Breaking News

Kompor Listrik Dalam Pusaran Kebijakan Kapitalistik

Spread the love

Oleh : Mimin Diya

 

#MuslimahTimes — Kebutuhan masyarakat terhadap Liquefied Petroleum Gas (LPG) terus meningkat. Tentu semua tidak lepas dari hasil kebijakan pemerintah masa lalu. Pada tahun 2007 pemerintah mengeluarakan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG demi mengurangi biaya subsidi minyak tanah yang mencapai 50 T rupiah.

 

Namun, kini masalah mulai muncul kembali tatkala produkai LPG dalam negeri minim, yakni berkisar 995 ribu metrik ton dari kilang domestik dan 1 juta metrik ton dari kilang Pertamina. Otomatis impor menjadi solusi yang ditempuh pemerintah. Diperkirakan pada tahun 2021 impor LPG mencapai 7,2 juta metrik ton dan akan terus meningkat menjadi 10,01 juta ton pada 2024 (Tempo, 9/2/2021).

 

Kondisi ini jelas berimbas pula pada peningkatan biaya subsidi LPG, yakni mencapai Rp 50-60 triliun berdasarkan analisis Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto (CNBC, 20/11/2020). Pada akhirnya muncul kebijakan konversi penggunaan kompor LPG ke kompor listrik yang digadang akan mampu menghemat biaya subsidi Rp 60 triliun bagi negara dan masyarakat hemat biaya 20% dari Rp 147 ribu menjadi Rp 118 ribu (CNBC, 31/3/2021).

 

Lagi-lagi kebijakan baru muncul dengan latar belakang yang hampir sama. Dalihnya pun sama atas nama kemaslahatan rakyat. Akan tetapi, jika dipandang secara mendalam progam ini berpotensi membawa nasib yang sama pula. Masyarakat justru akan terbebani lagi untuk membeli perangkat yang baru, mulai dari kompor listrik hingga menaikkan daya listrik agar stabil. Belum lagi sewaktu-waktu dihadapkan pada kenaikan tarif daftar listrik. Tentu beban rakyat bertambah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Alhasil hubungan penguasa dengan rakyat layaknya berdagang yang membahas untung rugi.

 

Sementara, penyelesaian masalah tidak sampai akar. Selama ini negara sulit mengelola ladang minyak yang jumlahnya 60% berlokasi di laut. Sebab negara tidak cukup modal untuk mengadakan teknologi. Usaha yang dilakukan justru menarik para investor. Hasilnya sebagian besar korporasi dengan mudah mengeksplorasi tambang minyak yang jumlahnya melimpah, seperti Chevron Corporation, Total, ConocoPhillips, PetroChina, CNOOC, Medco, BP, Kodeco, dan Exxon Mobil (Indonesia Invesment, 4/7/2016).

 

Semua itu legal dengan adanya aturan undang-undang yang menjamin penanaman modal asing. Lahirnya aturan seperti ini adalah hasil penerapan sistem demokrasi kapitalis yang diadopsi oleh negara. Konsep dasarnya ialah bebas kepemilikan alias boleh privatisasi sumber daya alam bagi pemilik modal swasta maupun asing. Sekalipun royalti yang didapat negara tidak seberapa dibandingkan keuntungan besar saat dikelola secara mandiri.

 

Satu sisi, sistem saat ini memperkerut kemandirian bangsa dalam mengelola potensi alam. Misalnya pemanfaatan gas alam yang belum optimal untuk kepentingan domestik. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia memiliki cadangan gas alam hingga 77 triliun kaki kubik (TCF). Akan tetapi, pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan penyerapan gas alam masih terbatas (CNBC, 20/11/2020).

 

Semua ini jelas membutuhkan solusi non parsial, namun solusi sistemik yang mampu mengatasi masalah hingga tuntas. Jika akar masalahnya ada penerapan sistem kapitalistik berasaskan manfaat, maka solusi tepat yang harus diambil adalah mengganti sistem tersebut dengan sistem yang benar, yakni sistem Islam. Dikarenakan Islam memiliki aturan sempurna dalam seluruh aspek. Termasuk jaminan pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga masyarakat.

 

Secara mendasar dalam pengaturan sistem ekonomi Islam tidak diperbolehkan privatisasi. Sumber daya alam merupakan kepemilikan umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya untuk mensejahterakan rakyat. Seperti tambang minyak dan gas bumi harus dikelola oleh negara secara langsung. Produksi secara optimal ditunjang dengan teknologi canggih dan sumber daya manusia handal yang pembiayaannya dari kas negara (berasal dari pos kepemilikan umum).

 

Ketika produksi sumber energi telah berjalan optimal, maka akan dilakukan distribusi kepada rakyat secara menyeluruh dimanapun dengan riayah yang sama. Selain itu, setiap kebijakan baru senantiasa diiringi pula dengan persiapan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Dipastikan masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan perangkat dengan harga murah bahkan gratis.

 

Penguasa Islam sadar betul bahwa setiap kebijakan tidak boleh menzalimi rakyat. Perannya adalah sebagai periayah urusan rakyat, bukan pebisnis dengan hitungan untung rugi. Karena setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

 

Wallahu’alam bishawab