Breaking News

Menyoal Profesionalisme Pertamina dari Berulangnya Kebakaran Kilang

Spread the love

Oleh. Riza Maries Rachmawati

Muslimahtimes.com– Ledakan keras terjadi di kilang minyak Pertamina Dumai di Pekanbaru, pada Sabtu malam, 1 April 2023. Kebakaran kilang minyak Pertamina terjadi untuk ke sekian kali. Sebelumnya Depo Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang, Jakarta Utara terbakar pada Jumat malam, 3 Maret 2023 dan belum sepenuhnya tuntas penanganan. Bahkan Kapal MT Kristin yang mengangkut BBM mengalami kebakaran di peraiaran Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Peristiwa ini jelas memunculkan pertanyaan tentang profesionalisme Pertamina dalam mengelola bisnis besar dengan keuntungan besar bagi negeri ini. Sebagaimana respons ekonom senior, DR. Rizal Ramli, menilai kasus kebakaran ini bukan lagi persoalan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), tetapi lebih pada budaya yang tidak beres. Pasalnya hanya dalam kurun dua tahun terakhir sebanyak 7 kilang Pertamina mengalami kebakaran.

Pembenahan perusahaan ini tentunya sangat dibutuhkan, apalagi jika benar ada budaya perusahaan yang salah. Pembenahan juga perlu dilakukan pada sumber daya manusianya termasuk pada jajaran petinggi perusahaan. Tentu saja hal ini bukan perkara mudah apalagi dalam sistem demokrasi kapitalisme lazim adanya persekongkolan berbagai pihak demi menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Konsep demokrasi kapitalisme jelas tak mengenal pembagian kepemilikan. Semua orang yang memiliki modal bebas menguasai apa saja termasuk sumber daya alam (SDA) yang sejatinya milik rakyat. Bahkan individu lazim menggandeng pihak swasta untuk mengelolanya dan praktek seperti ini sah-sah saja di negara sistem kapitalisme. Bahkan pihak swasta tersebut legal menguasai SDA melalui UU migas. Hal ini disebabkan sistem demokrasi memperbolehkan manusia berdaulat atas hukum. Manusia bisa membuat, merivisi, dan menghapus UU sesuai dengan pesanan. Penerapan sistem politik inilah yang meniscayakan munculnya penyalahgunaan perusahaan milik negara untuk kepentingan pihak tertentu. Sehingga para pejabat akan saling menutupi kebobrokan masing-masing demi menjaga eksistensi kekuasaan mereka.

Kondisi tersebut sangat berbeda jika pengelolaan migas berada di bawah sistem Negara Islam. Negara Islam adalah institusi yang menerapkan hukum syariat secara menyeluruh dalam aspek kehidupan. Termasuk dalam mengelola sumber daya alam berupa migas. Dalam Islam, negara ditetapkan sebagai pihak pengelola SDA dengan profesional dan bertanggung jawab kepada rakyatnya dan kepada Allah Swt. Hal ini karena Allah Swt telah menetapkan dalam hukum syara, memerintahkan kaum muslimin berserikat atas kekeyaan alam. Diriwayatkan dari Abu Khurasyi dari sebagian Sahabat Nabi saw berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud).

Di hadis yang lain yakni yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy: “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’ (HR. Tirmidzi)

Dari kedua hadis ini maka dapat diambil hukum kekayaan alam adalah milik umat dan haram dikuasai oleh swasta apabila jumlahnya melimpah.

Migas termasuk SDA yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat sebab untuk menikmati hasilnya dibutuhkan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya. Dibutuhkan tenaga ahli dan biaya yang besar. Karena itu, syariat menetapkan negara yang bertanggung jawab mengeksplorasi, mengelola hingga mendistribusikannya ke warga negara. Dalam hal ini negara berkerja secara independen tanpa campur tangan dari pihak swasta sebagaimana pengelolaan BUMN dalam kapitalisme. Dalam distribusinya negara memiliki dua mekanisme yang secara langsung dan tidak langsung.

Pertama, secara langsung, negara bisa memberikan hasil migas berupa BBM secara khusus ke rumah-rumah warga, pasar-pasar secara gratis sehingga warga negara dapat mengjangkaunya atau negara menjual BBM dengan harga yang dipatokan pada biaya produksi. Hasil penjualan dimasukkan pos kepemilikan umum Baitulmal. Selain itu, boleh menjual migas ke luar negeri ketik kebutuhan warga negara sudah terpenuhi. Dalam hal ini negara boleh menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Keuntungan akan dimasukkan ke dalam Baitulmal.

Kedua, secara tidak langsung, negara menjamin kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan warga negaranya dengan memanfaatkan dana dari pos kepemilikan umum Baitulmal. Sehingga layanan publik bisa dinikmati oleh setiap warga negara secara gratis dan berkualitas. Dari dana tersebut juga negara bisa mengalokasikan anggaran untuk biaya proses operasional produksi minyak dan gas. Mulai dari pengadaan sarana dan infrastruktur, riset, eksploitasi, pengolahan hingga distribusi ke SPBU-SPBU. Dalam hal ini negara akan mampu merawat depo-depo Pertamina negara Islam secara berkala untuk meminimalisasi kecelakaan kerja.

Demikianlah mekanisme negara Islam dalam mengelola kekayaan alam pemanfaatannya semuanya diatur oleh hukum syarak bukan mengikuti kehendak dan kepentingan pihak tertentu sehingga rakyat bisa menikmatinya secara gratis dan depo-depo Pertamina terjamin perawatannya.

Wallahu’alam bi shawab