Breaking News

Menguak Buku Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History – Mona Hassan)

Spread the love

Oleh: Sunarti

MuslimahTimes.com – “Bumi berputar zaman beredar,” artinya keadaan zaman yang terus berubah.

Mengutip hadist yang disampaikan dalam materi terakhir di kelas OWOB yang artinya sebagai berikut :
Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad)

Dalam sebuah buku karangan Mona Hassan yang berjudul Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History telah usai dipaparkan.

Mona Hassan bukan pro khilafah dan juga bukan kontra. Beliau seorang sejarawan. Mona Hasan mengamati runtuhnya/hilangnya khilafah dan reaksi muslim di berbagai negeri di seluruh dunia. Bahkan yang paling menarik adalah Indonesia menjadi bagian dari yang digoreskan dalam bukunya.

Mona Hasan menulis buku sejarah trans-regional yang menjelaskan kontelasi kompleks dari arti dan jaringan yang membentuk reaksi muslim atas kejadian yang tidak terduga. Yaitu hancurnya kekhilafan abad 13 (Kekhilafan Abbasiyah) dan abad ke 19 (Kekhilafan Ustmaniah). Atau ekspresi dari kaum muslim yang sangat kehilangan institusi yang begitu penting bagi mereka, yakni khilafah. Dan bagaimana kaum muslim memaknai/merespon kehilangan tersebut.

Dalam bukunya dia bisa menjawab dua pertanyaan besar yakni apa yang dibayangkan kaum muslim saat hancurnya kekhilafan pada tahun 1858 dan 1924. Lantas bagaimana ekspresi/apa yang dirasakan mereka?

Kedua, bagaimana memaknai ulang kehilangan yang sangat besar dan bagaimana mereka (kaum muslim) mendefinisikan ulang makna khilafah di masa mereka, di bawah berbagai perubahan zaman?

Ibukota khilafah yang hilang, Baghdad pada tahun 1258, terjadi pembantaian dari tentara Mongolia. Selama empat puluh hari berturut-turut kaum muslim dibunuh secara keji dengan pedang panas mereka. Darah yang mengalir memenuhi got-got di Baghdad. Dan hanya tujuh belas orang saja yang hidup. Salah satunya adalah seorang ilmuwan, ulama, hakim, seorang ahli pertanian dan banyak lagi keahlian yang lain yang dimilikinya, beliau adalah Zahir Ibnu Al Din Ibnu Al Kazaruni. Dari tulisannyalah, Mbak Mona menceritakan kejadian di Baghdad.

Konsepsi khilafah adalah artikulasi klasik yang merupakan sebuah keniscayaan, sebuah hukum dan kewajiban jamaah. Inilah salah satu yang tertulis dari sejarawan Zahir yang dikisahkan oleh Mbak Mona. Selain itu banyak pula yang menyatakan betapa pentingnya kekhilafan atas kaum muslim diantaranya Ibnu Khaldun, Imam Al Qurtubi.

Selanjutnya, dikisahkan pula kekalahan Otoman melawan Sekutu pada awal-awal tahun 1920. Pada saat khilafah kalah dalam Perang Dunia 1. Masing-masing wilayah dijajah oleh sekutu. Misalnya saja muslim Afrika Utara dijajah oleh Perancis dan Italia. Kemudian Mesir dan India dijajah oleh Inggris. Serta Indonesia dijajah oleh Belanda.

Yang mengejutkan, Mona Hasan ini mengisahkan jika muslim di Indonesia bercita-cita untuk memelihara dan menjaga tatanan khilafah Otoman (Ustmani) sebagai khilafah yang benar dalam masa mereka. Muslim Indonesia meremehkan Sekutu yang mengalahkan Otoman. “Apa yang Sekutu lakukan adalah dalam tindakan melawan khilafah, maka Sekutu berurusan dengan muslim di seluruh dunia,” begitu kata muslim di Indonesia.

Bahkan, berdirinya berbagai organisasi Islam di Indonesia kala itu juga dikisahkan oleh Mona Hasan. Semua yang berdiri pada waktu itu pada dasarnya untuk membela dan dalam upaya mengembalikan institusi kekhilafan, bukan untuk yang lain. Apalagi hanya merebutkan harta dan tahta.

Pada penutup bukunya, Mona Hasan menyampaikan tiga kekuatan, menyangkut pusaran harapan-harapan dan aspirasi religius. Secara detail juga dikupas di sana. Secara garis besarnya, sebagai berikut :

Yang pertama adalah Ikhwanul muslimin yang telah mengartikulasikan seorang modernis, akomodasiis, dan solusi bertahap untuk dilema ketidakhadiran khalifah dengan menempatkan penekanan pada sosial, pendidikan, budaya, reformasi ekonomi, dan politik serta kerjasama internasional antar negara mayoritas Muslim.

Yang kedua, kaum ideologis purist, radikal, revolusioner, dan kerangka paradoks “Partai Pembebasan” atau Ḥizb al-Taḥrīr tanpa kekerasan demokrasi, kapitalisme, dan nasionalisme sebagai penghambat visi mereka. Kekhalifahan Islam sebagai obat mujarab utopia untuk penyakit kedua puluh dan abad kedua puluh satu.

Sebaliknya, Hizbut al-Taḥrīr yang diakui non-kekerasan dalam seruan mereka untuk kekhalifahan telah menjadi sumber utama kejengkelan bagi para jihadis Salafi. Dan ini yang ketiga/yang terakhir.

Ngawi, 7 Januari 2021