Breaking News

Negara Banyak Utang, Hilanglah Kemandirian

Spread the love

Oleh. R. Nugrahani, S.Pd.

Muslimahtimes.com–Kementrian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa utang pemerintah mengalami kenaikan sekitar 1,33 persen terhitung sejak Desember 2023. Sehingga total utang yang dimiliki oleh pemerintah mencapai Rp8.253 triliun per 31 Januari 2024.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan jika utang pemerintah saat ini ditanggung oleh setiap warga negara Indonesia, maka setiap orang setidaknya menanggung beban utang pemerintah sebesar Rp30,5 juta.

“Beban utang ini ada kemungkinan akan mengalami peningkatan, melihat postur belanja pemerintah yang lebih ekspansif dalam beberapa tahun ke depan,” kata Bhima.

Dengan jumlah angka yang begitu besar, Kemenkeu menyebutkan bahwa jumlah utang pemerintah masih dalam batas rasio aman. Sebab utang tersebut berada di bawah ambang batas 60% dari produk domestik bruto (PDB). (tempo.co.id, 29 Februari 2024)

Ekonom Bright Institue, Awalil Rizky, mengungkapkan bahwa batas 60% yang terdapat dalam UU tentang Keuangan Negara, jangan ditafsirkan sebagai batas aman kondisi utang. Tetapi batas tersebut merupakan batas yang tidak boleh dilampaui.

Lebih lanjut Awalil menyebutkan bahwa indikator risiko utang pemerintah tidak hanya perbandingan terhadap PDB. Tetapi harus diperhitungkan juga rasio utan terhadap pendapatan negara, rasio pembayaran bunga utang atas pendapatan negara, dan rasio pembayaran beban utang atas pendapatan negara. Ketiga indikator tersebut seharusnya juga dijadikan pertimbangan. Sebagaimana ketiga indikator tersebut pernah digunakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mereview kondisi keuangan Indonesia pada tahun 2019–2020.

Hal berbeda dinyatakan oleh Suminto, Direktur Jendral Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu yang menyatakan bahwa risiko utang pemerintah terkendali. Sebab, jika dibandingkan dengan banyak negara emerging markets, debt to GDP di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu sebesar 30,2% pada tahun 2019. Yang mengalami peningkatkan tahun-tahun berikutnya, tetapi masih berada di bawah debt to GDP negara lain.

Suminto mencontohkan debt to GDP ratio di beberapa negara pada tahun 2022. Malaysia sebesar 60,4%, Filipina 60,9%, Thailand 60,4%, Vietnam 37,1%, India 89,26% Argentina 85%, Brazil 72,87%, Mexico 49,6%, dan Afrika Selatan 67,4%.

Suminto pun menyatakan keoptimisannya bahwa strategi pembiayaan akan dilakukan secara pruden, fleksibel, oportunistik, dan terukur. Selain itu, fleksibilitas pengadaan utang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek timing, sizing, instrument, maupun currency mix untuk memperoleh cost of found yang optimal. (tempo.co.id, 01 Maret 2024)

Demikianlah pakar ekonomi memiliki pandangan yang berbeda dengan jumlah utang yang semakin lama semakin membesar dengan. Ada yang menganggapnya masih dalam batas aman. Ada pula yang menganggapnya sudah membahayakan. Semuanya memiliki dalih masing-masing.

Jebakan Ekonomi Kapitalisme

Membangun negara dengan menggunakan utang merupakan ciri khas kapitalisme. Pada sistem kapitalis, utang merupakan instrumen utama selain pajak dalam pengelolaan ekonomi negara. Oleh sebab itu, jika pemerintah melalui pakar ekonomnya menyatakan bahwa utang negara saat ini masih dalam batas aman sebagai suatu bentuk kewajaran, itulah watak dari kapitalisme yang sebenarnya.

Mirisnya dalam ekonomi kapitalisme, keberadaan utang adalah keniscayaan. Bahkan adanya utang menjadi kewajaran ketika membangun negara. Hal ini pulalah yang menjadi perdebatan di kalangan para ekonom. Ada yang berpandangan bahwa utang negara adalah sebuah bahaya. Ada sebagian lainnya menganggap bahwa utang negara adalah sesuatu yang menguntungkan selama tidak berlebihan jumlahnya.

Adanya peningkatan jumlah utang dari tahun ke tahun jelas akan menyebabkan beban tersendiri bagi generasi mendatang. Dalam sistem kapitalis, negara akan melakukan kebijakan logis ala kapitalisme dengan menggunakan kebijakan fiskal dengan cara melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan dengan peningkatan pajak. Namun, realita yang ada saat ini tidaklah demikian. Negara tidak melakukan penekanan pengeluaran, bahkan pengeluaran negara semakin meningkat seiring dengan adanya pembangunan infrastruktur yang didapat dengan cara utang. Pajak yang ada pun semakin tinggi dan banyak di segala sisi kehidupan. Selain itu, demi menambah jumlah kas negara, maka penekanan pengeluaran negara dengan cara mereduksi subsidi untuk rakyat. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat. Subsidi akan ditekan sesedikit mungkin bahkan ditiadakan agar tidak membebani anggaran negara.

Seperti inilah kenyataan ketika sebuah negara menggunakan sistem ekonomi kapitalis dalam pengelolaannya. Negara akan dikelola sebagaimana sebuah perusahaan dikelola. Mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan sedikit melakukan kepedulian pada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Keberadaan utang negara yang tinggi terutama utang luar negeri bisa mengakibatkan turunnya pengaruh politis negara dalam tingkat global. Jika ditilik lebih dalam, utang negara (utang luar negeri) yang diberikan oleh negara lain sebenarnya merupakan senjata politik negara-negara besar kapitalisme kepada negara-negara lain dalam memaksakan kebijakan negara pengutang.

