yang seolah terburu-buru dibuat dengan dalih mengatasi ancaman krisis pangan. Namun, pemerintah kurang mempersiapkan aspek pendukung baik teknologi maupun sumber daya manusia yang handal. Akibatnya, pembukaan lahan berhektar-hektare menjadi mangkrak dan masyarakat pun kehilangan sumber penghidupan dari hutan yang telah gundul. Belum lagi, banjir melanda permukiman setempat karena kehilangan hutan sebagai penyerap air. Kerugian demi kerugian mesti dialami oleh negara, lebih-lebih masyarakat setempat.

Inilah bentuk kebijakan yang dihasilkan dari penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan negeri. Nyata sekali kebobrokan dan kegagalannya karena segala sesuatu dilakukan hanya dipenuhi dengan ambisi pencitraan. Para kapitalis dan petinggi negeri hanya mencari keuntungan dari setiap program yang dijalankan. Bukan demi rakyat, tetapi demi kepentingan golongan tertentu. Rakyat hanya sebagai dalih yang pada akhirnya kembali menjadi korban kerakusan mereka. Parahnya, hal ini terjadi berulang kali tanpa rasa peduli atas kelangsungan hidup dan nasib rakyat.

Lain halnya ketika sistem yang diemban bukanlah sistem kapitalisme, melainkan sistem Islam. Karena beragam kerusakan yang terjadi saat ini berawal dari diterapkannya sistem kapitalisme, sumber segala masalah. Maka hanya dengan menggantinya, persoalan hidup saat ini dapat terselesaikan hingga tuntas. Sistem Islam menjadikan kemaslahatan umat sebagai tujuan yang mesti dicapai. Setiap proyek negara hanya untuk memenuhi kebutuhan umat dari yang mendasar hingga kebutuhan tambahan. Apalagi terkait krisis pangan yang dapat mengancam nyawa manusia akan segera diatasi secara komprehensif.

Di samping itu, penguasa benar-benar menjadi sosok pemimpin yang bertanggung jawab atas kepengurusan umat tanpa terkecuali. Karena penguasa menjadikan kepemimpinannya sebagai suatu amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt, sehingga senantiasa berupaya menjalankannya dengan sebaik mungkin dan merasa khawatir jika rakyatnya menderita akibat kebijakan yang sewenang-wenang. Kemaslahatan umat menjadi prioritas utama bukan mengejar manfaat demi segelintir kalangan. Apalagi sekadar pencitraan yang jelas bukan sikap seorang pemimpin dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Wallahu’alam bishowab.