Tujuan utama dalam memberikan utang bukanlah dalam rangka membantu perkonomian negara peminjam. Melainkan demi kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi dari negara pengutang. Dari sinilah negara uang menerima utang akan terjajah secara ekonomi yang akan kesulitan untuk keluar dari jebakan utang ekonomi kapitalisme.

Dengan menggunakan sistem ekonomi kapitalisme, maka negara hanya memiliki dua pilihan, yaitu memiliki utang atau tunduk pada negara pengutang. Inilah bahaya terselubung dari utang ekonomi ala kapitalisme. Kedaulatan negara akan tergadaikan, kemandirian negara terpuruk di bawah bayang-bayang cuan. Dan inilah yang sedang tejadi di negeri ini. Terlihat bagaimana pihak asing mencengkeramkan pengaruhnya dengan cara mendikte kebijakan negara melalui syarat-syarat yang mereka ajukan seiring penggelontoran utang.

Cara Negeri-Negeri Muslim Mengatasi Krisi Utang

Tidak bisa dimungkiri bahwa saat ini negeri-negeri muslim terlibat dalam sistem ekonomi kapitalis dalam pengelolaan perekonomian negaranya. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis utang.

Pertama, tidak membayar bunga dari utang yang dibebankan. Karena hal tersebut termasuk riba. Dan riba merupakan salah satu sumber labilitas ekonomi. Selain itu yang utama adalah riba merupakan keharaman. Seberapa besar manfaat yang akan didapatkan, harus dengan pertimbangan halal atau haram. Jika ada keharaman pada akan ada mudharatnya. Bahkan sudah terbukti secara empiris dan teoritis.

Kedua, pembayaran utang dilakukan dengan pembayaran tanpa membayar bunga utang. Tanggung jawab utang pun akan dibebankan pada para pejabat negara yang terlibat pada masa pengambilan utang tersebut. Sebab, merekalah yang mengambil kebijakan atas utang tersebut. Oleh karena itu, pembayaran urang harus dihitung ulang berdasar rasionalitas kekayaan yang mereka miliki. Kelebihan dari kekayaan yang mereka dapatkan dari ketidakwajaran, ditarik untuk membayar utang.

Ketiga, tidak lagi melakukan transaksi utang riba. Sebab ada dosa besar yang begitu keras, hingga dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah dan Rasul akan memerangi pelaku riba. Rasul menyebutkan bahwa satu dirham riba sama seperti dosa tiga puluh lebih pezina. Dalam riba ada sembilan puluh sembilan pintu dosa, dan dosa teringan sebagaimana lelaki menzinai ibunya. Jadi dosa riba sangat besar.

Pengelolaan Ekonomi Bersistem Islam

Bagi mereka yang memiliki keseriusan dalam memperbaiki negerinya tidak ada jalan lain yang mesti ditempuh kecuali dengan melihat dan mengkaji sistem Islam sebagai dasar pengelolaan sebuah negara. Sekaligus turut andil dalam mewujudkan kembali tegaknya sistem Islam yang rahmatan lil’alamin.
Dalam aturan Islam, tidak melarang adanya utang oleh negara ke negara lain dengan syarat sesuai dengan hukum syara’. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem Islam dalam membangun sistem perekonomiannya. Pertama, harus dipastikan bahwa negara pengutang bukanlah negara kafir harbi (negara kafir yang memusuhi Islam). Kedua, utang yang ada tidak boleh pada aspek strategis atau sangat vital. Yang dibolehkan hanya pada sektor riil, halal, tidak membahayakan, dan bukan kepemilikan umum.

Sebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), bahwa sumber pemasukan negara akan dikumpulkan oleh lembaga negara yang disebut baitul mal. Segala kebijakan yang dilakukan oleh negara haruslah berlandaskan aturan Islam.

Secara umum ada tiga sumber pendapatan negara. Pertama, pengelolaan negara pada aspek kepemilikan umum yang berupa air, padang rumput, api (energi/tambang), sarana dan prasarana umum, tanah-tanah umum dan lain sebagainya. Semua kepemilikan umum tersebut wajib dikelola oleh negara. Jadi negara hanya sebagai pengelola. Hasilnya diperuntukkan kembali kepada rakyat. Dan negara juga memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan yang bersifat umum tersebut sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai perisai umat. Kedua, pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan harta fa’I, ghanimah, kharaj, jizyah, dan harta milik negara. Ketiga, harta yang berasal dari zakat, yaitu mencakup zakat fitrah, zakat uang dan perdagangan, zakat dibidang pertanian dan buah-buahan, zakat peternakan berupa ternak unta, sapi, dan kambing.

Negara harus memastikan fungsinya berada di jalur yang tepat, yaitu melakukan pelayanan kepada rakyat, pengawasan pada pejabat-pejabat publik strategis untuk mencegah adanya praktek pelanggaran hukum syara’ yang menyebabkan ketidak berkahan.

Selain itu, negara yang berdaulat dengan menggunakan sistem Islam harus menyiapkan diri untuk tegak kokoh secara mandiri. Oleh karena itu, sejak awal negara tidak melibatkan diri pada lembaga internasional yang secara jelas mengemban sistem selain Islam. Negara pun terlarang melakukan kerjasama yang bersifat multilateral. Hal ini harus diperkuat dengan adanya kemandirian, kekuatan diplomasi, dan kekuatan pembelaan atas negara.

Semuanya itu hanya akan terwujud dengan diterapkannya sistem kenegaraan yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, yaitu dalam naungan sistem Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishawab